Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 6



Piter sedang duduk menghisap rokoknya diatas ranjang, disampingnya Liza meringkuk masih memunggunginya dalam lindungan selimut yang menutupi tubuhnya hingga batas dada. Terlalu banyak hal yang dipikirkan Piter saat ini, suasana kamar yang sunyi hanya terdengar nafas ringan dari Liza memberikannya ketenangan yang tak biasa.

Piter bertanya-tanya alasan apa yang membuat Liza pergi dengan sembunyi-sembunyi mencoba meninggalkannya. Dia bahkan tidak meninggalkan secarik kertas ataupun pesan untuknya. Piter tidak habis pikir dan merasa dikhianati oleh perbuatan Liza, dia merasa cinta Liza padanya tidak sebesar rasa cintanya kepada wanita ini.


Piter memperhatikan dengan sayang tubuh Liza yang sedang terlelap, mematikan rokoknya dan kembali bergelung di dalam selimut. Dia mendekatkan tubuh mereka, memeluk Liza dari belakang dan mengecup bahu, punggung dan leher wanita yang dicintainya ini.

“Aku mencintaimu, Eliza.. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku lagi.. Kasihanilah hatiku, aku tidak berdaya tanpamu” Piter memejamkan matanya, mencoba mendapat sedikit kesempatan untuk tertidur setelah beberapa jam yang menyiksa karena pikiran-pikiran yang mengganggu hatinya.

Kondisi ayahnya telah membaik, dokter memerintahkan ayahnya untuk beristirahat total dan tidak mendapat beban pekerjaan untuk sementara waktu. Piter bertanggung jawab sepenuhnya atas perusahaan mereka mulai saat ini. Saat Piter meninggalkan ayahnya untuk mencari Liza yang menghilang dari rumahnya, kondisi ayahnya sudah membaik. Dia sedang terlelap sehingga Piter bisa menggunakan waktunya untuk mencari keberadaan Liza. Saat dia mengetahui Liza tidak ada dimana-mana dalam rumahnya, Piter menjadi panik dan khawatir.

Setelah mendapat informasi dari tukang kebunnya, dengan kesetanan Piter mengemudikan mobilnya menuju apartemen mereka. Piter kebingungan, Piter memiliki ribuan pertanyaan dalam kepalanya setelah mengetahui Liza tega meninggalkan rumahnya tanpa berpamitan kepadanya, bahkan di saat dia melihat dengan mata kepalanya sendiri ayah Piter terkena serangan jantung.

Piter tidak mengharapkan perlakuan seburuk itu dari calon istrinya kepada ayahnya. Piter berharap Liza akan menemaninya di saat-saat berat seperti itu, ada untuknya melepaskan ketakutannya, karena dia khawatir ayahnya akan pergi dan meninggalkan dunia karena serangan jantung yang tiba-tiba itu.

Selama ini ayahnya tidak pernah mengeluh memiliki kelainan jantung, sehingga saat hal itu terjadi tak ada yang menyangka ataupun bersiap dengan kemungkinan terburuk. Untungnya dokter pribadi mereka yang tinggal tak jauh dari rumah mereka bisa datang secepatnya.

Saat melangkahkan kakinya menuju koridor apartemen mereka, Piter berharap menemukan Liza dalam apartemen mereka sehingga dia tidak perlu mencari ke tempat lain lagi. Piter tidak tahu harus mencari Liza kemana lagi bila bukan di apartemen mereka. Dan dia bersyukur dia tidak terlambat.

Karena bila terlambat semenit saja, maka dia tidak akan pernah bertemu dengan wanita ini lagi. Memikirkan kemungkinan itu membuat Piter hampir gila, dia tidak bisa menerima Liza pergi meninggalkannya. Liza mencoba untuk meninggalkannya saja telah merubahnya menjadi seorang laki-laki kasar yang begitu cepat naik darah.

Meski atas nama cinta, Piter tak akan mampu memaafkan Liza yang mengkhianatinya, dia bukan laki-laki pemurah seperti ayahnya. Piter adalah Volcano, dan Volcano meluluh-lantakan tanpa ampun.

~~~~

Piter tidak mau meninggalkan Liza sendirian di apartemen mereka, dia melarang Liza untuk pergi ke tempat kerjanya. Dia juga tidak mengizinkan Liza pergi keluar tanpa ditemani olehnya. Piter tidak berani mempercayainya lagi, Liza hampir saja berhasil meninggalkannya, dan saat dia telah berada jauh dari rumah keluarga Van Der Wilhem sedikit kekhawatiran yang ada dalam hati Liza mulai terangkat. Dia berat berada di dalam rumah itu, perasaan bersalah selalu menghantuinya bila mengingat Mr. Luther yang jatuh pingsan karena hampir bersalaman dengannya. Liza tidak mengerti mengapa wajah laki-laki tua itu menghantuinya, wajah yang terasa familiar dengannya namun tak sanggup diingatnya.

Liza sedang menyeduh dua cangkir kopi, untuk dirinya dan Piter. Laki-laki ini sedang memainkan handphonenya, membalas beberapa pesan yang masuk dan menelphone beberapa orang. Dia sibuk lalu lalang dan membuka laptopnya di atas meja dapur. Dia tidak ingin jauh-jauh dari Liza, matanya sesekali akan mengawasi apa yang sedang Liza lakukan lalu setelah tidak menemukan hal yang mencurigakan, dia akan kembali mematung di depan layar laptopnya dan mengulang hal yang sama mengawasi Liza lagi terus menerus.

Liza menyibukan diri dengan membersihkan apartemen mereka, memasukan cucian yang kotor ke dalam mesin cuci, membersihkan kaca jendela hingga mengatur buku-buku dalam lemari dan terkadang membuka-buka kembali novel-novel yang pernah dibacanya. Dia tidak ingin membangkitkan amarah Piter lagi, Liza mengakui kesalahannya. Dia hanya tidak ingin bertemu dengan keluarga Piter lagi, berada dalam apartemennya membuatnya merasa aman, meski bersama dengan seorang laki-laki yang tak akan segan-segan menghancurkannya bila dia melukai Volcano itu.

Piter mengawasi Liza yang sedang duduk di lantai membaca sebuah novel berbahasa inggris dan memegang sapu bulu ditangan kirinya. Dia menutup laptopnya dan menghampiri Liza. Piter berjongkok dibelakang Liza, mencium pipi wanita ini lalu berbisik di telinganya.

“Kau belum ingin mandi, Eliza?” tanyanya pelan.

Liza memalingkan wajahnya menatap Piter yang sedang menatapnya tanpa kedip.

“Entahlah, mungkin sebentar lagi. Aku sedang asyik membaca” jawabnya.

Mereka belum membicarakan masalah percobaan melarikan diri Liza, mereka seolah menghindari topik itu karena sama-sama tahu mereka tidak ingin mendengar jawaban apapun yang akan keluar dari mulut Liza. Mereka tahu, mereka lebih memilih kehidupan yang aman dan damai daripada pertengkaran yang hanya akan menguras air mata mereka.

Piter menarik buku yang sedang dibaca Liza, menutup buku itu dan meletakannya ditempatnya semula.

“Ayo.. Kita mandi. Aku sudah kelaparan, dan aku ingin mengajakmu makan di luar” Piter mengangkat tubuh Liza dengan mudah, wanita ini memeluk tubuh Piter dan kakinya bergelung pada pinggang Piter, tangannya saling mengait pada leher Piter dan tak ingin jatuh dari gendongan laki-laki ini.

Piter membuka keran shower dan mengguyur tubuh telanjang mereka dengan air hangat yang telah dia atur suhunya sehingga nyaman untuk dipakai. Piter menyabuni sekujur tubuh Liza tanpa bicara, mereka tidak banyak bicara lagi sejak peristiwa semalam. Liza juga tidak membahas mengenai kekasaran perlakuan Piter padanya. Mereka berpura-pura tidak ada yang pernah terjadi. Meski demikian, kebisuan yang melingkupi udara tidak dapat menipu hati mereka yang masih ternodai oleh luka pengkhianatan dan kekecewan.

Mereka telah siap dan akan keluar dari apartemen, Liza mengenakan kemeja putih halus dengan bawahan rok selutut berwarna biru muda yang jatuh lemas di lututnya. Sebuah jam tangan kecil menghiasi pergelangan tangan Liza dan cincin emas pertunangan mereka masih bertengger di jari manisnya.

Sedang Piter mengenakan celana jeans hitam dengan atasan kemeja putih lengan pendek tanpa saku, dan dimasukan ke pinggang. Mereka terlihat bagai saudara kembar bagi mata orang awam, mata yang tidak terkabuti oleh perasaan sentimentil yang bernama cinta..

“Kau siap?” tanya Piter pada Liza.

Dia memandang dengan terpesona pada penampilan calon istrinya. Ya, mereka masih berstatus sebagai tunangan, mereka juga belum membicarakan lagi mengenai hari pernikahan mereka dua bulan lagi, bila tidak ada halangan. Tentunya dengan kejadian semalam, semua rencana itu akan terganggu dan Piter memeras otaknya agar semua rencana yang telah disusunnya bisa terlaksana tanpa mundur seharipun.

Mereka menikmati makan siang di sebuah rumah makan Sunda di bilangan Jakarta Barat, memesan paket menu tanpa membaca ulang isi pesanannya. Mereka nampaknya memendam terlalu lama isi hati dan ingin segera menyelesaikan makan siang ini kemudian kembali ke apartemen mereka atau ke suatu tempat dimana mereka bisa berbicara tanpa mendapat gangguan dari siapapun.

“Kenapa? Tidak enak?” tanya Piter pada Liza yang hanya mengaduk-aduk isi piringnya.

Dia tidak berselera makan, nampak dari wajahnya yang murung dan sedih. Piter bisa melihat Liza sedang menyembunyikan tangis di matanya. Dan dia menghela nafas panjang, sebelum meneguk minumannya hingga habis, lalu Piter menggamit tangan Liza dan membayar makanan mereka di kasir.

Piter mengajak Liza masuk ke dalam sebuah kamar hotel mewah di pusat kota dan duduk berdua di atas ranjang yang empuk. Lalu Piter mengambil sebuah kursi dari meja kerja yang terletak di sudut ruangan dan mendekatkan kursi itu di sisi ranjang, dia kemudian duduk diatasnya. Tubuh mereka berhadap-hadapan, sudah saatnya mereka berbicara dari hati ke hati.

“Eliza.. Sayang.. Apapun yang terjadi, aku tetap mencintaimu, aku tetap menyayangimu, aku tetap menginginkanmu sebagai istriku. Hanya maut yang bisa memisahkan kita, atau.. bila kau menginginkannya demikian..” Piter tak mampu mengucapkan kata-kata terakhir itu, hanya bisikan pelan yang mampu keluar dari mulutnya. Namun bisikan itu mampu ditangkap oleh telinga Liza.

Tangis di mata Liza turun tak terbendung lagi, dia tidak mengerti dengan perasaannya. Di satu sisi dia tidak ingin berpisah dari Piter, dia mencintai laki-laki ini. Piter nya yang romantis, penyayang, penuh perhatian meski emosinya yang meledak-ledak. Tapi Liza masih bisa memaafkannya, karena Piter jujur dan mau meminta maaf atas kesalahannya. Piter tidak pernah membohonginya, Piter selalu ada untuknya, Piter mengerti dia, Piter.. dia tidak bisa hidup tanpa Piter. Tapi mengapa dia begitu takut untuk melanjutkan hubungan mereka?

Liza merasa ada kekuatan lain yang melarangnya untuk lebih lama lagi bersama dengan pria ini. Kekuatan yang tak memaksa namun mendorongnya tanpa dia sadari. Kekuatan yang menakutinya karena semakin lama sebuah ingatan masa lalunya makin menyeruak ke permukaan, ingatan masa lalu yang telah dilupakannya, ingatan masa lalu yang terlalu pahit untuk diingat lagi.

“Shh.. Jangan menangis Elizaku.. Aku tidak marah, aku tidak pernah ingin memarahimu.. Katakanlah padaku agar hatimu tenang, agar hatiku tenang. Karena aku ingin mempercayaimu kembali, aku ingin mempercayaimu bahwa cinta kita masih sama, masih akan berlanjut” Piter mengusap air mata Liza dengan sapu tangannya. Menarik kepala wanita ini ke dalam dadanya, membiarkan kemejanya basah oleh tangisan kekasih hatinya.

Setelah tangis Liza mulai mereda, dimana hanya isak kecil yang keluar dari mulut indahnya, Piter mengecup ringan kening Liza.

“Kau siap untuk memberitahukanku semuanya?” bujuk Piter pada Liza. Wanita ini mengangguk, dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya, namun dia ingin mengangguk, seolah dia akan menemukan kata-katanya kemudian.

“Katakanlah.. Mengapa kau meninggalkan rumahku kemarin malam.. tanpa memberitahuku atau meninggalkan pesan?” Piter mulai bertanya hal yang paling mengganggunya. Suaranya tenang dan rendah, tak tersirat sedikitpun kebencian dalam kata-kata yang diucapkannya.

“..Aku.. entahlah.. Aku merasa kehadiranku membawa sial untuk keluargamu. Saat ayahmu akan berkenalan denganku, dia.. dia terkena serangan jantung. Dan aku.. seketika aku merasa panik, aku kebingungan. Aku tidak tahu harus berbicara dengan siapa. Kalian semua panik, dan itu tidak membuatku lebih baik. Saat aku ingin menemuimu, kau begitu sibuk dan..dan.. aku tidak ingin mengganggumu. Aku tahu kau sedang menolong ayahmu dan aku.. aku ketakutan, Piter.. Aku ingin pergi dari rumahmu, aku.. entah apa yang membuatku takut. Aku merasa aku akan ketahuan disana. Entah.. aku tidak mengerti.. aku.. aku...” sekali lagi Piter menarik tubuh Liza ke dalam pelukannya. Tangis kekasihnya telah turun lagi dengan deras.

Dia terbata-bata mengungkapkan ketakutannya pada Piter, dan laki-laki ini menyesali segala perbuatannya. Dia malah memperlakukan Liza dengan kasar saat wanita ini tengah dilingkupi ketakutan luar biasa hingga mengambil jalan yang paling drastis bagi hidupnya, yaitu meninggalkan orang yang paling dicintainya. Hanya karena ketakutan yang sangat besarlah Liza akan meninggalkannya. Dan Piter tidak membantu kekasihnya sama sekali dengan memperkosanya semalam.

“Saat aku tiba di apartemen, aku langsung mengemas barang-barangku. Aku takut Piter, entah apa yang aku takutkan. Aku merasa ingin melarikan diri darimu, dari semua ini. Aku tidak tahu apa yang membuatku seperti itu, aku kebingungan. Sungguh, maafkan aku.. Aku tidak bisa berpikir jernih. Entah apa yang terjadi padaku. Aku bersalah, aku mengecewakanmu, Piter...” Liza melanjutkan kalimatnya dengan sesenggukan dalam pelukan hangat Piter.

Laki-laki ini tidak menjawabnya, perlukah Liza jawaban saat dia telah memberikan maafnya kepadanya? Perlukah Liza kesempatan lagi saat Piter telah mengaku tak bisa hidup tanpanya? Bila Liza meninggalkannya pun, Piter akan berlutut dan mencium kakinya agar tidak meninggalkannya. Piter bersedia menjadi budaknya bila memang Liza menginginkannya. Piter rela berkorban apapun untuk wanita yang dicintainya ini.

Piter merangkum wajah Liza, memaksa wanita ini untuk bertatapan dengannya. “Eliza.. Aku juga meminta maaf karena telah berbuat kasar padamu. Aku kelewatan, dan aku menyakitimu. Aku berjanji tidak akan berbuat seperti itu lagi, semarah apapun aku. Tapi aku tidak berjanji lain kali aku tidak akan marah, atau tidak emosi atau tidak cemburu. Karena inilah aku, Volcano yang kau ketahui. Aku Volcano dan aku gampang meledak-ledak. Hanya bersamamu aku sanggup meredam amarahku. Dan saat aku gelap mata, aku sungguh menyesal. Aku ingin memukul diriku karena telah menyakitimu. Maafkan aku Eliza.. Aku melakukannya karena aku tidak ingin kehilanganmu” Piter mencium kening Liza. Menunggu jawaban kekasihnya.

“Oh.. Piter.. Akulah yang bersalah, akulah yang membuatmu kehilangan kendali. Akulah yang patut disalahkan. Kau sungguh baik, laki-laki yang kucintai. Kau sempurna Piter.. Kau adalah laki-laki dambaan wanita manapun, dan aku beruntung karena memiliki cintamu, memiliki hatimu. Dan aku sungguh bodoh telah mengkhianati kepercayaanmu. Mungkin.. bila kau masih bersedia memberikanku kesempatan, aku akan berusaha memperbaiki perbuatanku kepadamu.. Aku hanya butuh waktu.. Aku belum bisa menemui keluargamu lagi, Piter.. Maafkan aku” pandangan Liza kabur karena ditutupi oleh air matanya yang menggenang di pelupuk mata.

Piter mengecup mata itu, menjilati air mata yang mengalir dari mata Liza lalu ke pipinya.

“Aku memaafkanmu, Eliza.. Sayangku. Apakah kau memaafkanku, juga?” tanyanya.

Liza mengangguk, dan itu cukup bagi Piter. Mereka berpelukan erat, melepaskan beban yang menghimpit dalam dada mereka. Piter mencumbu tubuh kekasihnya lalu membawanya ke atas ranjang mereka. Dengan lembut dibukanya kancing demi kancing kemeja Liza, begitu pula tangan Liza dengan lihai membuka kancing kemeja Piter.

Piter membungkuk diselangkangan Liza saat dengan nikmat menciumi daerah kewanitaan Liza dan memberikan kepuasan tak terhingga pada wanita ini. Liza melenguh, mengerang dan mendesah saat mencengkeram rambut kepala Piter dan menikmati pelepasannya.  

Piter melepaskan sisa-sisa pakaian mereka, dia mencium bibir Liza lagi. Begitu lembut, begitu mesra tak ingin melukai kekasihnya lagi. Lidahnya meraba bibir bawah Liza yang terluka, lalu mengulumnya dalam hisapan penuh damba Piter. Mereka bercinta dalam diam, hanya desahan dan erangan kenikmatan yang keluar dari mulut mereka yang mengiringi penyatuan tubuh kedua insan tak berdosa ini.

Piter menatap wajah kekasihnya dalam setiap hujaman kenikmatan yang diberikannya pada Liza, mereka bercinta dengan perlahan, menikmati setiap gerakan sekecil apapun yang mereka lalukan. Sesekali Piter akan berhenti lalu mencium bibir Liza lagi, merayu wanita ini dalam ciuman panjang dan lama sebelum kemudian melanjutkan kembali hujamannya lebih dalam dan teratur.

Liza menangis dengan gelisah dibawahnya, pelepasan yang hampir dicapainya selalu dipermainkan dengan manis oleh Piter. Laki-laki ini menggodanya, mempermainkan orgasme yang hampir direguknya. Piter akan memberinya kenikmatan itu, namun dengan kejam menghentikan gerakannya saat hanya diperlukan sebuah hujaman lagi untuk melepaskan Liza dari siksaan kejam Piter.

Piter menikmati wajah penuh derita Liza, menikmati setiap desahan dan erangan mendambanya, menikmati kekuasaan yang dimilikinya untuk memutuskan kapan pelepasan itu akan diberikannya pada kekasihnya. Piter akan merayu pucuk payudara Liza dan menciuminya saat tidak sedang menggerakan tubuhnya di dalam Liza. Liza melengkungkan tubuhnya dan terkadang akan menggerakan pinggangnya, meminta lebih dari yang ingin diberikan Piter.

Piter akan tertawa girang dan menahan tubuh Liza, dia tidak ingin memberikan Liza apa yang diinginkannya, belum.. Liza harus memohon kepadanya, selama ini Piter selalu memberikannya, selalu mengutamakan kepuasan Liza, namun kali ini.. Piter ingin dia memohon.

“Piter.. Kau.. Kau menyiksaku..” desah Liza dalam sengal nafasnya.

“Um.. Apa yang kau inginkan Eliza..?” Piter memandang wajah kekasihnya dengan licik. Seringai senang tak bisa lekang dari wajah tampan laki-laki bermata biru ini.

“Kau tahu apa yang aku inginkan, Pit!” erang Liza saat Piter menghujamnya dengan kasar.

“Um.. Aku tidak tahu, Eliza.. Katakanlah.. Mohonlah.. Mintalah padaku.. Maka aku akan memberikannya padamu..” Piter menciumi lagi payudara Liza, mengulum putingnya, mengirimkan gelenyar geli nikmat pada tubuh Liza.

“Piter.. Ouch.. Berikan aku pelepasan itu sekarang.. aku memerlukannya, Pit.. Aku memerlukanmu.. Oh.. Aku tidak tahan lagi.. Aku butuh dirimu, Piter.. Masuki aku, kasihanilah aku.. Berikan aku kepuasan itu, Pit.. Hanya kau.. hanya kau yang bisa, Piter..” rintih Liza memohon dengan isak tangis yang semakin keras.

Piter merasa bersalah karena menyiksa kekasihnya hingga ke titik ini, namun dia puas.. Dia berhasil membuat Liza memerlukannya, dia berhasil membuat Liza mengakui kekuasaannya atas dirinya.

“Ya, Eliza.. Aku akan memuaskanmu. Hanya aku yang bisa, Eliza.. Ingat-ingat itu.. Hanya aku yang bisa...”

Piter mengangkat kedua kaki Liza tinggi-tinggi ke atas pundaknya, menindih tubuh wanita itu lalu menghujamkan dengan kencang dan cepat kejantanannya keluar masuk dalam tubuh Liza.

Seketika itu juga Liza mengerang dan merintih dengan keras. Tak lama kemudian, tangisan penuh kenikmatan keluar dari mulut Liza, meneriakan nama Piter Volcano dan laki-laki itu mengumpat tertahan, ikut mengerang dalam cengkeraman tangan Liza pada tubuhnya, mendesiskan nama wanita yang berada dibawahnya. Piter akhirnya menyemburkan benih-benih kehidupan ke dalam rahim kekasihnya.

Mereka bercumbu tanpa henti dalam kamar hotel itu, menghabiskan waktu dengan bercinta hingga malam larut dan mereka bermalam di hotel itu. Keesokan harinya, Piter mengantarkan Liza ke apartemen mereka lalu kembali pulang ke rumahnya. Ayahnya telah siuman dan Piter ingin menemuinya, banyak hal yang ingin dia tanyakan pada ayahnya itu. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...