Sejak pagi hingga siang kini Liza menghindari Piter yang
selalu mencoba untuk berbicara dengannya. Tanpa alasan yang jelas Liza menolak
untuk memberikan Piter kesempatan menjelaskan perkataannya pagi tadi. Saat
mereka sarapan pagi, Piter memberitahukan mengenai undangan makan malam yang
diberikan oleh Bianca pada mereka. Dengan jelas Piter menekankan Liza harus
datang kerumah Piter dan bertemu dengan seluruh keluarganya. Liza menolak untuk
mengikuti acara makan malam itu, dia tidak bisa memberikan alasan yang membuat
Piter puas.
Meski Piter mulai mengerti keengganan Liza, namun Piter ingin
mendengar langsung dari mulut Liza mengapa dia sebenci itu untuk pergi kerumah
Piter. Hari ini minggu, mereka tidak memiliki acara kemana-mana dan hanya
menghabiskan hari di dalam apartemen, saling diam tanpa bicara. Piter yang
tidak bisa berlama-lama dalam suasana menegangkan seperti ini mendekati Liza
yang sedang menjahit kancing bajunya yang terlepas.
“Eliza..” panggil Piter padanya. Liza tetap diam, hingga
Piter terpaksa menyentuh pundaknya.
“Eliza, tolong jangan begini. Kau membuatku sedih, kau boleh
marah padaku tapi jangan menghindariku, Eliza. Aku akan mengatakan pada Mom
bahwa kita tidak bisa datang, jadi kau tidak usah mendiamiku lagi. Please..”
Piter menunggu dengan sia-sia, Liza tak juga bergeming. Dengan putus asa Piter
masuk ke dalam kamar tidur dan bergelung di atas ranjang. Pusing memikirkan
Liza yang sedang marah padanya.
Satu jam kemudian Liza menyusul ke dalam kamar dan masuk ke
atas selimut. Dia memeluk Piter dan terlelap dalam pelukan laki-laki itu. Pukul
lima sore Liza baru saja keluar dari kamar mandi ketika Piter membuka mata dari
tidurnya yang nyaman.
“Kau mau kemana?” tanya Piter serak. Dia melihat Liza yang
sedang mengusapkan body lotion disekujur tubuhnya.
“Bersiap-siap ke acara makan malam dirumah kekasihku” jawab
Liza ringan.
Piter duduk di atas ranjang, mengusap wajahnya dan menanyakan
pertanyaan yang telah diulangnya berkali-kali sejak pagi.
“Kau mau pergi ke rumahku?” tanya Piter antusias.
“Iya, akhirnya aku mau. Jadi tunggu apa lagi? Kau harus
segera mandi dan merapikan dirimu Mister Volcano.. Kau terlihat berantakan saat
ini” Liza menunjuk pada rambut hitam kecoklatan Piter yang acak-acakan.
Piter turun dari ranjang dan mengecup pipi Liza, dia sangat
senang karena Liza akhirnya mau menerima undangan makan malam ibunya.
“Berikan aku sepuluh menit.. tidak.. cukup lima menit saja
dan aku akan siap untukmu” lalu Piter mandi secepat kilat dan tak lama kemudian
dia telah siap. Piter menemui Liza yang sedang menunggunya di ruang tamu.
“Suit..suit..” Liza pura-pura bersiul saat melihat kedatangan
Piter.
Laki-laki ini begitu tampan, dengan rambut klimis tersisir rapi,
wajahnya yang bersih tanpa kumis ataupun cambang, kemeja putih tanpa dasi dan
jas hitam mengkilap beserta celana jeans biru gelap, Piter siap menjadi
pangeran pendamping tuan putrinya.
“Kau sungguh tampan, Piter.. Aku semakin mencintaimu
karenanya” puji Liza saat Piter menghampirinya.
Piter tertawa renyah dan mencium lembut bibir Liza. “Kau juga
sangat cantik bidadariku.. Izinkan aku untuk menjadi pendamping hatimu
selama-lamanya” Piter menyodorkan tangannya pada Liza yang masih duduk di atas
sofa.
Dengan senyum menghiasi bibirnya, Liza menerima tangan Piter
lalu mereka melangkah dengan mantap menuju rumah Piter untuk menghadiri jamuan
makan malam pertama bersama keluarganya.
Sesampainya dirumah Piter, Bianca menyambut pasangan itu
dengan suka cita. Mereka digiring masuk ke ruang tamu sebelum memulai acara
makan malam di ruang makan. Dalam ruang tamu itu semua anggota keluarga hadir,
Luther menatap tajam pada Liza yang digandeng dengan mesra oleh Piter. Suasana
diantara mereka begitu tegang, Luther tentu tidak berharap masih melihat Liza
memamerkan kemesraannya di depan semua orang.
“Aku sungguh senang kau bisa datang malam ini, Liza. Bila
Piter tidak mengajakmu maka aku akan menghukumnya. Syukurlah akhirnya kau
datang” kata Bianca bersemangat, dia
menawarkan minuman pada Liza namun Liza menolaknya.
“Tidak terima kasih, aku minum teh saja” jawab Liza saat
Bianca menawarkan segelas red wine
untuknya.
“Oh, baiklah.. Bi Utik, bawakan teh kesini untuk menantuku
ya” teriak Bianca pada pelayannya yang mengangguk patuh lalu berlalu ke dalam
dapur. Kemudian Bianca menyusul untuk melihat kesiapan hidangan mereka.
Piter merengkuh bahu Liza dan mengelusnya menyadari
ketegangan wanita itu. Dengan senyumnya yang hangat, Piter menenangkan
kekasihnya.
“Kapan kalian akan merencanakan pernikahan?” Luther tiba-tiba
memecah keheningan dengan pertanyaannya. Liza terkesiap sementara Piter hanya
terdiam menatap ayahnya.
“Tak lama lagi” jawab Piter dengan sebuah senyum misterius
tersungging di bibirnya.
Piter mengambilkan beberapa iris buah-buahan dan dressing
untuk Liza dan dirinya.
“Makanlah.. Buah-buahan bagus untuk kesehatanmu” katanya pada
Liza.
“Apakah kalian sudah menyiapkan dimana acaranya akan
dilaksanakan?” tanya Luther lagi. Dia tidak melepaskan pandangannya dari kedua
anaknya yang duduk begitu berdekatan.
Piter tersenyum lagi ke arah ayahnya, “Dad jangan khawatir,
semua sudah aku bereskan. Aku akan mengirimkan kartu undangannya besok” jawab
Piter lagi.
Herald yang sedang bermain dengan iPadnya memandang silih
berganti ayah dan kakaknya Piter menukar pandang dengan tajam. Dia melihat
kedua laki-laki itu seperti sedang memperebutkan tulang yang kosong. Suasana di
udara begitu kaku dan kering, Herald menelan ludahnya dan beranjak pergi dari
tempat itu. Dia mencari ibunya dan duduk di kursi ruang makan.
“Kenapa kau kesini sendirian?” tanya Bianca pada Herald.
“Diluar sana suasananya panas, aku kepanasan Mom” jawab
Herald acuh. Dia masih sibuk dengan game di iPadnya.
Bianca melongok ke ruang tamu lalu memanggil anaknya Piter.
“Piter, come here. Mom perlu
bantuanmu”
“Permisi, Dad. Liza ayo kita ke dapur” ajak Piter pada Liza
namun Luther menghentikannya.
“Liza boleh tinggal disini, Dad ingin berbicara dengan calon
menantu Dad” kata Luther pada Piter.
Meski dalam hatinya Piter tidak ingin membiarkan Liza dan
ayahnya hanya berduaan disini, namun dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan
yang tidak perlu pada ayahnya. Dengan setengah hati Piter meninggalkan Liza
yang menatapnya dengan pandangan memohon agar tidak meninggalkannya disana
bersama sang ayah. Piter mencuri-curi pandang dari dapur ketika ibunya memintanya
mengangkat roast beef dari dalam
oven. Malam ini mereka akan menikmati roasted
beef dengan taburan rempah dan sauce
creamy mushroom yang sangat lezat buatan Bianca.
“Tidak bisa berpisah sedetik saja dari kekasihmu Piter?”
senyum Bianca menggoda anaknya.
“Oh, Mom. Bukan begitu..” elak Piter, wajahnya merona merah.
Belum pernah sekalipun ibunya mengomentari tentang wanita yang dipacarinya,
biasanya Bianca akan menjengitkan hidungnya dan memandang angkuh pada
wanita-wanita yang dipacari Piter sebelumnya. Namun pada Liza, wanita tua ini
memberi reaksi yang berbeda. Bianca menyayangi Liza.
“Pipimu merona merah, Piter. Kau seperti remaja yang sedang
jatuh cinta..” Bianca tersenyum manis dan semakin bersemangat menggoda Piter.
Herald yang duduk diam ikut terkikik geli melihat tingkah polah kakaknya.
Sementara itu dalam ruangan tamu yang luas itu Luther
mengawasi Liza yang sedang duduk dengan gugup.
“Aku yakin kau belum memutuskan hubunganmu dengan Piter,
Liza?” tanya Luther.
“Besok, aku akan memberitahukannya besok” jawab Liza
terpaksa. Dia tidak berencana untuk memutuskan Piter sama sekali. Justru Liza
akan meminta Piter membawanya pergi jauh dari Jakarta. Dan bila laki-laki itu
tidak bersedia, Liza akan pergi seorang diri, dia tidak ingin hidupnya dikekang
atau diperintah oleh siapapun meski orang itu adalah ayah yang baru saja
dikenalnya. Liza tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki di depannya dan
dia tidak ingin menuruti keinginan Luther. Selama ini Liza bisa hidup seorang
diri, maka dia akan bisa hidup seorang diri nanti meskipun Piter tidak akan mau
membawanya pergi dari sisi keluarganya.
Liza menyadari terlalu banyak yang dia minta dari Piter. Tapi
bila Piter tahu mengenai anak mereka, mungkin laki-laki itu akan menuruti
permintaan Liza. Begitulah yang ada dalam pikiran Liza, tanpa diketahuinya
Piter telah mengetahui kabar kehamilannya.
“Besok kau harus sudah keluar dari apartemen itu Liza, pukul
dua belas siang besok orangku akan menjemputmu. Setelah Piter pergi ke kantor
maka kau bebas untuk pergi. Lusa pagi-pagi kau harus sudah terbang ke London”
Luther tidak ingin Liza meragukan perintahnya. Ini semua demi kebaikan mereka.
Tanpa disadari oleh mereka berdua Piter berdiri mematung
mendengarkan perkataan ayahnya.
“Apa yang kalian bicarakan? London? Siapa yang akan ke
London? Eliza? Mengapa kau ingin ke London? Kau akan memberitahukanku?” tanya
Piter dengan wajah terluka. Dia merasa ditipu mentah-mentah oleh orang-orang
yang dicintainya. Mereka merencanakan sesuatu dibalik punggungnya.
Liza menutup mulutnya, tangisnya keluar menyadari Piter telah
mendengar apa yang dia rencanakan dengan ayahnya. Luther hendak berdiri untuk
menghalau Piter yang memandang tajam pada Liza. Pandangan penuh penderitaan,
sakit hati, pengkhianatan dan merasa ditipu. Mata itu kecewa, mata itu penuh
dendam, mata itu terluka, mata itu berapi-api.
“Piter..” kata Luther yang mencoba mencegah Piter menghampiri
Liza.
“STOP RIGHT THERE,
DAD!!!” bentak Piter pada ayahnya.
“Kau tidak usah berlagak sebagai seorang ayah disini. Kau
memuakkan, kau tidak pantas. Eliza adalah urusanku, bukan urusanmu. Kau tidak boleh
ikut campur pada hidup kami!!” Luther terkesiap mendengar bentakan anaknya.
Wajahnya pucat pasi tak pernah membayangkan Piter akan begitu tidak hormat
padanya.
Tiba-tiba Luther menebah dadanya, jantungnya menyakitinya
lagi. Luther berlutut di lantai dengan wajah kesakitan dan mencengkeram kemeja
di bagian dada kirinya. Matanya membelalak dan nafasnya terputus-putus.
“MOM!!” teriak Piter pada ibunya yang langsung berhambur
keluar bersama Herald.
“Panggilkan dokter, cepat!” perintah Piter. Bianca yang panik
langsung menelphone dokter dengan telephone rumah.
“Dan kau Eliza. Jangan pernah mencoba untuk kabur kali ini”
desis Piter marah. Dia mencekal lengan Eliza dan menariknya masuk ke dalam
kamarnya.
“Diam-diamlah disini. Kau bisa tidur bila kau mau. Tapi
jangan pernah coba-coba melarikan diri. Banyak yang harus kita bicarakan” kata
Piter dingin.
Piter membanting pintu kamarnya dan mengunci pintu itu dari
luar. kunci kamar itu kini bersembunyi dalam celah saku celana Piter dan Liza
tidak bisa melarikan diri dari rumah itu lagi.
Dalam kamar utama yang dipakai orang tuanya, Luther berbaring
lemah dengan nafas tersengal-sengal. Laki-laki tua itu menangis dan tidak mampu
bergerak, bukan karena dia lumpuh namun karena merasa begitu bersalah pada
keluarganya. Dia tidak pernah membayangkan percintaannya dengan Wati Suteja
akan berakhir panjang dan mempengaruhi hidup keluarganya seperti ini. Luther
tidak pernah bermimpi akan memaksa anak-anaknya untuk mengakhiri hubungan yang
mereka miliki.
Piter berdiri disamping pintu masuk kamar, bersandar pada
daun pintu dan menatap kosong pada langit-langit kamar. Bianca menggenggam
tangan suaminya dan memijat tangan laki-laki itu dengan penuh kasih sayang.
Sementara Herald duduk disisi ranjang ayahnya dengan wajah bodoh tidak tahu
harus berbuat apa. Ditangannya sekotak tissue disodorkannya pada ayahnya.
“Kau tidak bisa menikahi Liza, Piter..” bisik Luther lirih
pada anaknya. Piter tidak menjawab ucapan ayahnya, dia tidak terlihat mendengar
apa yang Luther katakan. Piter tidak ingin mendengarnya.
Bianca kebingungan dan bertanya-tanya apa maksud suaminya.
Dengan pelan Bianca bertanya pada Luther.
“Apa maksudmu, Luther? Mengapa Piter tidak bisa menikahi
Liza? Mereka pasangan yang serasi, tidakkah kau lihat betapa mereka saling
mencintai?” tanya Bianca tidak percaya.
“Pokoknya mereka tidak bisa menikah, atau Piter harus pergi
dari rumah ini. Dia tidak boleh memakai nama Van Der Wilhem lagi. dia harus
memutuskan hubungannya dengan keluarga ini!” meski suara Luther pelan, namun
semua anggota keluarganya terkejut setengah mati, terkecuali Piter. Dia tidak
perduli, dan dia tidak akan perduli.
“Kalau begitu aku permisi. Disini bukan tempatku lagi.
Selamat tinggal Mom, selamat tinggal Herald. Aku akan menjumpai kalian lagi
diluar rumah ini” sahut Piter dan beranjak pergi dari kamar itu.
Bianca panik dan tidak mempercayai pendengarannya, dia
mengejar Piter yang melangkah dengan lebar dan cepat menuju kamar tidurnya.
“Piter.. Piter tunggu, Mom! Apa maksudmu dengan selamat
tinggal? Kau tidak akan meninggalkan rumah ini, kan?” Bianca akhirnya berhasil
menarik lengan anaknya hingga kini mereka berhadap-hadapan. Piter mencoba
memalingkan wajahnya sehingga ibunya tidak melihat matanya yang berkaca-kaca.
Pilihan untuk meninggalkan keluarganya sangat berat bagi Piter, namun dia
memiliki keluarga baru yang juga harus dipertanggungjawabkannya. Piter tidak
akan meninggalkan Liza seorang diri bersama anak mereka dengan hidup pas-pas-an
atau terlunta-lunta di sebuah rumah kos atau kontrakan. Piter tidak bisa
membiarkan hal itu terjadi, meski dia harus kehilangan keluarga, nama dan
warisannya.
“Mom, hanya ini caraku agar bisa hidup bersama Eliza.
Please.. Biarkan aku pergi, aku mencintai Eliza, Mom. Aku tidak mungkin hidup
tanpa Eliza. Lebih baik aku mati daripada meninggalkannya. Tolong restui
kami..” Piter memohon pada ibunya dengan isak tangis yang mulai jatuh di
pipinya.
Bianca tidak mengerti apa yang diributkan Piter dengan
ayahnya hingga mereka memutuskan hal yang sepenting ini dengan mudah. Bianca
tidak mungkin membiarkan anaknya hidup tanpa warisan yang memang adalah haknya.
Bianca tidak akan membiarkan Luther bertindak semena-mena pada anaknya.
“Tidak, kau hanya emosi Piter. Dengarkan Mom, tenangkan
dirimu. Kembalilah dulu ke apartemenmu bersama Liza. Mom akan berbicara dengan
your Dad, Mom akan mencoba untuk membujuknya agar merubah keputusannya. Your Dad
tidak bisa melakukan hal itu padamu, kau adalah anaknya Piter, dia tidak berhak
berbuat seperti itu padamu” bianca menenangkan Piter yang mulai kehilangan akal
sehatnya.
“Mom.. Aku berharap aku bukan anak, Dad. Aku sangat berharap
aku bukan anak kalian. Aku benci menjadi Van Der Wilhem, aku tidak ingin hidup
dengan nama ini, dengan darah ini karena darah ini menghalangiku hidup bersam
Eliza.. Mom.. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin meninggalkan
Eliza.. Dia adalah hidupku Mom..” Piter menangkupkan kedua tangannya pada
wajahnya dan menangis terisak, menutupi wajahnya.
“Piter.. Kenapa kau berkata seperti itu, Son? Banyak orang
diluar sana akan memilih menjadi dirimu, kau tidak boleh berkata demikian. Kau
harus mensyukurinya..” Bianca mengelus rambut Piter yang kini terduduk lemah di
kursi.
“Tidak, Mom.. Aku tidak bisa.. Aku memilih menjadi anak orang
lain daripada anak, Dad” Piter menghapus air matanya kemudian bangkit dan
memeluk ibunya.
“Maafkan aku, Mom. Aku akan
menghubungimu, kini aku harus pulang bersama Eliza. Banyak yang harus aku
bicarakan dengannya. Doakan hubungan kami, Mom. Dan.. Tolong jaga Dad.. Katakan
padanya, aku tetap mencintainya untuk apapun yang telah dia berikan dan lakukan
untuk hidupku” Piter mengecup pipi ibunya kemudian berlalu ke kamar tidurnya
menjemput Liza.
No comments:
Post a Comment