“..B..bisa Mister..” jawab Pak Karso terbata-bata. Jantungnya
berdebar kencang, gugup dengan intimidasi Piter.
“Apakah selain kita, ada orang lain lagi disini?” tanya Piter
memastikan.
“Tidak Mr. Piter. Anak-anak saya sudah menikah, saya hanya
tinggal bersama istri saja. Dia sedang dikamar beristirahat. Maklum, kami sudah
tua. Gampang sakit-sakitan” Pak Karso tersenyum sedih, menyadari tubuhnya tidak
sekuat dulu lagi. Piter hanya bisa tersenyum simpati pada pria tua di depannya.
“Baiklah, terima kasih. Jadi saya akan memulai pertanyaan
saya. Namun sebelumnya, saya harap pembicaraan ini tidak disebarluaskan kepada
orang lain, meski pada istri bapak. Apakah saya bisa mempercayai bapak?” Piter
menatap tajam pada Pak Karso, mencoba memperlihatkan laki-laki tua itu bahwa
dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Bii..bisa.. Mister..”
“Baiklah. Mungkin bapak tidak ingat pasti, namun sekitar enam
belas tahun yang lalu sekitar bulan desember sampai bulan mei, tepat sebelum
ayah pergi ke London tahun itu, apakah ada yang berbeda dari biasanya? Apakah
bapak ada diperintahkan untuk mengantarkan ayah saya ke suatu tempat yang tidak
biasa? Atau hal-hal lain yang mungkin berbeda dari biasanya?”
Pak Karso menelan ludahnya, kejadian enam belas tahun lalu
tidak mungkin bisa diingat dengan jelas oleh pria seusianya. Pak Karso tidak
mungkin bisa mengingat secara akurat peristiwa itu. Namun memang ada satu
kejadian yang sangat membekas di kepalanya, karena selama beberapa bulan Mr.
Luther memerintahkannya untuk mendatangi setiap pemakaman umum di seantero
Jakarta namun boss nya itu selalu pulang dengan wajah hampa dan sedih.
Pak Karso tidak akan bisa melupakan ekspresi Mr. Luther yang
terpukul dan menangis dengan terisak dikursi belakang mobilnya. Hanya laki-laki
yang kuat yang sanggup menangis dengan terisak, karena laki-laki cengeng hanya
akan mengumbar kata-kata tanpa melakukan tindakan apa-apa.
Apa yang diingatnya, itulah yang Pak Karso beritahukan kepada
Piter. Informasi baru ini hanya menambah teka-teki yang begitu banyak yang
belum terpecahkan olehnya, Piter ingin tahu apa atau lebih tepatnya siapa yang
ayahnya cari di pemakaman.. selain kuburan seseorang?
Lalu Piter menanyakan pertanyaan yang membuat Pak Karso
terkesiap dan menjawab dengan terbata-bata.
“Apakah ayah saya pernah memiliki wanita lain?” Piter
mengawasi wajah Pak Karso, laki-laki tua ini memang mengetahui sesuatu.
Sebagai sopir pribadi ayahnya, Pak Karso sudah pasti
mengetahui jadwal kepergian ayahnya saat mengantarkannya kemana-mana. Meski
terkadang ayahnya mengemudikan mobilnya sendiri, tak jarang Pak Karso menyopir
untuknya bila Mr. Luther kelelahan.
“Jadi..? Apa jawaban anda, Pak?” tanya Piter lagi, kini
suaranya lebih tegas. Dia tidak akan membiarkan Pak Karso pergi tanpa jawaban
yang memuaskan keluar dari mulutnya.
“Sa..saya.. tidak tahu, Mr. Piter.. Mr. Luther tidak pernah
membawa wanita saat bepergian” Pak Karso menelan ludahnya, keringat dingin
menetes dari dahinya. Laki-laki tua ini gugup dan panik.
“Pak Karso.. Saya tidak akan mencelakakan bapak, bapak juga
tahu ayah saya bukanlah orang seperti itu. Saya hanya ingin tahu, bila.. saya
memiliki keluarga lain dari wanita lain ayah saya, saya harus tahu. Karena
pastinya anak mereka bila mereka punya anak, akan mengalir juga darah yang sama
dengan darah saya. Saya harus tahu, Pak. Dan hanya anda yang bisa menolong
saya. Saya berjanji akan menjaga keluarga bapak sampai nanti saya mati” Piter
memohon dengan sangat pada Pak Karso.
Pak Karso menghela nafasnya, tidak menyangka Piter akan
memohon padanya dan bukannya mengintimidasinya dengan kekuasaan yang
dimilikinya. Piter bisa saja membayar orang untuk menghancurkan hidup Pak
Karso, namun dia tidak melakukannya. Piter tahu, kekerasan tidak akan
membawanya kemana-mana.
“Maafkan saya, Mr. Piter. Saya takut salah bicara..
Sebenarnya.. dulu Mr. Luther pernah meminta saya untuk mengantarkannya ke
sebuah restoran yang sama setiap hari selama sebulan penuh. Lalu.. beliau akan
meminta saya pulang setelah itu. Entah beliau pulang dengan kendaraan apa saya
tidak tahu” jawab Pak Karso jujur.
Piter merenungkan perkataan Pak Karso, namun tak sedikitpun
mampu dicerna oleh pikirannya. Kejadian enam belas tahun lalu begitu sulit
untuk diurai dengan jelas.
“Apakah anda masih ingat nama restoran itu?”
“Saya rasa sekarang restoran itu sudah berubah nama menjadi..
ah ya.. The Lulaby.. Dulu restoran itu bernama Cafe Kevin. Tapi saya tidak tahu
bila manajemennya masih sama, Mr. Piter”
“The Lulaby? Restoran yang ada di dekat Hotel Kartika itu?”
tanya Piter lagi.
“Iya, Mr. Piter benar. Disana tempatnya. Mr. Luther dulu
biasanya bila bertemu dengan klien selalu di cafe itu” Pak Karso
mengangguk-anggukan kepalanya, membenarkan ingatannya yang mulai didapatinya
kembali.
Piter sejenak memikirkan semua pembicaraan mereka, lalu dia
bertanya lagi pada Pak Karso.
“Kalau di perusahaan, apakah Bapak pernah mendengar
desas-desus atau hal-hal aneh mengenai ayah saya? Atau mungkin rumor? Atau
apalah yang menunjukan ayah saya memiliki seorang wanita lain?” Piter tidak
terlalu berharap dengan jawaban pertanyaannya kali ini, dia masih berpikir
bagaimana cara untuk mendapatkan informasi dari restoran The Lulaby itu.
“Ehm.. Ah, ya.. Tapi ini hanya gosip Mr. Piter.. Dan hanya
kami pegawai bawahan yang tahu, karena yah.. anda tahu sendirilah.. Kami sering
bergosip dan memang gosip cukup banyak beredar. Banyak pegawai yang yah.. dulu
memuja Mr. Luther. Beliau waktu itu masih muda, hebat, tampan, baik hati dan
sukses. Seperti anda sekarang ini.. Jadi banyak pegawai wanita yang mengikuti
apapun berita terbaru mengenai Mr. Luther.. Hanya saja waktu itu gosip seperti
ini hanya beredar satu kali, setelahnya tidak pernah terdengar lagi. Saya juga
kurang tahu apabila ini benar atau tidak.. Karena saya juga mendengar dari
teman yang diceritakan oleh temannya” Pak Karso menjawab dengan malu-malu,
tentu mengakui bahwa dirinya bergosip mengenai atasannya sangat tidak
membanggakan. Namun karena Piter telah berjanji untuk menjaga keluarganya, maka
Pak Karso mengendurkan kesiagaannya.
“Teruskan, Pak” debar jantung Piter berdetak kencang, dia
akhirnya akan mengetahui sesuatu.
“Ehm.. ya.. Dulu.. Mr. Luther pernah digosipkan ada..er.. ada
main.. dengan sekretarisnya..” Pak Karso mengamati wajah Piter yang tak berubah
sama sekali. Dia takut bila Piter tiba-tiba akan mencekiknya karena
menceritakan hal buruk mengenai ayahnya. Namun Piter hanya diam menunggu Pak
Karso menyelesaikan perkataannya.
“Er.. Tapi saya tidak tahu siapa nama sekretaris Mr. Luther
saat itu, anda tahu.. Selama puluhan tahun ini beliau memiliki banyak
sekretaris dan saya tidak pernah bertemu dengan mereka, jadi saya tidak hafal
dengan nama-nama itu, maaf..” Pak Karso menundukan wajahnya, sesekali dia akan
melirik pada Piter, mengantisipasi emosi yang mungkin akan terlihat sesaat lagi
dari Piter Volcano yang terkenal gampang meledak-ledak.
Piter menarik nafas panjang lalu menghembuskannya ke udara.
“Kalau begitu, kapan tepatnya Bapak mendengar gosip itu, Pak?”
“Ah.. Waktu itu kalau tidak salah saat perusahaan baru saja
pindah ke gedung baru, sekitar.. dua puluh empat-dua puluh lima tahun yang
lalu..” tentunya Pak Karso memiliki ingatan yang cukup baik untuk laki-laki
seusianya. Piter menilik lagi wajah di depannya, bila melihat dari
penampilannya, Pak Karso terlihat seperti laki-laki berusia enam puluh tahun,
tapi kenyataannya laki-laki ini hanya berusia lima puluh tahun, bahkan lebih
muda dari usia ayahnya.
“Jadi sekitar dua puluh empat atau dua puluh lima tahun yang
lalu, ayah saya digosipkan memiliki hubungan khusus dengan sekretarisnya?
Bagaimana anda bisa tahu hal ini? Maksud saya, kenapa bisa gosip ini menyebar.
Apakah ada yang memergoki mereka sedang berduaan? Atau?” Piter sengaja
menggantung kalimatnya, membiarkan Pak Karso menjawab sendiri apa yang
diketahuinya.
“Dulu.. Petugas cleaning
service seperti biasa membersihkan kantor sebelum shiftnya usai, namun
waktu itu saat dia hendak membersihkan kantor Presiden Direktur, dia menemukan
bahwa kantor Presdir terkunci meskipun lampu kantor ternyata masih menyala.
Lalu karena penasaran, dia menguping dan mendengar suara yang tidak biasa...
suara laki-laki dan perempuan sedang er.. maksud saya.. anu.. anda pasti
mengerti kan? Saat itu sudah larut, hampir tengah malam kalau tidak salah” Pak
Karso menjelaskan dengan terbata-bata, sesekali dia akan melihat wajah Piter
namun menemukan laki-laki itu tidak menunjukan emosi apapun pada wajahnya.
“Lalu apa yang terjadi pada mereka? Apakah mereka menikah?
Apakah ada orang lain yang melihat mereka sering pergi bersama? Atau?” suara
Piter begitu dingin, nampaknya pikirannya sedang berkecamuk dan emosi mulai
menguasai hatinya.
“Maaf, Mr. Piter.. Setahu saya.. hanya malam itu saja kantor
Presdir terkunci, karena setelah malam itu semua kembali normal. Namun anehnya,
dua bulan kemudian wanita yang menjadi sekretaris Mr. Luther mengundurkan diri
dan tidak terdengar kabarnya lagi.. er.. saya diberitahukan oleh teman saya
itu..” Pak Karso mengelus rambutnya yang memutih untuk menghilangkan gugup di
suaranya.
“Apakah anda tahu nama wanita itu, Pak?” kini Piter menatap
mata Pak Karso, mata itu begitu dingin, bibir Piter bergetar. Dia siap meledak.
“Maafkan saya Mr. Piter.. saya tidak tahu.. Kami tidak
mengetahui nama-nama pegawai kelas atas seperti sekretaris dan sekelasnya”
Piter lalu bangkit dari kursinya, dia merasa telah cukup
mendengar informasi yang diperlukannya hari itu. Piter mengatupkan rahangnya
yang mengeras, dengan senyum miris Piter berpamitan pada Pak Karso dan masuk ke
dalam mobil yang dikemudikan oleh sopirnya. Piter tidak tahu daerah itu,
sehingga dia terpaksa memakai sopir perusahaan untuk mengantarkannya kesini.
~~~~
Piter membuka lembar demi lembar kertas file yang
bertumpuk-tumpuk di atas mejanya, dia sedang meneliti nama-nama pegawai yang
bekerja sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Pegawai yang mengundurkan diri
tanpa sebab yang jelas.
Karena tidak ingin melewatkan hal kecil sekalipun, Piter
memeriksa nama-nama pegawai yang bekerja semenjak dua puluh hingga dua puluh
lima tahun yang lalu. Dia juga tidak ingin ayahnya mengetahui apa yang dia
lakukan, sehingga Piter terpaksa melakukannya seorang diri.
Dengan wajah frustasi Piter melemparkan dengan sembarang di
atas meja file yang telah dibacanya. Pekerjaan yang sangat berat untuk membuka
file-file yang ditulis secara berantakan dan tanpa pembidangan yang benar.
Semua nama pegawai ditulis tidak berdasarkan jabatan ataupun tempatnya bekerja,
namun dicatat sesuai dengan urutan abjad namanya. Dan jumlahnya ribuan, belum
lagi catatan-catatan yang hampir tidak bisa terbaca lagi karena lembar
halamannya sudah usang atau tinta yang telah kabur terkena air dan lembabnya
tempat penyimpanan. Piter bersyukur perusahaannya masih menyimpan file-file ini
meskipun dia memerlukan waktu seharian penuh untuk meminta file ini pada bagian
gudang.
Piter masih larut dalam pencahariannya di dalam kantornya
yang sepi hingga lewat tengah malam. Melupakan makan siang, makan malam hingga
Eliza. Dia tidak ingat untuk mengabari kekasihnya sedari pagi, handphonenya
yang tidak diaktifkan suaranya membuatnya melupakan segala hal mengenai Eliza.
Barulah saat petugas cleaning
service masuk ke kantornya Piter dapat menyandarkan punggungnya yang kaku
dan merasakan perutnya yang keroncongan. Piter meneguk air putih yang
disediakan di mejanya, matanya melirik pada handphonenya yang membisu.
Seketika Piter melompat kaget, dengan cepat dia menyambar
handphone itu dan menemukan beberapa panggilan tak terjawab dari Eliza, begitu
juga panggilan tak terjawab dari rumah dan panggilan-panggilan penting lainnya.
Tiga buah pesan diterimanya dari Eliza. Pesan-pesan yang membuat hatinya miris
setelah membacanya. Liza mengkhawatirkan Piter karena tidak mengabarinya seperti
biasa, Liza mencemaskannya.
Piter terduduk di kursinya, memandang dengan sedih ke arah
handphonenya. Kini sudah pukul dua belas lebih empat puluh menit, Liza pasti
telah tidur. Piter tidak ingin mengganggunya, dia ingin mengirimkan sebuah
pesan yang telah ditulisnya namun diurungkannya untuk dikirim. Tangannya tidak
cukup tangguh untuk menekan tombol send,
takut Liza akan semakin khawatir.
Akhirnya Piter menghapus pesan yang ditulisnya sebelumnya,
pesan yang cukup panjang yang menjelaskan mengapa dia tidak menghubungi Liza
seharian. Piter menggantinya dengan sebuah pesan singkat, bahkan teramat sangat
singkat. Dia sedang tidak memiliki suasana hati yang menyenangkan, Piter
terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaannya pada ayahnya.
“Maaf.. Aku akan
menemuimu besok. Lv. P.V”
Setelah pesan itu terkirim, Piter mencabut baterainya seperti
biasa. Menghindar dari kewajiban untuk menjelaskan perbuatannya pada Liza.
“Esok.. Aku akan menemuimu, Cintaku” lalu Piter melanjutkan
pencahariannya pada file-file itu. Namun hingga pukul tiga dini hari dia belum
juga berhasil mencari yang diinginkannya.
Piter mengumpulkan file-file itu ke dalam satu kotak besar
lalu menguncinya di dalam lemari kerjanya. Piter kemudian pulang kerumahnya dan
menjatuhkan tubuhnya yang letih ke atas ranjang tanpa melepaskan pakaian maupun
sepatunya. Dia terlalu lelah untuk melakukan apapun, jiwa dan fisiknya terkuras
habis untuk permainan Detektif ini.
Keesokan harinya Piter bangun dengan kepala berdenyut-denyut.
Tubuhnya meriang, dia demam. Dengan gontai Piter melepaskan pakaiannya lalu
mengguyur tubuhnya dibawah aliran shower air hangat. Dia tidak bisa pergi ke
kantor dengan keadaan seperti ini, tubuhnya menggigil kedinginan, kepalanya
pusing dan matanya berkunang-kunang. Perutnya yang keroncongan memperparah
sakit yang di deritanya.
Piter menelphone ke bagian dapur rumahnya memberitahukan
mereka untuk menyediakan makanan untuk orang sakit ke kamarnya dan beberapa
butir obat yang akan diminumnya kemudian. Dia lalu berbaring di atas ranjangnya
dengan piyama dan bergelung dibalik selimut. Piter mengambil handphone di
mejanya, memasang kembali bateria yang dilepasnya semalam dan menunggu pesan
masuk. Menunggu pesan dari Eliza-nya.
Piter tahu dia telah melakukan kesalahan karena hanya
menjawab seperti itu pada Liza, dan kini dia menyesalinya. Hatinya terluka
membaca jawaban Liza, dia terluka karena telah melukai hati wanita yang
dicintainya.
“Ya, aku akan
menunggumu untuk ‘menemuiku’ disini..”
Piter menyadari kata yang tidak semestinya dipakainya, Piter
tidak bermaksud memakai kata itu sebagai konotasi negatif. Dia memang bermaksud
menemui Liza, namun bukan menemuinya saat dia menginginkannya saja, tidak,
Piter ingin bersama Liza selalu. Semalam Piter terlalu larut dalam pikirannya
sehingga sedikit tidak dia ingin melampiaskan emosinya kepada seseorang. Dia
telah menyakiti Eliza karena memperlakukan wanita itu seperti seorang simpanan
yang hanya pantas untuk “ditemui” bila dia menginginkannya. Bahkan Piter tidak
menjelaskan apa yang terjadi padanya meski dia mengetahui betapa khawatirnya
Liza saat Piter tidak mengabarinya.
“Maafkan aku, Eliza.. Aku tidak ingin
kau menanyakanku apa yang sedang aku cari.. Hal ini terlalu memalukan, dan aku
tidak ingin kau tahu aib keluargaku. Aku berjanji akan kembali, sekarang aku
tertahan di atas ranjangku.. Aku tidak bermaksud untuk menghindarimu. Aku
sungguh-sungguh tidak ingin meninggalkanmu seorang diri dalam apartemen itu,
aku tidak bisa membayangkanmu ketakutan seorang diri disana. Aku akan kembali..
Tunggulah aku, Eliza..” Piter berbicara pada dirinya sendiri. Dia tidak
menjawab sms Liza yang semakin memperburuk suasana hati wanita itu.
No comments:
Post a Comment