Piter sedang duduk menghisap rokoknya diatas ranjang,
disampingnya Liza meringkuk masih memunggunginya dalam lindungan selimut yang
menutupi tubuhnya hingga batas dada. Terlalu banyak hal yang dipikirkan Piter
saat ini, suasana kamar yang sunyi hanya terdengar nafas ringan dari Liza
memberikannya ketenangan yang tak biasa.
Piter bertanya-tanya alasan apa yang membuat Liza pergi
dengan sembunyi-sembunyi mencoba meninggalkannya. Dia bahkan tidak meninggalkan
secarik kertas ataupun pesan untuknya. Piter tidak habis pikir dan merasa
dikhianati oleh perbuatan Liza, dia merasa cinta Liza padanya tidak sebesar
rasa cintanya kepada wanita ini.
Piter memperhatikan dengan sayang tubuh Liza yang sedang
terlelap, mematikan rokoknya dan kembali bergelung di dalam selimut. Dia
mendekatkan tubuh mereka, memeluk Liza dari belakang dan mengecup bahu,
punggung dan leher wanita yang dicintainya ini.
“Aku mencintaimu, Eliza.. Jangan pernah berpikir untuk
meninggalkanku lagi.. Kasihanilah hatiku, aku tidak berdaya tanpamu” Piter
memejamkan matanya, mencoba mendapat sedikit kesempatan untuk tertidur setelah
beberapa jam yang menyiksa karena pikiran-pikiran yang mengganggu hatinya.
Kondisi ayahnya telah membaik, dokter memerintahkan ayahnya
untuk beristirahat total dan tidak mendapat beban pekerjaan untuk sementara
waktu. Piter bertanggung jawab sepenuhnya atas perusahaan mereka mulai saat
ini. Saat Piter meninggalkan ayahnya untuk mencari Liza yang menghilang dari
rumahnya, kondisi ayahnya sudah membaik. Dia sedang terlelap sehingga Piter
bisa menggunakan waktunya untuk mencari keberadaan Liza. Saat dia mengetahui
Liza tidak ada dimana-mana dalam rumahnya, Piter menjadi panik dan khawatir.
Setelah mendapat informasi dari tukang kebunnya, dengan
kesetanan Piter mengemudikan mobilnya menuju apartemen mereka. Piter
kebingungan, Piter memiliki ribuan pertanyaan dalam kepalanya setelah
mengetahui Liza tega meninggalkan rumahnya tanpa berpamitan kepadanya, bahkan
di saat dia melihat dengan mata kepalanya sendiri ayah Piter terkena serangan
jantung.
Piter tidak mengharapkan perlakuan seburuk itu dari calon
istrinya kepada ayahnya. Piter berharap Liza akan menemaninya di saat-saat
berat seperti itu, ada untuknya melepaskan ketakutannya, karena dia khawatir
ayahnya akan pergi dan meninggalkan dunia karena serangan jantung yang
tiba-tiba itu.
Selama ini ayahnya tidak pernah mengeluh memiliki kelainan
jantung, sehingga saat hal itu terjadi tak ada yang menyangka ataupun bersiap
dengan kemungkinan terburuk. Untungnya dokter pribadi mereka yang tinggal tak
jauh dari rumah mereka bisa datang secepatnya.
Saat melangkahkan kakinya menuju koridor apartemen mereka,
Piter berharap menemukan Liza dalam apartemen mereka sehingga dia tidak perlu
mencari ke tempat lain lagi. Piter tidak tahu harus mencari Liza kemana lagi
bila bukan di apartemen mereka. Dan dia bersyukur dia tidak terlambat.
Karena bila terlambat semenit saja, maka dia tidak akan
pernah bertemu dengan wanita ini lagi. Memikirkan kemungkinan itu membuat Piter
hampir gila, dia tidak bisa menerima Liza pergi meninggalkannya. Liza mencoba
untuk meninggalkannya saja telah merubahnya menjadi seorang laki-laki kasar
yang begitu cepat naik darah.
Meski atas nama cinta, Piter tak akan mampu memaafkan Liza
yang mengkhianatinya, dia bukan laki-laki pemurah seperti ayahnya. Piter adalah
Volcano, dan Volcano meluluh-lantakan tanpa ampun.
~~~~
Piter tidak mau meninggalkan Liza sendirian di apartemen
mereka, dia melarang Liza untuk pergi ke tempat kerjanya. Dia juga tidak
mengizinkan Liza pergi keluar tanpa ditemani olehnya. Piter tidak berani
mempercayainya lagi, Liza hampir saja berhasil meninggalkannya, dan saat dia
telah berada jauh dari rumah keluarga Van Der Wilhem sedikit kekhawatiran yang
ada dalam hati Liza mulai terangkat. Dia berat berada di dalam rumah itu,
perasaan bersalah selalu menghantuinya bila mengingat Mr. Luther yang jatuh pingsan
karena hampir bersalaman dengannya. Liza tidak mengerti mengapa wajah laki-laki
tua itu menghantuinya, wajah yang terasa familiar dengannya namun tak sanggup
diingatnya.
Liza sedang menyeduh dua cangkir kopi, untuk dirinya dan
Piter. Laki-laki ini sedang memainkan handphonenya, membalas beberapa pesan
yang masuk dan menelphone beberapa orang. Dia sibuk lalu lalang dan membuka
laptopnya di atas meja dapur. Dia tidak ingin jauh-jauh dari Liza, matanya
sesekali akan mengawasi apa yang sedang Liza lakukan lalu setelah tidak
menemukan hal yang mencurigakan, dia akan kembali mematung di depan layar
laptopnya dan mengulang hal yang sama mengawasi Liza lagi terus menerus.
Liza menyibukan diri dengan membersihkan apartemen mereka,
memasukan cucian yang kotor ke dalam mesin cuci, membersihkan kaca jendela
hingga mengatur buku-buku dalam lemari dan terkadang membuka-buka kembali
novel-novel yang pernah dibacanya. Dia tidak ingin membangkitkan amarah Piter
lagi, Liza mengakui kesalahannya. Dia hanya tidak ingin bertemu dengan keluarga
Piter lagi, berada dalam apartemennya membuatnya merasa aman, meski bersama
dengan seorang laki-laki yang tak akan segan-segan menghancurkannya bila dia
melukai Volcano itu.
Piter mengawasi Liza yang sedang duduk di lantai membaca
sebuah novel berbahasa inggris dan memegang sapu bulu ditangan kirinya. Dia
menutup laptopnya dan menghampiri Liza. Piter berjongkok dibelakang Liza,
mencium pipi wanita ini lalu berbisik di telinganya.
“Kau belum ingin mandi, Eliza?” tanyanya pelan.
Liza memalingkan wajahnya menatap Piter yang sedang
menatapnya tanpa kedip.
“Entahlah, mungkin sebentar lagi. Aku sedang asyik membaca”
jawabnya.
Mereka belum membicarakan masalah percobaan melarikan diri
Liza, mereka seolah menghindari topik itu karena sama-sama tahu mereka tidak
ingin mendengar jawaban apapun yang akan keluar dari mulut Liza. Mereka tahu,
mereka lebih memilih kehidupan yang aman dan damai daripada pertengkaran yang
hanya akan menguras air mata mereka.
Piter menarik buku yang sedang dibaca Liza, menutup buku itu
dan meletakannya ditempatnya semula.
“Ayo.. Kita mandi. Aku sudah kelaparan, dan aku ingin
mengajakmu makan di luar” Piter mengangkat tubuh Liza dengan mudah, wanita ini
memeluk tubuh Piter dan kakinya bergelung pada pinggang Piter, tangannya saling
mengait pada leher Piter dan tak ingin jatuh dari gendongan laki-laki ini.
Piter membuka keran shower dan mengguyur tubuh telanjang
mereka dengan air hangat yang telah dia atur suhunya sehingga nyaman untuk
dipakai. Piter menyabuni sekujur tubuh Liza tanpa bicara, mereka tidak banyak
bicara lagi sejak peristiwa semalam. Liza juga tidak membahas mengenai
kekasaran perlakuan Piter padanya. Mereka berpura-pura tidak ada yang pernah
terjadi. Meski demikian, kebisuan yang melingkupi udara tidak dapat menipu hati
mereka yang masih ternodai oleh luka pengkhianatan dan kekecewan.
Mereka telah siap dan akan keluar dari apartemen, Liza
mengenakan kemeja putih halus dengan bawahan rok selutut berwarna biru muda
yang jatuh lemas di lututnya. Sebuah jam tangan kecil menghiasi pergelangan
tangan Liza dan cincin emas pertunangan mereka masih bertengger di jari
manisnya.
Sedang Piter mengenakan celana jeans hitam dengan atasan
kemeja putih lengan pendek tanpa saku, dan dimasukan ke pinggang. Mereka
terlihat bagai saudara kembar bagi mata orang awam, mata yang tidak terkabuti
oleh perasaan sentimentil yang bernama cinta..
“Kau siap?” tanya Piter pada Liza.
Dia memandang dengan terpesona pada penampilan calon
istrinya. Ya, mereka masih berstatus sebagai tunangan, mereka juga belum
membicarakan lagi mengenai hari pernikahan mereka dua bulan lagi, bila tidak
ada halangan. Tentunya dengan kejadian semalam, semua rencana itu akan
terganggu dan Piter memeras otaknya agar semua rencana yang telah disusunnya
bisa terlaksana tanpa mundur seharipun.
Mereka menikmati makan siang di sebuah rumah makan Sunda di
bilangan Jakarta Barat, memesan paket menu tanpa membaca ulang isi pesanannya.
Mereka nampaknya memendam terlalu lama isi hati dan ingin segera menyelesaikan
makan siang ini kemudian kembali ke apartemen mereka atau ke suatu tempat
dimana mereka bisa berbicara tanpa mendapat gangguan dari siapapun.
“Kenapa? Tidak enak?” tanya Piter pada Liza yang hanya
mengaduk-aduk isi piringnya.
Dia tidak berselera makan, nampak dari wajahnya yang murung
dan sedih. Piter bisa melihat Liza sedang menyembunyikan tangis di matanya. Dan
dia menghela nafas panjang, sebelum meneguk minumannya hingga habis, lalu Piter
menggamit tangan Liza dan membayar makanan mereka di kasir.
Piter mengajak Liza masuk ke dalam sebuah kamar hotel mewah
di pusat kota dan duduk berdua di atas ranjang yang empuk. Lalu Piter mengambil
sebuah kursi dari meja kerja yang terletak di sudut ruangan dan mendekatkan
kursi itu di sisi ranjang, dia kemudian duduk diatasnya. Tubuh mereka
berhadap-hadapan, sudah saatnya mereka berbicara dari hati ke hati.
“Eliza.. Sayang.. Apapun yang terjadi, aku tetap mencintaimu,
aku tetap menyayangimu, aku tetap menginginkanmu sebagai istriku. Hanya maut
yang bisa memisahkan kita, atau.. bila kau menginginkannya demikian..” Piter
tak mampu mengucapkan kata-kata terakhir itu, hanya bisikan pelan yang mampu
keluar dari mulutnya. Namun bisikan itu mampu ditangkap oleh telinga Liza.
Tangis di mata Liza turun tak terbendung lagi, dia tidak
mengerti dengan perasaannya. Di satu sisi dia tidak ingin berpisah dari Piter,
dia mencintai laki-laki ini. Piter nya yang romantis, penyayang, penuh
perhatian meski emosinya yang meledak-ledak. Tapi Liza masih bisa memaafkannya,
karena Piter jujur dan mau meminta maaf atas kesalahannya. Piter tidak pernah
membohonginya, Piter selalu ada untuknya, Piter mengerti dia, Piter.. dia tidak
bisa hidup tanpa Piter. Tapi mengapa dia begitu takut untuk melanjutkan
hubungan mereka?
Liza merasa ada kekuatan lain yang melarangnya untuk lebih
lama lagi bersama dengan pria ini. Kekuatan yang tak memaksa namun mendorongnya
tanpa dia sadari. Kekuatan yang menakutinya karena semakin lama sebuah ingatan
masa lalunya makin menyeruak ke permukaan, ingatan masa lalu yang telah
dilupakannya, ingatan masa lalu yang terlalu pahit untuk diingat lagi.
“Shh.. Jangan menangis Elizaku.. Aku tidak marah, aku tidak
pernah ingin memarahimu.. Katakanlah padaku agar hatimu tenang, agar hatiku
tenang. Karena aku ingin mempercayaimu kembali, aku ingin mempercayaimu bahwa
cinta kita masih sama, masih akan berlanjut” Piter mengusap air mata Liza
dengan sapu tangannya. Menarik kepala wanita ini ke dalam dadanya, membiarkan
kemejanya basah oleh tangisan kekasih hatinya.
Setelah tangis Liza mulai mereda, dimana hanya isak kecil
yang keluar dari mulut indahnya, Piter mengecup ringan kening Liza.
“Kau siap untuk memberitahukanku semuanya?” bujuk Piter pada
Liza. Wanita ini mengangguk, dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya, namun
dia ingin mengangguk, seolah dia akan menemukan kata-katanya kemudian.
“Katakanlah.. Mengapa kau meninggalkan rumahku kemarin
malam.. tanpa memberitahuku atau meninggalkan pesan?” Piter mulai bertanya hal
yang paling mengganggunya. Suaranya tenang dan rendah, tak tersirat sedikitpun
kebencian dalam kata-kata yang diucapkannya.
“..Aku.. entahlah.. Aku merasa kehadiranku membawa sial untuk
keluargamu. Saat ayahmu akan berkenalan denganku, dia.. dia terkena serangan
jantung. Dan aku.. seketika aku merasa panik, aku kebingungan. Aku tidak tahu
harus berbicara dengan siapa. Kalian semua panik, dan itu tidak membuatku lebih
baik. Saat aku ingin menemuimu, kau begitu sibuk dan..dan.. aku tidak ingin
mengganggumu. Aku tahu kau sedang menolong ayahmu dan aku.. aku ketakutan,
Piter.. Aku ingin pergi dari rumahmu, aku.. entah apa yang membuatku takut. Aku
merasa aku akan ketahuan disana. Entah.. aku tidak mengerti.. aku.. aku...”
sekali lagi Piter menarik tubuh Liza ke dalam pelukannya. Tangis kekasihnya
telah turun lagi dengan deras.
Dia terbata-bata mengungkapkan ketakutannya pada Piter, dan
laki-laki ini menyesali segala perbuatannya. Dia malah memperlakukan Liza
dengan kasar saat wanita ini tengah dilingkupi ketakutan luar biasa hingga
mengambil jalan yang paling drastis bagi hidupnya, yaitu meninggalkan orang
yang paling dicintainya. Hanya karena ketakutan yang sangat besarlah Liza akan
meninggalkannya. Dan Piter tidak membantu kekasihnya sama sekali dengan
memperkosanya semalam.
“Saat aku tiba di apartemen, aku langsung mengemas
barang-barangku. Aku takut Piter, entah apa yang aku takutkan. Aku merasa ingin
melarikan diri darimu, dari semua ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku
seperti itu, aku kebingungan. Sungguh, maafkan aku.. Aku tidak bisa berpikir
jernih. Entah apa yang terjadi padaku. Aku bersalah, aku mengecewakanmu,
Piter...” Liza melanjutkan kalimatnya dengan sesenggukan dalam pelukan hangat
Piter.
Laki-laki ini tidak menjawabnya, perlukah Liza jawaban saat
dia telah memberikan maafnya kepadanya? Perlukah Liza kesempatan lagi saat
Piter telah mengaku tak bisa hidup tanpanya? Bila Liza meninggalkannya pun,
Piter akan berlutut dan mencium kakinya agar tidak meninggalkannya. Piter
bersedia menjadi budaknya bila memang Liza menginginkannya. Piter rela
berkorban apapun untuk wanita yang dicintainya ini.
Piter merangkum wajah Liza, memaksa wanita ini untuk
bertatapan dengannya. “Eliza.. Aku juga meminta maaf karena telah berbuat kasar
padamu. Aku kelewatan, dan aku menyakitimu. Aku berjanji tidak akan berbuat
seperti itu lagi, semarah apapun aku. Tapi aku tidak berjanji lain kali aku
tidak akan marah, atau tidak emosi atau tidak cemburu. Karena inilah aku,
Volcano yang kau ketahui. Aku Volcano dan aku gampang meledak-ledak. Hanya
bersamamu aku sanggup meredam amarahku. Dan saat aku gelap mata, aku sungguh
menyesal. Aku ingin memukul diriku karena telah menyakitimu. Maafkan aku
Eliza.. Aku melakukannya karena aku tidak ingin kehilanganmu” Piter mencium
kening Liza. Menunggu jawaban kekasihnya.
“Oh.. Piter.. Akulah yang bersalah, akulah yang membuatmu
kehilangan kendali. Akulah yang patut disalahkan. Kau sungguh baik, laki-laki
yang kucintai. Kau sempurna Piter.. Kau adalah laki-laki dambaan wanita
manapun, dan aku beruntung karena memiliki cintamu, memiliki hatimu. Dan aku
sungguh bodoh telah mengkhianati kepercayaanmu. Mungkin.. bila kau masih
bersedia memberikanku kesempatan, aku akan berusaha memperbaiki perbuatanku
kepadamu.. Aku hanya butuh waktu.. Aku belum bisa menemui keluargamu lagi, Piter..
Maafkan aku” pandangan Liza kabur karena ditutupi oleh air matanya yang
menggenang di pelupuk mata.
Piter mengecup mata itu, menjilati air mata yang mengalir
dari mata Liza lalu ke pipinya.
“Aku memaafkanmu, Eliza.. Sayangku. Apakah kau memaafkanku,
juga?” tanyanya.
Liza mengangguk, dan itu cukup bagi Piter. Mereka berpelukan
erat, melepaskan beban yang menghimpit dalam dada mereka. Piter mencumbu tubuh
kekasihnya lalu membawanya ke atas ranjang mereka. Dengan lembut dibukanya
kancing demi kancing kemeja Liza, begitu pula tangan Liza dengan lihai membuka
kancing kemeja Piter.
Piter membungkuk diselangkangan Liza saat dengan nikmat
menciumi daerah kewanitaan Liza dan memberikan kepuasan tak terhingga pada
wanita ini. Liza melenguh, mengerang dan mendesah saat mencengkeram rambut
kepala Piter dan menikmati pelepasannya.
Piter melepaskan sisa-sisa pakaian mereka, dia mencium bibir
Liza lagi. Begitu lembut, begitu mesra tak ingin melukai kekasihnya lagi. Lidahnya
meraba bibir bawah Liza yang terluka, lalu mengulumnya dalam hisapan penuh
damba Piter. Mereka bercinta dalam diam, hanya desahan dan erangan kenikmatan
yang keluar dari mulut mereka yang mengiringi penyatuan tubuh kedua insan tak
berdosa ini.
Piter menatap wajah kekasihnya dalam setiap hujaman
kenikmatan yang diberikannya pada Liza, mereka bercinta dengan perlahan,
menikmati setiap gerakan sekecil apapun yang mereka lalukan. Sesekali Piter
akan berhenti lalu mencium bibir Liza lagi, merayu wanita ini dalam ciuman
panjang dan lama sebelum kemudian melanjutkan kembali hujamannya lebih dalam
dan teratur.
Liza menangis dengan gelisah dibawahnya, pelepasan yang
hampir dicapainya selalu dipermainkan dengan manis oleh Piter. Laki-laki ini
menggodanya, mempermainkan orgasme yang hampir direguknya. Piter akan
memberinya kenikmatan itu, namun dengan kejam menghentikan gerakannya saat
hanya diperlukan sebuah hujaman lagi untuk melepaskan Liza dari siksaan kejam
Piter.
Piter menikmati wajah penuh derita Liza, menikmati setiap
desahan dan erangan mendambanya, menikmati kekuasaan yang dimilikinya untuk
memutuskan kapan pelepasan itu akan diberikannya pada kekasihnya. Piter akan
merayu pucuk payudara Liza dan menciuminya saat tidak sedang menggerakan
tubuhnya di dalam Liza. Liza melengkungkan tubuhnya dan terkadang akan
menggerakan pinggangnya, meminta lebih dari yang ingin diberikan Piter.
Piter akan tertawa girang dan menahan tubuh Liza, dia tidak
ingin memberikan Liza apa yang diinginkannya, belum.. Liza harus memohon
kepadanya, selama ini Piter selalu memberikannya, selalu mengutamakan kepuasan
Liza, namun kali ini.. Piter ingin dia memohon.
“Piter.. Kau.. Kau menyiksaku..” desah Liza dalam sengal
nafasnya.
“Um.. Apa yang kau inginkan Eliza..?” Piter memandang wajah
kekasihnya dengan licik. Seringai senang tak bisa lekang dari wajah tampan
laki-laki bermata biru ini.
“Kau tahu apa yang aku inginkan, Pit!” erang Liza saat Piter
menghujamnya dengan kasar.
“Um.. Aku tidak tahu, Eliza.. Katakanlah.. Mohonlah..
Mintalah padaku.. Maka aku akan memberikannya padamu..” Piter menciumi lagi
payudara Liza, mengulum putingnya, mengirimkan gelenyar geli nikmat pada tubuh
Liza.
“Piter.. Ouch.. Berikan aku pelepasan itu sekarang.. aku
memerlukannya, Pit.. Aku memerlukanmu.. Oh.. Aku tidak tahan lagi.. Aku butuh
dirimu, Piter.. Masuki aku, kasihanilah aku.. Berikan aku kepuasan itu, Pit..
Hanya kau.. hanya kau yang bisa, Piter..” rintih Liza memohon dengan isak
tangis yang semakin keras.
Piter merasa bersalah karena menyiksa kekasihnya hingga ke titik
ini, namun dia puas.. Dia berhasil membuat Liza memerlukannya, dia berhasil
membuat Liza mengakui kekuasaannya atas dirinya.
“Ya, Eliza.. Aku akan memuaskanmu. Hanya aku yang bisa,
Eliza.. Ingat-ingat itu.. Hanya aku yang bisa...”
Piter mengangkat kedua kaki Liza tinggi-tinggi ke atas
pundaknya, menindih tubuh wanita itu lalu menghujamkan dengan kencang dan cepat
kejantanannya keluar masuk dalam tubuh Liza.
Seketika itu juga Liza mengerang dan merintih dengan keras.
Tak lama kemudian, tangisan penuh kenikmatan keluar dari mulut Liza, meneriakan
nama Piter Volcano dan laki-laki itu mengumpat tertahan, ikut mengerang dalam
cengkeraman tangan Liza pada tubuhnya, mendesiskan nama wanita yang berada
dibawahnya. Piter akhirnya menyemburkan benih-benih kehidupan ke dalam rahim
kekasihnya.
Mereka bercumbu tanpa henti dalam
kamar hotel itu, menghabiskan waktu dengan bercinta hingga malam larut dan
mereka bermalam di hotel itu. Keesokan harinya, Piter mengantarkan Liza ke
apartemen mereka lalu kembali pulang ke rumahnya. Ayahnya telah siuman dan
Piter ingin menemuinya, banyak hal yang ingin dia tanyakan pada ayahnya itu.
No comments:
Post a Comment