“Wati Suteja?” pekik Liza kaget saat Luther memberitahukannya
nama cinta sejatinya.
“Ya, Liza. Wanita itu adalah ibumu, dan kau adalah anakku..”
jawab Luther lirih. Tubuhnya gemetar memberitahukan hal itu pada Liza. Dia
tidak bisa menunda lagi, Liza harus diberitahukan mengenai asal-usulnya. Dengan
demikian hubungan Piter dan Liza bisa diselamatkan.
Liza menggeleng-gelengkan kepalanya tidak menerima kenyataan.
Dia tidak ingin mempercayai semua perkataan Luther.
“Tidak.. Tidak.. Anda bohong. Anda hanya ingin memisahkan
kami dan mengarang cerita bohong ini kan?” Liza bangkit dari kursinya, mencoba
pergi dari ruangan itu.
“Liza.. Aku memang bermaksud untuk memisahkan kalian. Demi
Tuhan kalian bersaudara, apakah kalian menginginkan hubungan incest ini?” tanya Luther frustasi.
Tubuh Liza membeku, menyadari arti perkataan Luther. Tubuhnya
lemas dan Liza tidak mampu menyadari apapun yang terjadi di sekelilingnya.
Luther menopang bahunya dan membantu Liza duduk kembali di kursinya.
“Maafkan aku Liza, aku tidak pernah ingin ini semua berakhir
seperti ini. Andai aku bisa menemukanmu lebih cepat, semua ini tidak akan
terjadi. Kau adalah anakku Liza, Elizabeth Suteja. Kau adalah seorang Van Der
Wilhem, dari mana kau kira dirimu mendapatkan warna mata birumu itu? Dariku
Liza, dari ayahmu” Luther duduk dikursinya dengan wajah bertumpu pada
tangannya.
“Setiap saat aku berdoa agar bisa menemukanmu, aku bertekad
untuk membahagiakanmu, menebus semua kesalahanku di masa lalu dan membawamu
kembali kerumah berkumpul dengan kakak dan adikmu. Tapi justru Piter yang
membawamu lebih dulu sebagai kekasihnya. Kau tahu mengapa aku terkena serangan
jantung waktu itu? Karena aku menyadari, kau lah Liza kecil yang dulu selalu
menyambutku saat aku menemui kalian. Kaulah Liza kecil anakku yang tidak sempat
kubahagiakan” Luther khawatir melihat wajah Liza yang pucat pasi, tatapan mata
wanita itu kosong. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya.
“Kenapa.. Kenapa kau mengatakannya sekarang? Kenapa tidak kau
biarkan saja seperti sebelumnya? Toh semuanya sudah berlalu, aku juga tidak
ingin menjadi seorang Van Der Wilhem. Aku baik-baik saja sebagai anak ibuku,
sebagai Elizabeth Suteja. Aku mencintai Piter, sangat. Setelah mengetahui hal
ini, bagaimana aku harus berhadapan dengannya? Bagaimana?” tangis Liza pecah,
dia meraung-raung histeris, untungnya ruangan itu kedap suara sehingga tidak
terdengar hingga ke ruangan luar.
“Liza.. Maafkan aku, maafkan ayahmu ini.. Kalian tidak
mungkin bersama, kalian tidak boleh bersama seperti itu. Kalian adalah kakak
adik..” Luther berbisik dengan lirih. Dia meyakinkan dirinya bahwa mereka tidak
bisa bersama.
“Kau.. Ini semua salahmu. Semestinya kau tidak menggoda ibuku
dan membuatku terlahir di dunia ini, aku tidak perlu drama ini dalam hidupku!!”
teriak Liza marah pada Luther. Dia frustasi, dia memerlukan tempat untuknya
menumpakah segala kemarahannya.
Luther terdiam, dia tidak berbicara lagi, mengakui semua
adalah kesalahannya dan membiarkan Liza meracau memakinya sepuas hati. Liza
akhirnya kelelahan dan merosot dari kursinya terduduk di lantai.
“Antarkan aku pulang, aku ingin pulang..” bisik Liza serak,
tenggorokannya terasa sakit karena menangis berjam-jam.
Sudah mulai beranjak petang ketika Liza dan Luther keluar
dari The Lulaby.
“Kau akan baik-baik saja, Liza?” tanya Luther saat mengantarkan
Liza ke depan pintu lobi apartemennya.
“Ya, aku akan baik-baik saja” jawabnya pelan. Liza sudah
tidak memiliki tenaga lagi untuk marah atau bersedih, wajahnya pucat dan dia
nampak kelelahan.
“Jangan lupa hubungi aku di nomer itu, bagaimanapun juga aku
adalah ayahmu, Liza. Aku ingin ini semua berjalan dengan baik, demi kebahagiaanmu”
Liza tersenyum muram pada ayahnya, sebelum memutar tubuhnya
untuk menuju pintu lift, Liza mengucapkan selamat jalan dan meminta laki-laki
tua untuk berhati-hati di perjalanan.
Luther memandang pintu lift yang telah tertutup, yang membawa
anak perempuannya menuju kamar apartemennya. Dia mengira semua bebannya akan
terangkat, namun mengetahui apa yang baru saja dilakukannya telah menghancurkan
kebahagiaan anak-anaknya Luther diam membisu, hatinya hancur. Dia tidak becus
sebagai suami ataupun ayah, dia mengecewakan semua orang yang dicintainya.
~~~~
Bunyi dentum musik house memekakan telinga dan hingar bingar
teriakan manusia melantai di bawah lampu sorot diskotik mewarnai malam kamis di
klub malam itu. Disamping pintu masuk klub itu berderet wanita penghibur dengan
tarif harga bervariasi dari lima ratus ribu untuk short time hingga jutaan rupiah dengan waktu yang bisa dibicarakan.
Nampak beberapa pelanggan sedang berbincang-bincang dengan wanita-wanita
penghibur yang kebanyakan berasal dari negeri utara bekas pecahan Uni Soviet.
“Want a night stand
tonight?” seorang wanita penghibur berkebangsaan
Uzbekistan mendekati Piter yang sedang larut dalam minuman ditangannya. Sudut
matanya melirik pada wanita itu. Namun dia mengacuhkannya.
Wanita tadi semakin tertantang untuk mendekati Piter, dengan
berani wanita penghibur itu mengalungkan lengannya pada leher Piter yang
dibiarkannya begitu saja tanpa perlawanan.
“Kau sedang patah hati? Aku ahlinya dalam mengobati patah
hati seorang laki-laki sepertimu. Kau tampan, gagah dan penuh gairah. Hanya
melihatmu saja telah membuatku terangsang” wanita itu berbisik menggoda di sisi
telinga Piter.
Piter menghela nafasnya, dia menyesap minumannya lagi, masih
tidak menghiraukan wanita itu.
“Aku Jocelyn.. Kau bisa memanggilku Joey atau nama apapun
yang kau ingin saat kita di atas ranjang” seringai nakal bermain di bibir
wanita itu.
Dengan kesal Piter menghentakan gelasnya diatas meja dan
menggamit lengan Jocelyn keluar dari klub malam itu. Jocelyn menyilangkan
kakinya di kursi jok samping sopir dimana Piter mengemudi dengan diam. Tangan
Jocelyn sedari tadi mengelus paha Piter dari balik celana panjangnya. Sesekali
tangan Jocelyn akan menyentuh kejantanan Piter yang telah mengeras karena
reaksi alkohol dan rayuan tangan wanita itu.
“Siapa namamu?” tanya Jocelyn.
Piter diam membisu, matanya menatap ke depan tanpa
menghiraukan Jocelyn disampingnya, seolah tak ada siapapun di dalam mobil itu
selain dirinya.
“Hm.. menarik.. Kau begitu tertutup. Tak apa.. Kita mungkin
tidak akan bertemu lagi setelah ini, cukup kau tahu namaku saja” hibur Jocelyn
pada dirinya.
Jocelyn memperhatikan wajah laki-laki disampingnya, pria itu
memiliki rahang yang kokoh, dengan mata tajam dingin namun dia yakin mata itu
bisa begitu teduh bila dia menginginkannya, namun bukan malam ini. Malam ini
laki-laki disampingnya ini begitu dingin, begitu kejam. Jocelyn tak yakin akan
bisa menerima percintaan mereka bila Piter menyetubuhinya dengan kasar. Meski
demikian, untuk laki-laki serupawan dirinya, Jocelyn rela.
Piter membuka pintu kamar hotel itu dan melepaskan jas
kerjanya dengan sembarang di lantai. Tanpa ekspresi dia menarik tubuh Jocelyn
dan menghempaskan tubuh wanita itu di atas ranjang. Piter menarik lepas celana
dalam Jocelyn dan melemparkannya ke belakang. Dia bahkan tidak memandang wajah
wanita itu saat mendekatkan tubuh mereka. Tubuh Jocelyn berbaring di sisi
ranjang sementara Piter masih berdiri dengan mata dingin menatap tajam ke arah
daerah kewanitaan Jocelyn.
Dia membuka ikat pinggangnya, menurunkan retsleting lalu
celana panjangnya merosot turun ke kaki. Piter menarik paha Jocelyn mendekati
tubuhnya, selangkangan mereka saling bertumbukan. Meski Piter tidak ingin
merangsangnya terlebih dulu, Jocelyn merasa daerah kewanitaannya telah basah
karena gairahnya pada Piter. Dengan senang Jocelyn membuka pahanya lebar-lebar
untuk laki-laki itu.
Piter menurunkan celana dalamnya hingga batas paha,
kejantanannya telah mengeras dan panjang, ereksinya siap memasuki wanita di
bawahnya. Namun tubuhnya menegang saat akan mengarahkan kejantanannya pada
daerah kewanitaan Jocelyn. Tanpa banyak kata Piter menaikan kembali celana
dalamnya dan memperbaiki pakaiannya. Dia mengambil beberapa lembar uang ratusan
ribu dan melemparkannya ke atas tubuh Jocelyn lalu pergi dari kamar hotel itu,
meninggalkan si wanita menatap bingung kepergiannya.
Sudah pukul dua dini hari ketiga Piter masuk ke dalam
apartemen mereka, membersihkan tubuhnya seperti biasa di dalam kamar mandi dan
masuk ke dalam selimut ranjang mereka. Liza masih belum mampu memejamkan
matanya, dia menangis sepanjang malam dan menunggu kedatangan Piter. Saat
laki-laki itu tiba dan memeluk tubuhnya dari belakang, tangis Liza tak
tertahankan lagi. Tubuhnya bergetar karena tangis yang terisak.
“Shh.. Maafkan aku, Eliza. Aku tidak akan meninggalkanmu
lagi. Aku mencintaimu, apapun yang terjadi.. Aku selalu mencintaimu..” Piter
mengecup rambut Eliza dan memeluk tubuhnya dengan erat.
Piter mengira tangisan Liza karena kepulangannya yang larut
dan bukan karena hal lain. Tangisan Liza semakin keras namun dengan sabar Piter
menghiburnya, mengelus rambut kekasihnya dan menenangkannya. Setengah jam
kemudian Liza terlelap dalam pelukannya, namun Piter tidak dapat memejamkan
matanya sedikit pun. Dia tidak pernah merasa sebersalah ini memeluk tubuh
Eliza. Tak pernah dalam benaknya sekalipun untuk mengkhianati wanita ini, yang
mungkin adalah adik kandungnya sendiri.
Tapi bila benar Liza adalah adik kandungnya meski dari ibu
yang berbeda, maka Tuhan akan mengutuk mereka. Piter tidak bisa membayangkan
berpisah dari Liza, tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya, Piter
menangis dalam diam.
Keesokan harinya Piter tidak menemukan Liza disampingnya,
tidak seperti biasanya Liza akan meninggalkannya di atas ranjang sendirian.
Mereka biasa saling menunggu dan bangun dari tempat tidur bersama. Namun Piter
tidak memiliki pikiran mencurigakan mengenai hal itu, dia hanya menganggap Liza
mungkin terbangun karena ingin ke toilet.
“Pagi, Piter..” sambut Liza pada kekasihnya yang baru saja
keluar dari kamar mereka. Piter menguap dan mengusap matanya yang masih
mengantuk, dia tersenyum pada Liza.
“Pagi, Elizaku..” Piter mengecup ringan pipi Liza, hanya di
pipi dan bukan di bibir seperti biasa.
“Apakah kau lapar? Karena aku memasak nasi goreng untuk kita,
dengan telur mata sapi setengah matang kesukaanmu” kata Liza dengan riang.
Matanya yang bengkak karena menangis sepanjang hari dan malam tidak
menghalanginya untuk berbahagia disamping kekasihnya.
“Ya.. Sangat” jawab Piter sambil duduk di meja makan menunggu
Liza membawakan sepiring nasi goreng untuknya.
Liza duduk disamping Piter dan mereka makan bersama dengan
tenang, tak ada candaan seperti biasa, tak ada rayuan dan tak ada tawa riang
kebersamaan mereka. Tidak ada yang berusaha memperbaiki suasana, seolah mereka
merasa lebih baik dengan berdiam diri dan makan pagi dalam sunyi.
“Kau kerja hari ini, Liza?” tanya Piter memecah suasana.
Liza mengangguk. “Iya”
“Oh.. Jangan terlalu capek, jaga kesehatanmu” kata Piter
sembari tersenyum. Dia bangkit setelah menyelesaikan makan paginya dengan
buru-buru lalu mengecup rambut Liza sebelum masuk ke kamar mereka dan mengurung
diri dalam kamar mandi.
“Tuhan, berikanlah aku jalan keluar” rintih doa Piter dalam
guyuran air dingin yang membasahi tubuhnya yang letih.
Piter mengantarkan Liza ke depan tempatnya bekerja dan
mencium pipi Liza sebelum mereka berpisah.
“Aku mungkin pulang agak malam, jangan menungguku” kata Piter
sebelum Liza turun dari mobil.
“Baik. Hati-hati dijalan” balas Liza sembari melambaikan
tangannya pada kekasih hatinya.
Suasana begitu tidak nyaman, Liza tidak tahu harus bersikap
seperti apa di samping Piter setelah mengetahui kenyataan yang menyakitkan itu.
Dia banyak berpikir semalaman namun tak ada satupun keputusan yang bisa
dipilihnya. Liza tidak ingin berpisah dari Piter, tidak, dia tidak bisa. Piter
adalah hidupnya, Piter adalah nyawanya. Laki-laki ini adalah belahan jiwanya
dan hatinya tahu hal itu. Berpisah dari Piter hanya akan menghancurkan hidupnya
karena tiada kehidupan tanpa Piter.
Tanpa diketahui Piter maupun Liza, mereka masing-masing telah
mengetahui jati diri mereka sebenarnya. Piter memang masih memiliki keraguan di
hatinya mengenai hubungan darah mereka, namun dia hanya menipu diri bila
mengatakan mereka tidak memiliki hubungan darah seperti yang begitu ingin
dipercayainya. Setelah menyadari kemungkinan mereka bersaudara, barulah Piter
dapat melihat kemiripan pada wajah mereka. Mencocokan kisah hidup Liza dengan
kisah hidup Wati Suteja yang diketahuinya kemarin.
Piter depresi dan dia tidak sanggup menerima kenyataan itu,
hanya minuman keraslah yang menjadi pelariannya. Piter yang putus asa hampir
mengkhianati kepercayaan Liza dengan membawa wanita penghibur ke hotel
bersamanya. Dia membenci dirinya karena memiliki keinginan seperti itu. Sebesar
apapun masalah mereka, Piter tidak berhak mengkhianati Liza dan dia
menyadarinya.
Setibanya di kantor, Piter telah ditunggu oleh asistennya
yang membawakannya laporan data-data yang dimintanya kemarin. Data-data
mengenai seluruh pegawai yang bernama Wati. Piter sungguh beruntung, atau
mungkin sial, karena hanya satu orang yang bernama Wati yang pernah bekerja di
perusahaan itu. Wati Suteja, ibu dari Liza.
Pagi tadi Piter dengan sengaja membuka dompet Liza dan
menemukan foto dirinya bersama ibunya, Wati Suteja. Berdasarkan foto Wati
Suteja yang dilihat Piter dirumah orangtua Wati, maka Piter akhirnya mengetahui
hal yang paling tidak ingin diketahuinya.
“Eliza.. Mengapa.. Mengapa?? MENGAPAAA!!!!!” teriak Piter
frustasi.
Piter melemparkan semua benda di atas mejanya. Buku-buku dan
kertas berjatuhan, gelas, hingga water
pitcher dan bahkan komputer jatuh berderak berantakan di lantai. Piter
melampiaskan kemarahannya dengan menghancurkan isi kantornya. Asistennya yang
mendengar kegaduhan itu bergegas membuka pintu namun tidak berani menghadapi
kemarahan Sang Volcano. Dengan diam asistennya mengawasi Piter menumpahkan
kemarahannya pada benda-benda yang malang itu.
“Keluar!! Tinggalkan tempat ini!!” bentak Piter pada
asistennya yang berdiri mematung.
Dengan wajah pucat pasi sang asisten menutup pintu kantor
Piter dan tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa menoleh lagi ke arah pintu kantor
bossnya, sang asisten meninggalkan lantai itu dan turun ke lantai dibawahnya.
Dia tidak ingin menjadi sasaran amukan Volcano.
Setelah amarahnya mereda, Piter memandang
sedih pada isi kantornya. Kantor itu berantakan dan tak ada benda yang
berbentuk utuh. Piter menjatuhkan tubuhnya di atas kursi sofa yang baru saja di
angkatnya kembali setelah ditendangnya hingga jatuh. Piter ingin menanyakan
ayahnya, namun bila dia mendengar jawaban yang tidak ingin diketahuinya dan
Luther melarangnya berhubungan dengan Liza, maka Piter tidak akan pernah
menjadi dirinya lagi.
No comments:
Post a Comment