Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 15



Sejak pagi hingga siang kini Liza menghindari Piter yang selalu mencoba untuk berbicara dengannya. Tanpa alasan yang jelas Liza menolak untuk memberikan Piter kesempatan menjelaskan perkataannya pagi tadi. Saat mereka sarapan pagi, Piter memberitahukan mengenai undangan makan malam yang diberikan oleh Bianca pada mereka. Dengan jelas Piter menekankan Liza harus datang kerumah Piter dan bertemu dengan seluruh keluarganya. Liza menolak untuk mengikuti acara makan malam itu, dia tidak bisa memberikan alasan yang membuat Piter puas.

Meski Piter mulai mengerti keengganan Liza, namun Piter ingin mendengar langsung dari mulut Liza mengapa dia sebenci itu untuk pergi kerumah Piter. Hari ini minggu, mereka tidak memiliki acara kemana-mana dan hanya menghabiskan hari di dalam apartemen, saling diam tanpa bicara. Piter yang tidak bisa berlama-lama dalam suasana menegangkan seperti ini mendekati Liza yang sedang menjahit kancing bajunya yang terlepas.


“Eliza..” panggil Piter padanya. Liza tetap diam, hingga Piter terpaksa menyentuh pundaknya.

“Eliza, tolong jangan begini. Kau membuatku sedih, kau boleh marah padaku tapi jangan menghindariku, Eliza. Aku akan mengatakan pada Mom bahwa kita tidak bisa datang, jadi kau tidak usah mendiamiku lagi. Please..” Piter menunggu dengan sia-sia, Liza tak juga bergeming. Dengan putus asa Piter masuk ke dalam kamar tidur dan bergelung di atas ranjang. Pusing memikirkan Liza yang sedang marah padanya.

Satu jam kemudian Liza menyusul ke dalam kamar dan masuk ke atas selimut. Dia memeluk Piter dan terlelap dalam pelukan laki-laki itu. Pukul lima sore Liza baru saja keluar dari kamar mandi ketika Piter membuka mata dari tidurnya yang nyaman.

“Kau mau kemana?” tanya Piter serak. Dia melihat Liza yang sedang mengusapkan body lotion disekujur tubuhnya.

“Bersiap-siap ke acara makan malam dirumah kekasihku” jawab Liza ringan.

Piter duduk di atas ranjang, mengusap wajahnya dan menanyakan pertanyaan yang telah diulangnya berkali-kali sejak pagi.

“Kau mau pergi ke rumahku?” tanya Piter antusias.

“Iya, akhirnya aku mau. Jadi tunggu apa lagi? Kau harus segera mandi dan merapikan dirimu Mister Volcano.. Kau terlihat berantakan saat ini” Liza menunjuk pada rambut hitam kecoklatan Piter yang acak-acakan.

Piter turun dari ranjang dan mengecup pipi Liza, dia sangat senang karena Liza akhirnya mau menerima undangan makan malam ibunya.

“Berikan aku sepuluh menit.. tidak.. cukup lima menit saja dan aku akan siap untukmu” lalu Piter mandi secepat kilat dan tak lama kemudian dia telah siap. Piter menemui Liza yang sedang menunggunya di ruang tamu.

“Suit..suit..” Liza pura-pura bersiul saat melihat kedatangan Piter.

Laki-laki ini begitu tampan, dengan rambut klimis tersisir rapi, wajahnya yang bersih tanpa kumis ataupun cambang, kemeja putih tanpa dasi dan jas hitam mengkilap beserta celana jeans biru gelap, Piter siap menjadi pangeran pendamping tuan putrinya.

“Kau sungguh tampan, Piter.. Aku semakin mencintaimu karenanya” puji Liza saat Piter menghampirinya.

Piter tertawa renyah dan mencium lembut bibir Liza. “Kau juga sangat cantik bidadariku.. Izinkan aku untuk menjadi pendamping hatimu selama-lamanya” Piter menyodorkan tangannya pada Liza yang masih duduk di atas sofa.

Dengan senyum menghiasi bibirnya, Liza menerima tangan Piter lalu mereka melangkah dengan mantap menuju rumah Piter untuk menghadiri jamuan makan malam pertama bersama keluarganya.

Sesampainya dirumah Piter, Bianca menyambut pasangan itu dengan suka cita. Mereka digiring masuk ke ruang tamu sebelum memulai acara makan malam di ruang makan. Dalam ruang tamu itu semua anggota keluarga hadir, Luther menatap tajam pada Liza yang digandeng dengan mesra oleh Piter. Suasana diantara mereka begitu tegang, Luther tentu tidak berharap masih melihat Liza memamerkan kemesraannya di depan semua orang.

“Aku sungguh senang kau bisa datang malam ini, Liza. Bila Piter tidak mengajakmu maka aku akan menghukumnya. Syukurlah akhirnya kau datang” kata Bianca  bersemangat, dia menawarkan minuman pada Liza namun Liza menolaknya.

“Tidak terima kasih, aku minum teh saja” jawab Liza saat Bianca menawarkan segelas red wine untuknya.

“Oh, baiklah.. Bi Utik, bawakan teh kesini untuk menantuku ya” teriak Bianca pada pelayannya yang mengangguk patuh lalu berlalu ke dalam dapur. Kemudian Bianca menyusul untuk melihat kesiapan hidangan mereka.

Piter merengkuh bahu Liza dan mengelusnya menyadari ketegangan wanita itu. Dengan senyumnya yang hangat, Piter menenangkan kekasihnya.

“Kapan kalian akan merencanakan pernikahan?” Luther tiba-tiba memecah keheningan dengan pertanyaannya. Liza terkesiap sementara Piter hanya terdiam menatap ayahnya.

“Tak lama lagi” jawab Piter dengan sebuah senyum misterius tersungging di bibirnya.

Piter mengambilkan beberapa iris buah-buahan dan dressing untuk Liza dan dirinya.

“Makanlah.. Buah-buahan bagus untuk kesehatanmu” katanya pada Liza.

“Apakah kalian sudah menyiapkan dimana acaranya akan dilaksanakan?” tanya Luther lagi. Dia tidak melepaskan pandangannya dari kedua anaknya yang duduk begitu berdekatan.

Piter tersenyum lagi ke arah ayahnya, “Dad jangan khawatir, semua sudah aku bereskan. Aku akan mengirimkan kartu undangannya besok” jawab Piter lagi.

Herald yang sedang bermain dengan iPadnya memandang silih berganti ayah dan kakaknya Piter menukar pandang dengan tajam. Dia melihat kedua laki-laki itu seperti sedang memperebutkan tulang yang kosong. Suasana di udara begitu kaku dan kering, Herald menelan ludahnya dan beranjak pergi dari tempat itu. Dia mencari ibunya dan duduk di kursi ruang makan.

“Kenapa kau kesini sendirian?” tanya Bianca pada Herald.

“Diluar sana suasananya panas, aku kepanasan Mom” jawab Herald acuh. Dia masih sibuk dengan game di iPadnya.

Bianca melongok ke ruang tamu lalu memanggil anaknya Piter. “Piter, come here. Mom perlu bantuanmu”

“Permisi, Dad. Liza ayo kita ke dapur” ajak Piter pada Liza namun Luther menghentikannya.

“Liza boleh tinggal disini, Dad ingin berbicara dengan calon menantu Dad” kata Luther pada Piter.

Meski dalam hatinya Piter tidak ingin membiarkan Liza dan ayahnya hanya berduaan disini, namun dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan yang tidak perlu pada ayahnya. Dengan setengah hati Piter meninggalkan Liza yang menatapnya dengan pandangan memohon agar tidak meninggalkannya disana bersama sang ayah. Piter mencuri-curi pandang dari dapur ketika ibunya memintanya mengangkat roast beef dari dalam oven. Malam ini mereka akan menikmati roasted beef dengan taburan rempah dan sauce creamy mushroom yang sangat lezat buatan Bianca.

“Tidak bisa berpisah sedetik saja dari kekasihmu Piter?” senyum Bianca menggoda anaknya.

“Oh, Mom. Bukan begitu..” elak Piter, wajahnya merona merah. Belum pernah sekalipun ibunya mengomentari tentang wanita yang dipacarinya, biasanya Bianca akan menjengitkan hidungnya dan memandang angkuh pada wanita-wanita yang dipacari Piter sebelumnya. Namun pada Liza, wanita tua ini memberi reaksi yang berbeda. Bianca menyayangi Liza.

“Pipimu merona merah, Piter. Kau seperti remaja yang sedang jatuh cinta..” Bianca tersenyum manis dan semakin bersemangat menggoda Piter. Herald yang duduk diam ikut terkikik geli melihat tingkah polah kakaknya.

Sementara itu dalam ruangan tamu yang luas itu Luther mengawasi Liza yang sedang duduk dengan gugup.

“Aku yakin kau belum memutuskan hubunganmu dengan Piter, Liza?” tanya Luther.

“Besok, aku akan memberitahukannya besok” jawab Liza terpaksa. Dia tidak berencana untuk memutuskan Piter sama sekali. Justru Liza akan meminta Piter membawanya pergi jauh dari Jakarta. Dan bila laki-laki itu tidak bersedia, Liza akan pergi seorang diri, dia tidak ingin hidupnya dikekang atau diperintah oleh siapapun meski orang itu adalah ayah yang baru saja dikenalnya. Liza tidak memiliki perasaan apapun pada laki-laki di depannya dan dia tidak ingin menuruti keinginan Luther. Selama ini Liza bisa hidup seorang diri, maka dia akan bisa hidup seorang diri nanti meskipun Piter tidak akan mau membawanya pergi dari sisi keluarganya.

Liza menyadari terlalu banyak yang dia minta dari Piter. Tapi bila Piter tahu mengenai anak mereka, mungkin laki-laki itu akan menuruti permintaan Liza. Begitulah yang ada dalam pikiran Liza, tanpa diketahuinya Piter telah mengetahui kabar kehamilannya.

“Besok kau harus sudah keluar dari apartemen itu Liza, pukul dua belas siang besok orangku akan menjemputmu. Setelah Piter pergi ke kantor maka kau bebas untuk pergi. Lusa pagi-pagi kau harus sudah terbang ke London” Luther tidak ingin Liza meragukan perintahnya. Ini semua demi kebaikan mereka.

Tanpa disadari oleh mereka berdua Piter berdiri mematung mendengarkan perkataan ayahnya.

“Apa yang kalian bicarakan? London? Siapa yang akan ke London? Eliza? Mengapa kau ingin ke London? Kau akan memberitahukanku?” tanya Piter dengan wajah terluka. Dia merasa ditipu mentah-mentah oleh orang-orang yang dicintainya. Mereka merencanakan sesuatu dibalik punggungnya.

Liza menutup mulutnya, tangisnya keluar menyadari Piter telah mendengar apa yang dia rencanakan dengan ayahnya. Luther hendak berdiri untuk menghalau Piter yang memandang tajam pada Liza. Pandangan penuh penderitaan, sakit hati, pengkhianatan dan merasa ditipu. Mata itu kecewa, mata itu penuh dendam, mata itu terluka, mata itu berapi-api.

“Piter..” kata Luther yang mencoba mencegah Piter menghampiri Liza.

“STOP RIGHT THERE, DAD!!!” bentak Piter pada ayahnya.

“Kau tidak usah berlagak sebagai seorang ayah disini. Kau memuakkan, kau tidak pantas. Eliza adalah urusanku, bukan urusanmu. Kau tidak boleh ikut campur pada hidup kami!!” Luther terkesiap mendengar bentakan anaknya. Wajahnya pucat pasi tak pernah membayangkan Piter akan begitu tidak hormat padanya.

Tiba-tiba Luther menebah dadanya, jantungnya menyakitinya lagi. Luther berlutut di lantai dengan wajah kesakitan dan mencengkeram kemeja di bagian dada kirinya. Matanya membelalak dan nafasnya terputus-putus.

“MOM!!” teriak Piter pada ibunya yang langsung berhambur keluar bersama Herald.

“Panggilkan dokter, cepat!” perintah Piter. Bianca yang panik langsung menelphone dokter dengan telephone rumah.

“Dan kau Eliza. Jangan pernah mencoba untuk kabur kali ini” desis Piter marah. Dia mencekal lengan Eliza dan menariknya masuk ke dalam kamarnya.

“Diam-diamlah disini. Kau bisa tidur bila kau mau. Tapi jangan pernah coba-coba melarikan diri. Banyak yang harus kita bicarakan” kata Piter dingin.

Piter membanting pintu kamarnya dan mengunci pintu itu dari luar. kunci kamar itu kini bersembunyi dalam celah saku celana Piter dan Liza tidak bisa melarikan diri dari rumah itu lagi.

Dalam kamar utama yang dipakai orang tuanya, Luther berbaring lemah dengan nafas tersengal-sengal. Laki-laki tua itu menangis dan tidak mampu bergerak, bukan karena dia lumpuh namun karena merasa begitu bersalah pada keluarganya. Dia tidak pernah membayangkan percintaannya dengan Wati Suteja akan berakhir panjang dan mempengaruhi hidup keluarganya seperti ini. Luther tidak pernah bermimpi akan memaksa anak-anaknya untuk mengakhiri hubungan yang mereka miliki.

Piter berdiri disamping pintu masuk kamar, bersandar pada daun pintu dan menatap kosong pada langit-langit kamar. Bianca menggenggam tangan suaminya dan memijat tangan laki-laki itu dengan penuh kasih sayang. Sementara Herald duduk disisi ranjang ayahnya dengan wajah bodoh tidak tahu harus berbuat apa. Ditangannya sekotak tissue disodorkannya pada ayahnya.

“Kau tidak bisa menikahi Liza, Piter..” bisik Luther lirih pada anaknya. Piter tidak menjawab ucapan ayahnya, dia tidak terlihat mendengar apa yang Luther katakan. Piter tidak ingin mendengarnya.

Bianca kebingungan dan bertanya-tanya apa maksud suaminya. Dengan pelan Bianca bertanya pada Luther.

“Apa maksudmu, Luther? Mengapa Piter tidak bisa menikahi Liza? Mereka pasangan yang serasi, tidakkah kau lihat betapa mereka saling mencintai?” tanya Bianca tidak percaya.

“Pokoknya mereka tidak bisa menikah, atau Piter harus pergi dari rumah ini. Dia tidak boleh memakai nama Van Der Wilhem lagi. dia harus memutuskan hubungannya dengan keluarga ini!” meski suara Luther pelan, namun semua anggota keluarganya terkejut setengah mati, terkecuali Piter. Dia tidak perduli, dan dia tidak akan perduli.

“Kalau begitu aku permisi. Disini bukan tempatku lagi. Selamat tinggal Mom, selamat tinggal Herald. Aku akan menjumpai kalian lagi diluar rumah ini” sahut Piter dan beranjak pergi dari kamar itu.

Bianca panik dan tidak mempercayai pendengarannya, dia mengejar Piter yang melangkah dengan lebar dan cepat menuju kamar tidurnya.

“Piter.. Piter tunggu, Mom! Apa maksudmu dengan selamat tinggal? Kau tidak akan meninggalkan rumah ini, kan?” Bianca akhirnya berhasil menarik lengan anaknya hingga kini mereka berhadap-hadapan. Piter mencoba memalingkan wajahnya sehingga ibunya tidak melihat matanya yang berkaca-kaca. Pilihan untuk meninggalkan keluarganya sangat berat bagi Piter, namun dia memiliki keluarga baru yang juga harus dipertanggungjawabkannya. Piter tidak akan meninggalkan Liza seorang diri bersama anak mereka dengan hidup pas-pas-an atau terlunta-lunta di sebuah rumah kos atau kontrakan. Piter tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, meski dia harus kehilangan keluarga, nama dan warisannya.

“Mom, hanya ini caraku agar bisa hidup bersama Eliza. Please.. Biarkan aku pergi, aku mencintai Eliza, Mom. Aku tidak mungkin hidup tanpa Eliza. Lebih baik aku mati daripada meninggalkannya. Tolong restui kami..” Piter memohon pada ibunya dengan isak tangis yang mulai jatuh di pipinya.

Bianca tidak mengerti apa yang diributkan Piter dengan ayahnya hingga mereka memutuskan hal yang sepenting ini dengan mudah. Bianca tidak mungkin membiarkan anaknya hidup tanpa warisan yang memang adalah haknya. Bianca tidak akan membiarkan Luther bertindak semena-mena pada anaknya.

“Tidak, kau hanya emosi Piter. Dengarkan Mom, tenangkan dirimu. Kembalilah dulu ke apartemenmu bersama Liza. Mom akan berbicara dengan your Dad, Mom akan mencoba untuk membujuknya agar merubah keputusannya. Your Dad tidak bisa melakukan hal itu padamu, kau adalah anaknya Piter, dia tidak berhak berbuat seperti itu padamu” bianca menenangkan Piter yang mulai kehilangan akal sehatnya.

“Mom.. Aku berharap aku bukan anak, Dad. Aku sangat berharap aku bukan anak kalian. Aku benci menjadi Van Der Wilhem, aku tidak ingin hidup dengan nama ini, dengan darah ini karena darah ini menghalangiku hidup bersam Eliza.. Mom.. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin meninggalkan Eliza.. Dia adalah hidupku Mom..” Piter menangkupkan kedua tangannya pada wajahnya dan menangis terisak, menutupi wajahnya.

“Piter.. Kenapa kau berkata seperti itu, Son? Banyak orang diluar sana akan memilih menjadi dirimu, kau tidak boleh berkata demikian. Kau harus mensyukurinya..” Bianca mengelus rambut Piter yang kini terduduk lemah di kursi.

“Tidak, Mom.. Aku tidak bisa.. Aku memilih menjadi anak orang lain daripada anak, Dad” Piter menghapus air matanya kemudian bangkit dan memeluk ibunya.

“Maafkan aku, Mom. Aku akan menghubungimu, kini aku harus pulang bersama Eliza. Banyak yang harus aku bicarakan dengannya. Doakan hubungan kami, Mom. Dan.. Tolong jaga Dad.. Katakan padanya, aku tetap mencintainya untuk apapun yang telah dia berikan dan lakukan untuk hidupku” Piter mengecup pipi ibunya kemudian berlalu ke kamar tidurnya menjemput Liza. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...