Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 12



“Wati Suteja?” pekik Liza kaget saat Luther memberitahukannya nama cinta sejatinya.

“Ya, Liza. Wanita itu adalah ibumu, dan kau adalah anakku..” jawab Luther lirih. Tubuhnya gemetar memberitahukan hal itu pada Liza. Dia tidak bisa menunda lagi, Liza harus diberitahukan mengenai asal-usulnya. Dengan demikian hubungan Piter dan Liza bisa diselamatkan.

Liza menggeleng-gelengkan kepalanya tidak menerima kenyataan. Dia tidak ingin mempercayai semua perkataan Luther.

“Tidak.. Tidak.. Anda bohong. Anda hanya ingin memisahkan kami dan mengarang cerita bohong ini kan?” Liza bangkit dari kursinya, mencoba pergi dari ruangan itu.


“Liza.. Aku memang bermaksud untuk memisahkan kalian. Demi Tuhan kalian bersaudara, apakah kalian menginginkan hubungan incest ini?” tanya Luther frustasi.

Tubuh Liza membeku, menyadari arti perkataan Luther. Tubuhnya lemas dan Liza tidak mampu menyadari apapun yang terjadi di sekelilingnya. Luther menopang bahunya dan membantu Liza duduk kembali di kursinya.

“Maafkan aku Liza, aku tidak pernah ingin ini semua berakhir seperti ini. Andai aku bisa menemukanmu lebih cepat, semua ini tidak akan terjadi. Kau adalah anakku Liza, Elizabeth Suteja. Kau adalah seorang Van Der Wilhem, dari mana kau kira dirimu mendapatkan warna mata birumu itu? Dariku Liza, dari ayahmu” Luther duduk dikursinya dengan wajah bertumpu pada tangannya.

“Setiap saat aku berdoa agar bisa menemukanmu, aku bertekad untuk membahagiakanmu, menebus semua kesalahanku di masa lalu dan membawamu kembali kerumah berkumpul dengan kakak dan adikmu. Tapi justru Piter yang membawamu lebih dulu sebagai kekasihnya. Kau tahu mengapa aku terkena serangan jantung waktu itu? Karena aku menyadari, kau lah Liza kecil yang dulu selalu menyambutku saat aku menemui kalian. Kaulah Liza kecil anakku yang tidak sempat kubahagiakan” Luther khawatir melihat wajah Liza yang pucat pasi, tatapan mata wanita itu kosong. Kesedihan terlihat jelas di wajahnya.

“Kenapa.. Kenapa kau mengatakannya sekarang? Kenapa tidak kau biarkan saja seperti sebelumnya? Toh semuanya sudah berlalu, aku juga tidak ingin menjadi seorang Van Der Wilhem. Aku baik-baik saja sebagai anak ibuku, sebagai Elizabeth Suteja. Aku mencintai Piter, sangat. Setelah mengetahui hal ini, bagaimana aku harus berhadapan dengannya? Bagaimana?” tangis Liza pecah, dia meraung-raung histeris, untungnya ruangan itu kedap suara sehingga tidak terdengar hingga ke ruangan luar.

“Liza.. Maafkan aku, maafkan ayahmu ini.. Kalian tidak mungkin bersama, kalian tidak boleh bersama seperti itu. Kalian adalah kakak adik..” Luther berbisik dengan lirih. Dia meyakinkan dirinya bahwa mereka tidak bisa bersama.

“Kau.. Ini semua salahmu. Semestinya kau tidak menggoda ibuku dan membuatku terlahir di dunia ini, aku tidak perlu drama ini dalam hidupku!!” teriak Liza marah pada Luther. Dia frustasi, dia memerlukan tempat untuknya menumpakah segala kemarahannya.

Luther terdiam, dia tidak berbicara lagi, mengakui semua adalah kesalahannya dan membiarkan Liza meracau memakinya sepuas hati. Liza akhirnya kelelahan dan merosot dari kursinya terduduk di lantai.

“Antarkan aku pulang, aku ingin pulang..” bisik Liza serak, tenggorokannya terasa sakit karena menangis berjam-jam.

Sudah mulai beranjak petang ketika Liza dan Luther keluar dari The Lulaby.

“Kau akan baik-baik saja, Liza?” tanya Luther saat mengantarkan Liza ke depan pintu lobi apartemennya.

“Ya, aku akan baik-baik saja” jawabnya pelan. Liza sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk marah atau bersedih, wajahnya pucat dan dia nampak kelelahan.

“Jangan lupa hubungi aku di nomer itu, bagaimanapun juga aku adalah ayahmu, Liza. Aku ingin ini semua berjalan dengan baik, demi kebahagiaanmu”

Liza tersenyum muram pada ayahnya, sebelum memutar tubuhnya untuk menuju pintu lift, Liza mengucapkan selamat jalan dan meminta laki-laki tua untuk berhati-hati di perjalanan.

Luther memandang pintu lift yang telah tertutup, yang membawa anak perempuannya menuju kamar apartemennya. Dia mengira semua bebannya akan terangkat, namun mengetahui apa yang baru saja dilakukannya telah menghancurkan kebahagiaan anak-anaknya Luther diam membisu, hatinya hancur. Dia tidak becus sebagai suami ataupun ayah, dia mengecewakan semua orang yang dicintainya.

~~~~

Bunyi dentum musik house memekakan telinga dan hingar bingar teriakan manusia melantai di bawah lampu sorot diskotik mewarnai malam kamis di klub malam itu. Disamping pintu masuk klub itu berderet wanita penghibur dengan tarif harga bervariasi dari lima ratus ribu untuk short time hingga jutaan rupiah dengan waktu yang bisa dibicarakan. Nampak beberapa pelanggan sedang berbincang-bincang dengan wanita-wanita penghibur yang kebanyakan berasal dari negeri utara bekas pecahan Uni Soviet.

“Want a night stand tonight?” seorang wanita penghibur berkebangsaan Uzbekistan mendekati Piter yang sedang larut dalam minuman ditangannya. Sudut matanya melirik pada wanita itu. Namun dia mengacuhkannya.

Wanita tadi semakin tertantang untuk mendekati Piter, dengan berani wanita penghibur itu mengalungkan lengannya pada leher Piter yang dibiarkannya begitu saja tanpa perlawanan.

“Kau sedang patah hati? Aku ahlinya dalam mengobati patah hati seorang laki-laki sepertimu. Kau tampan, gagah dan penuh gairah. Hanya melihatmu saja telah membuatku terangsang” wanita itu berbisik menggoda di sisi telinga Piter.

Piter menghela nafasnya, dia menyesap minumannya lagi, masih tidak menghiraukan wanita itu.

“Aku Jocelyn.. Kau bisa memanggilku Joey atau nama apapun yang kau ingin saat kita di atas ranjang” seringai nakal bermain di bibir wanita itu.

Dengan kesal Piter menghentakan gelasnya diatas meja dan menggamit lengan Jocelyn keluar dari klub malam itu. Jocelyn menyilangkan kakinya di kursi jok samping sopir dimana Piter mengemudi dengan diam. Tangan Jocelyn sedari tadi mengelus paha Piter dari balik celana panjangnya. Sesekali tangan Jocelyn akan menyentuh kejantanan Piter yang telah mengeras karena reaksi alkohol dan rayuan tangan wanita itu.

“Siapa namamu?” tanya Jocelyn.

Piter diam membisu, matanya menatap ke depan tanpa menghiraukan Jocelyn disampingnya, seolah tak ada siapapun di dalam mobil itu selain dirinya.

“Hm.. menarik.. Kau begitu tertutup. Tak apa.. Kita mungkin tidak akan bertemu lagi setelah ini, cukup kau tahu namaku saja” hibur Jocelyn pada dirinya.

Jocelyn memperhatikan wajah laki-laki disampingnya, pria itu memiliki rahang yang kokoh, dengan mata tajam dingin namun dia yakin mata itu bisa begitu teduh bila dia menginginkannya, namun bukan malam ini. Malam ini laki-laki disampingnya ini begitu dingin, begitu kejam. Jocelyn tak yakin akan bisa menerima percintaan mereka bila Piter menyetubuhinya dengan kasar. Meski demikian, untuk laki-laki serupawan dirinya, Jocelyn rela.

Piter membuka pintu kamar hotel itu dan melepaskan jas kerjanya dengan sembarang di lantai. Tanpa ekspresi dia menarik tubuh Jocelyn dan menghempaskan tubuh wanita itu di atas ranjang. Piter menarik lepas celana dalam Jocelyn dan melemparkannya ke belakang. Dia bahkan tidak memandang wajah wanita itu saat mendekatkan tubuh mereka. Tubuh Jocelyn berbaring di sisi ranjang sementara Piter masih berdiri dengan mata dingin menatap tajam ke arah daerah kewanitaan Jocelyn.

Dia membuka ikat pinggangnya, menurunkan retsleting lalu celana panjangnya merosot turun ke kaki. Piter menarik paha Jocelyn mendekati tubuhnya, selangkangan mereka saling bertumbukan. Meski Piter tidak ingin merangsangnya terlebih dulu, Jocelyn merasa daerah kewanitaannya telah basah karena gairahnya pada Piter. Dengan senang Jocelyn membuka pahanya lebar-lebar untuk laki-laki itu.

Piter menurunkan celana dalamnya hingga batas paha, kejantanannya telah mengeras dan panjang, ereksinya siap memasuki wanita di bawahnya. Namun tubuhnya menegang saat akan mengarahkan kejantanannya pada daerah kewanitaan Jocelyn. Tanpa banyak kata Piter menaikan kembali celana dalamnya dan memperbaiki pakaiannya. Dia mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dan melemparkannya ke atas tubuh Jocelyn lalu pergi dari kamar hotel itu, meninggalkan si wanita menatap bingung kepergiannya.

Sudah pukul dua dini hari ketiga Piter masuk ke dalam apartemen mereka, membersihkan tubuhnya seperti biasa di dalam kamar mandi dan masuk ke dalam selimut ranjang mereka. Liza masih belum mampu memejamkan matanya, dia menangis sepanjang malam dan menunggu kedatangan Piter. Saat laki-laki itu tiba dan memeluk tubuhnya dari belakang, tangis Liza tak tertahankan lagi. Tubuhnya bergetar karena tangis yang terisak.

“Shh.. Maafkan aku, Eliza. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku mencintaimu, apapun yang terjadi.. Aku selalu mencintaimu..” Piter mengecup rambut Eliza dan memeluk tubuhnya dengan erat.

Piter mengira tangisan Liza karena kepulangannya yang larut dan bukan karena hal lain. Tangisan Liza semakin keras namun dengan sabar Piter menghiburnya, mengelus rambut kekasihnya dan menenangkannya. Setengah jam kemudian Liza terlelap dalam pelukannya, namun Piter tidak dapat memejamkan matanya sedikit pun. Dia tidak pernah merasa sebersalah ini memeluk tubuh Eliza. Tak pernah dalam benaknya sekalipun untuk mengkhianati wanita ini, yang mungkin adalah adik kandungnya sendiri.

Tapi bila benar Liza adalah adik kandungnya meski dari ibu yang berbeda, maka Tuhan akan mengutuk mereka. Piter tidak bisa membayangkan berpisah dari Liza, tak terasa air mata mengalir dari sudut matanya, Piter menangis dalam diam.

Keesokan harinya Piter tidak menemukan Liza disampingnya, tidak seperti biasanya Liza akan meninggalkannya di atas ranjang sendirian. Mereka biasa saling menunggu dan bangun dari tempat tidur bersama. Namun Piter tidak memiliki pikiran mencurigakan mengenai hal itu, dia hanya menganggap Liza mungkin terbangun karena ingin ke toilet.

“Pagi, Piter..” sambut Liza pada kekasihnya yang baru saja keluar dari kamar mereka. Piter menguap dan mengusap matanya yang masih mengantuk, dia tersenyum pada Liza.

“Pagi, Elizaku..” Piter mengecup ringan pipi Liza, hanya di pipi dan bukan di bibir seperti biasa.

“Apakah kau lapar? Karena aku memasak nasi goreng untuk kita, dengan telur mata sapi setengah matang kesukaanmu” kata Liza dengan riang. Matanya yang bengkak karena menangis sepanjang hari dan malam tidak menghalanginya untuk berbahagia disamping kekasihnya.

“Ya.. Sangat” jawab Piter sambil duduk di meja makan menunggu Liza membawakan sepiring nasi goreng untuknya.

Liza duduk disamping Piter dan mereka makan bersama dengan tenang, tak ada candaan seperti biasa, tak ada rayuan dan tak ada tawa riang kebersamaan mereka. Tidak ada yang berusaha memperbaiki suasana, seolah mereka merasa lebih baik dengan berdiam diri dan makan pagi dalam sunyi.

“Kau kerja hari ini, Liza?” tanya Piter memecah suasana.

Liza mengangguk. “Iya”

“Oh.. Jangan terlalu capek, jaga kesehatanmu” kata Piter sembari tersenyum. Dia bangkit setelah menyelesaikan makan paginya dengan buru-buru lalu mengecup rambut Liza sebelum masuk ke kamar mereka dan mengurung diri dalam kamar mandi.

“Tuhan, berikanlah aku jalan keluar” rintih doa Piter dalam guyuran air dingin yang membasahi tubuhnya yang letih.

Piter mengantarkan Liza ke depan tempatnya bekerja dan mencium pipi Liza sebelum mereka berpisah.

“Aku mungkin pulang agak malam, jangan menungguku” kata Piter sebelum Liza turun dari mobil.

“Baik. Hati-hati dijalan” balas Liza sembari melambaikan tangannya pada kekasih hatinya.

Suasana begitu tidak nyaman, Liza tidak tahu harus bersikap seperti apa di samping Piter setelah mengetahui kenyataan yang menyakitkan itu. Dia banyak berpikir semalaman namun tak ada satupun keputusan yang bisa dipilihnya. Liza tidak ingin berpisah dari Piter, tidak, dia tidak bisa. Piter adalah hidupnya, Piter adalah nyawanya. Laki-laki ini adalah belahan jiwanya dan hatinya tahu hal itu. Berpisah dari Piter hanya akan menghancurkan hidupnya karena tiada kehidupan tanpa Piter.

Tanpa diketahui Piter maupun Liza, mereka masing-masing telah mengetahui jati diri mereka sebenarnya. Piter memang masih memiliki keraguan di hatinya mengenai hubungan darah mereka, namun dia hanya menipu diri bila mengatakan mereka tidak memiliki hubungan darah seperti yang begitu ingin dipercayainya. Setelah menyadari kemungkinan mereka bersaudara, barulah Piter dapat melihat kemiripan pada wajah mereka. Mencocokan kisah hidup Liza dengan kisah hidup Wati Suteja yang diketahuinya kemarin.

Piter depresi dan dia tidak sanggup menerima kenyataan itu, hanya minuman keraslah yang menjadi pelariannya. Piter yang putus asa hampir mengkhianati kepercayaan Liza dengan membawa wanita penghibur ke hotel bersamanya. Dia membenci dirinya karena memiliki keinginan seperti itu. Sebesar apapun masalah mereka, Piter tidak berhak mengkhianati Liza dan dia menyadarinya.

Setibanya di kantor, Piter telah ditunggu oleh asistennya yang membawakannya laporan data-data yang dimintanya kemarin. Data-data mengenai seluruh pegawai yang bernama Wati. Piter sungguh beruntung, atau mungkin sial, karena hanya satu orang yang bernama Wati yang pernah bekerja di perusahaan itu. Wati Suteja, ibu dari Liza.

Pagi tadi Piter dengan sengaja membuka dompet Liza dan menemukan foto dirinya bersama ibunya, Wati Suteja. Berdasarkan foto Wati Suteja yang dilihat Piter dirumah orangtua Wati, maka Piter akhirnya mengetahui hal yang paling tidak ingin diketahuinya.

“Eliza.. Mengapa.. Mengapa?? MENGAPAAA!!!!!” teriak Piter frustasi.

Piter melemparkan semua benda di atas mejanya. Buku-buku dan kertas berjatuhan, gelas, hingga water pitcher dan bahkan komputer jatuh berderak berantakan di lantai. Piter melampiaskan kemarahannya dengan menghancurkan isi kantornya. Asistennya yang mendengar kegaduhan itu bergegas membuka pintu namun tidak berani menghadapi kemarahan Sang Volcano. Dengan diam asistennya mengawasi Piter menumpahkan kemarahannya pada benda-benda yang malang itu.

“Keluar!! Tinggalkan tempat ini!!” bentak Piter pada asistennya yang berdiri mematung.

Dengan wajah pucat pasi sang asisten menutup pintu kantor Piter dan tubuhnya gemetar ketakutan. Tanpa menoleh lagi ke arah pintu kantor bossnya, sang asisten meninggalkan lantai itu dan turun ke lantai dibawahnya. Dia tidak ingin menjadi sasaran amukan Volcano.

Setelah amarahnya mereda, Piter memandang sedih pada isi kantornya. Kantor itu berantakan dan tak ada benda yang berbentuk utuh. Piter menjatuhkan tubuhnya di atas kursi sofa yang baru saja di angkatnya kembali setelah ditendangnya hingga jatuh. Piter ingin menanyakan ayahnya, namun bila dia mendengar jawaban yang tidak ingin diketahuinya dan Luther melarangnya berhubungan dengan Liza, maka Piter tidak akan pernah menjadi dirinya lagi. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...