Sudah tiga hari Piter tidak mengunjunginya, tidak juga
mengabarinya. Bahkan dia tidak menelphonenya, handphonenya pun tidak aktif.
Liza tidak mengerti dengan perubahan Piter yang tiba-tiba. Mereka baru saja
bercinta saat Piter meninggalkannya di apartemen untuk bekerja pada pagi
harinya, namun saat malam telah tiba Piter tidak juga mengirimkannya kabar
hingga hari ini.
Liza bertekad untuk menemui Piter di rumahnya namun nyalinya
ciut seketika saat taksi sudah mencapai pintu gerbang rumah itu, Liza tidak
bisa membawa kakinya melangkah masuk ke dalam rumah itu, dia lalu akan meminta
sopir taksi untuk membawanya pergi dari sana. Kini setelah tiga hari tanpa
kabar dari Piter, Liza tidak merasa nyaman untuk tinggal dalam apartemen yang
Piter berikan padanya.
Liza menghembuskan nafasnya saat duduk di kantin tempatnya
bekerja, temannya Tini dan asisten bossnya Samuel ikut duduk disampingnya
menyantap makanan mereka. Samuel yang sebenarnya menyimpan sedikit perasaan
terhadap Liza memulai pembicaraan, dia tidak tahu Liza telah berhubungan dengan
Piter. Sekarang, demi melihat pujaan hatinya cemberut dan murung, Samuel yang
kerap dipanggil Sam memberanikan diri untuk mendekati Liza.
“Kenapa Liz? Kau sakit?” tanya Sam padanya. Liza menggeleng,
dia hanya meracau bola-bola bakso yang ada di mangkoknya. Sam dan Tini saling
menukar pandang, lalu Tini mengangkat bahu.
Samuel, laki-laki berdarah Manado ini memiliki wajah campuran
antara keturunan Tionghoa dan Indo, meski hidungnya tidak semancung hidung
Piter yang keturunan Indo-Belanda, namun dia memiliki paras yang tampan dan
terawat. Kulitnya mulus dan putih bersih, rupanya dia senang merawat kulit
wajahnya, salah satu pria metroseksual Ibukota.
“Terus, kalau enggak sakit, kau kenapa coba? Lagi menstruasi
ya?” Samuel telah menghabiskan makan siangnya. Kini dia bisa berbicara dengan
bebas pada Liza.
“Enggak, aku cuma lagi gak enak makan aja..” jawab Liza.
Mereka memang sudah berteman akrab, tidaklah heran mereka
telah saling mengenal lebih dari tiga tahun sejak Liza mulai bekerja disana.
Namun dia tidak pernah merasakan getar-getar asmara pada Sam, meskipun
laki-laki ini kadang mengirimkan getaran itu padanya. Liza hanya memandang Sam
sebagai teman baiknya.
“Bagaimana kalau nanti malam kita nonton film? Kau dan aku,
Tini gak usah diajak” kata Sam sambil menjulurkan lidahnya pada Tini yang
melotot padanya. Samuel menyikut lengan Tini melarangnya untuk berbicara agar
tidak menghancurkan rencana Samuel untuk berkencan dengan Liza.
“Boleh juga, tapi Tini harus ikut. Kalau tidak, aku tidak
mau” jawab Liza muram. Dia memutuskan untuk melupakan sejenak Piter dan
bayang-bayang laki-laki itu sebelum memikirkan kembali apa yang akan dia lakukan
berikutnya mengenai hubungan mereka.
Belakangan Liza mulai menyadari dia tidak tahu apa-apa
mengenai Piter, dunia mereka sungguh berbeda, Liza bahkan tidak tahu di lantai
berapa tepatnya kantor Piter berada atau siapa sajakah keluarga yang
dimilikinya dan informasi-informasi kecil lain yang semestinya diketahui oleh
seorang tunangan. Tapi Liza tidak mengetahuinya sama sekali dan dia menjadi
semakin terpuruk demi mengingat hal itu.
“Ya sudah, sebentar pulang kerja kita langsung ke mall ya
beli tiket” Samuel menyeringai senang. Nampaknya dia memutuskan tidak ada
salahnya mengencani Liza, siapa tahu mereka bisa menjadi pasangan yang serasi.
Liza duduk di kursi paling pojok disamping tembok, sementara
Samuel duduk disamping kanannya dan Tini duduk disamping Samuel. Nama terakhir
begitu tekun memperhatikan film yang sedang ditontonnya sementara Liza sibuk
mengecek handphonenya menunggu pesan masuk ataupun panggilan telephone yang tak
kunjung diterimanya. Belakangan ini Liza kerap melihat handphonenya meski
sedang bekerja, hal yang jarang dilakukannya dulu.
Samuel memperhatikan gerak tubuh Liza dan dengan perlahan
merentangkan tangan kirinya pada punggung kursi Liza, mencoba meraih pundak
Liza dan menumpukan tangannya di atas pundak wanita itu. Samuel merasakan tubuh
Liza menegang saat tangannya berhasil mendarat pada pundak Liza, dengan sopan
Liza meminta Samuel untuk memperbaiki letak tangannya.
“Taruh tanganmu di pembatas kursi, jangan di bahuku” katanya
tanpa menoleh pada Samuel.
Samuel tersenyum masam, dia menarik tangannya lalu meletakan
tangan itu di tempat yang Liza minta. Tangan itu kemudian dengan berani
menyentuh jemari Liza dan tidak melepaskannya lagi. Samuel menggenggam tangan
kanan Liza dan meletakan tangan mereka di atas paha Liza. Liza mencoba untuk
melepaskan tangannya dari genggaman Samuel, namun laki-laki itu semakin
mengetatkan genggamannya. Senyumnya semakin lebar, dia menatap wajah Liza yang
kesal.
Karena tidak ingin menarik perhatian Tini atau pengunjung
lainnya, Liza membiarkan tangannya digenggam oleh tangan diktator Samuel yang
menguncinya dengan paksa hingga film usai. Para pengunjung telah mulai
meninggalkan studio bioskop, namun Samuel masih memegang erat tangan Liza dan
mengahalangi tubuhnya untuk keluar dari sana. Dengan kesal Liza menarik
tangannya namun Samuel tak melepaskannya juga.
“Lepaskan tanganku, Sam!” Liza membelalakan matanya yang
cantik pada Samuel. Namun laki-laki itu hanya tersenyum simpul.
“Liza.. Liza.. Kenapa harus marah? Aku hanya ingin
menggenggam tanganmu. Aku tertarik padamu, Liza. Maukah kau jadi pacarku?”
Samuel masih duduk dengan santai dikursinya, kakinya menghalangi Liza sehingga
wanita ini tidak bisa melarikan diri. Tangannya pun masih digenggam Samuel.
“Kau gila? Tidak, aku tidak mau menjadi pacarmu. Aku.. sudah
memiliki seseorang” jawab Liza ketus. Dia tidak menyangka Samuel akan bersikap
seperti ini padanya.
“Oh ya? Lalu mengapa kau selalu melihat handphonemu? Apakah
kau menunggu dia menghubungimu, Liza? Mungkin saja dia sudah melupakanmu, kan?
Maka dia tidak pernah menghubungimu lagi” senyum culas terukir diwajah tampan
itu, wajah yang memperlihatkan sifat aslinya.
“Kau!! Itu bukan urusanmu, Sam! Sekarang lepaskan aku, bila
tidak maka aku akan berteriak!”
Samuel melepaskan genggaman tangannya pada tangan Liza.
Setelah itu Liza dengan cepat melarikan diri dari hadapan Samuel yang terkekeh
melihat kepergian Liza. Dia menghela nafasnya dan sebuah senyum simpul bermain
di bibirnya.
“Kenapa kau gampang sekali marah, Liza? Aku hanya bercanda..
tsk..” Samuel menghampiri Liza dan Tini, namun Liza menjauh darinya da tak
ingin dekat-dekat Samuel lagi. Samuel hanya tersenyum sejak mereka keluar dari
bioskop hingga berpisah di halte bus. Sudah pukul sembilan malam saat Liza
mencapai pintu apartemennya. Pintu itu tak terkunci, seketika jantung Liza
berdebar kencang.
“Piter?” bisiknya penuh harap.
Liza berlari ke dalam dan mencari-cari sosok kekasihnya,
namun tubuhnya lemas saat tidak menemukan Piter dalam apartemennya. Liza duduk
di atas sofa, menangkupkan kedua tangan pada wajahnya dan dia terisak, suara
tangisnya ditutupinya dengan tangan. Tapi Liza tidak sanggup bertahan lagi, dia
membaringkan tubunya di atas sofa panjang ruang tamunya dan meringkuk menghadap
punggung sofa dan menenggelamkan kepalanya di atas bantal penghias sofa.
Tangisnya membasahi bantal itu hingga Liza terlelap karena kelelahan.
Sepasang tangan kokoh mengangkat tubuh Liza ke dalam kamar,
membaringkan tubuhnya yang terlelap di atas ranjang lebar berseprai putih
bersih. Laki-laki itu Piter, dia baru saja kembali dari kantornya setelah tiga
hari meringkuk kesakitan di atas ranjang. Dia telah menjadi pengecut dengan
menghindari Liza, setelah melihat wanita ini begitu menderita karenanya, Piter
hanya bisa bersedih bersamanya.
Piter menyelimuti tubuh Liza dan menungguinya terlelap dari
pinggir ranjang. Piter mengambil sebuah kursi untuk dirinya, dia tidak ingin
mengganggu tidur Liza, dia akan meminta maaf saat Liza terbangun dan melihat
wajahnya ketika pertama membuka mata. Piter menyesal dan dia akan menjelaskan
semuanya pada Liza, tidak akan ada kebohongan atau hal-hal yang disembunyikan
lagi dari kekasihnya.
Tangan Piter menggenggam mesra tangan Liza, lalu membawanya
ke depan bibirnya. Mencium sayang tangan kekasihnya, pujaan hatinya yang telah
disakitinya. Tak lama kemudian Piter tertidur di atas kursi, tangan mereka
masih bertautan di sisi ranjang. Liza pertama membuka matanya dan menyadari
tangannya yang sedang mengait pada sesuatu, tangan seseorang.
Sosok laki-laki yang sangat dikenalinya, sedang tertidur
dengan lelap di atas kursi, masih dengan pakaian suit kerjanya. Nafas dan
dengkurannya yang halus membangkitkan rasa rindu yang selalu Liza rasakan
setiap pagi bila tidak menemukan Piter disisinya. Desah nafasnya yang teratur
selalu menjadi pengiring tidur Liza saat Piter bersamanya. Dia merindukan
laki-laki ini, setelah tiga hari yang membuatnya menderita, kini Piter hadir di
depannya, lagi.
Liza tidak tahu apa reaksi yang akan dia berikan kepada
Piter. Tentu Liza sakit hati karena Piter tidak menghubunginya, tidak
mengabarinya bahkan laki-laki ini menghindarinya. Rasa sakit hati yang dia ragu
akan bisa dihapusnya dengan cepat, dia belum bisa memaafkan Piter yang kejam
padanya. Liza tidak sekuat itu, dia rapuh. Liza tidak akan sanggup berdiri
setelah Piter meninggalkannya tanpa berita seperti itu, Liza terlalu
mengkhawatirkannya.
Piter membuka matanya demi mendengar isak tangis Liza di
depannya, isak tangis yang telah berusaha mati-matian ditahannya namun tercetus
jua. Piter mengecup tangan Liza yang masih digenggamnya, Liza sudah duduk di
atas ranjang, mata mereka berhadap-hadapan, saling memperhatikan wajah
masing-masing dengan seksama. Mencoba memetakan kembali ingatan mereka akan
wajah kekasih hati yang lama tidak berjumpa.
Piter mengusap air mata yang merembes turun di wajah Liza,
namun Liza menepiskan tangannya.
“Kau kejam! Kenapa kau lakukan ini padaku? Apakah aku tidak
ada harganya sama sekali bagimu?” Liza setengah histeris berteriak pada Piter,
suara tangisnya semakin meninggi. Tangan Piter mencoba meraih kembali wajah
Liza, namun Liza menghempaskannya lagi. Dia juga menarik tangannya dari
genggaman Piter, melukai hati laki-laki itu.
“Keluar.. Keluar kau dari kamar ini!! Pergi!! Pergiii!!!”
akhirnya pertahanan Liza runtuh, dia meronta-ronta saat Piter memaksa
memeluknya, menahan wajah Liza dalam pelukannya yang erat. Tanpa bersuara Piter
membiarkan Liza mengeluarkan semua tangisnya di dada laki-laki itu. Dia
menghela nafasnya, hatinya terluka mendengar tangis Liza, hatinya sakit
memikirkan apa yang telah diperbuatnya hingga membuat Liza menderita.
“Maafkan aku, Eliza..” hanya kalimat itu yang dibisikan Piter
berulang-ulang pada Liza.
Suara tangis Eliza masih terdengar hingga sesenggukan kecil
mulai hilang setengah jam kemudian. Mereka masih berpelukan seperti itu, Liza
duduk di atas ranjangnya dan Piter berdiri di sisi ranjang sembari menahan
tubuh liza pada tubuhnya. Tangannya menahan belakang leher Liza agar tidak
menjauh darinya. Sementara tangannya yang satu lagi menahan punggung Liza agar
menumpukan berat tubuhnya pada tubuh Piter.
Saat Piter melepaskan tekanan tangannya pada tubuh Liza,
wanita ini mendongakan kepalanya pada Piter. Dengan lemah Liza meminta Piter
menjauh darinya untuk sementara.
“Tolong, pergilah Piter. Aku sedang ingin sendiri” Liza
membersihkan matanya dari air mata yang mulai mengering.
Rahang Piter mengeras, dia tahu dirinya salah namun dia tidak
ingin Liza mengusirnya dari sini.
“Aku tidak akan pergi, Eliza. Aku tidak akan meninggalkanmu.
Kau tidak bisa mengusirku dari sini, dari hidupmu. Kau tidak bisa” ucap Piter
pelan.
Liza mengangkat tangannya, berusaha melepaskan diri dari pengaruh
Piter pada tubuhnya. Aroma khas Piter Volcano yang diingatnya kembali merasuki
pikiran Liza, dia tidak tahan berlama-lama memusuhi laki-laki ini bila mereka
sedekat ini. Dengan putus asa Liza memberi Piter satu pilihan lagi.
“Setidaknya jangan berbicara padaku atau memaksaku untuk
melihatmu. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu, aku tidak ingin berada
didekatmu. Jadi selama kau disini.. aku akan menganggapmu tidak ada. Jadi
jangan ganggu aku. Aku.. aku ingin sendiri” jawab Liza tanpa memberikan banyak
pilihan pada Piter.
Dengan enggan, Piter menerima permintaan Liza dengan menjaga
jarak tubuh mereka agar tidak kentara. Liza tidak ingin Piter mendekatinya atau
berbicara dengannya, setidaknya hingga amarah Liza mereda. Piter tahu Liza
tidak akan tahan berlama-lama marah padanya, namun kali ini terasa berat. Piter
tidak yakin dia akan lolos dari masalah ini.
“Baiklah, tapi aku ingin berbicara padamu setelah ini. Aku
ingin menjelaskan mengapa tiga hari ini aku tidak datang kesini, mengapa aku
tidak memberitahumu, mengapa aku tidak mengabari dan menelphonemu. Aku tahu aku
sudah mengacaukan semuanya, Eliza. Tapi tolong, berikanlah aku satu kali
kesempatan lagi. Kesempatan untuk meminta maaf dengan tulus padamu, Eliza..”
kata Piter akhirnya.
Tapi Liza tidak menerima pernyataan Piter. Dia tidak ingin
memaafkan Piter secepat ini, Piter telah membuatnya menderita, tersika dan
merasa tidak dihargai dan dia pantas dihukum lebih lama, hati Liza belum mampu
memaafkan perlakuan Piter padanya.
“Keluarlah, aku ingin beristirahat” jawab Liza pelan. Dia
berguling memunggungi Piter tanpa memberikan kesempatan laki-laki itu untuk
berbicara lagi.
Dengan penuh penyesalan Piter keluar dari kamar mereka dan
meringkuk di atas sofa, memikirkan kembali sejarah pertemuan mereka,
kenangan-kenangan manis mereka, kenangan pahit mereka, percintaan mereka hingga
pertengkaran mereka yang baru saja terjadi. Piter merasa sangat bersalah pada
Liza karena menghindarinya tiga hari ini, tadi sore dia telah pulang ke
apartemen mereka namun tak menemukan Liza.
Piter mencoba mencarinya di tempat kerjanya namun tempat itu
telah tutup dan semua pegawainya telah pulang. Piter tidak ingin menelphone
Liza, tidak saat dia tahu Liza pasti tidak mau mengangkat telphonenya. Dia
hanya akan menambah kebencian Liza bila berbicara melalui telphone padanya.
Piter bergelung di atas sofa namun tak mampu memejamkan
matanya. Hari masih gelap, baru saja pukul setengah satu pagi dan Piter sudah
merasa tidak betah tidur di sofa. Dia merindukan Eliza-nya dan tidak bisa
lama-lama berjauhan darinya. Tiga hari ini Piter hanya berdiam dirumahnya
memandangi handphonenya setiap hari. Dia mematikan handphonenya, perbuatan yang
sangat pengecut namun tak bisa dihindarinya. Piter belum sanggup menghadapi
Liza sehingga hanya cara itulah yang dia tahu agar wanita ini tidak dapat
mengatakan perpisahan dengannya.
Selama tiga hari itu Piter memikirkan kembali tentang
penemuan-penemuan baru yang diketahuinya dari Pak Karso, menyusun kembali
informasi-informasi lain dan mendapatkan sebuah kesimpulan. Bahwa ayahnya
memang pernah berselingkuh dengan sekretarisnya dua puluh lima tahun yang lalu.
Hari sebelumnya Piter telah memanggil beberapa orang yang
diketahuinya telah bekerja di perusahaan mereka selama lebih dari dua puluh
tahun dan menanyakan mereka mengenai nama-nama sekeretaris ayahnya yang bekerja
sejak gedung mereka dipindahkan ke tempat baru. Besok, dia akan mengetahui
jawabannya.
Piter pura-pura memejamkan matanya saat mendengar suara pintu
dibuka dengan perlahan. Kemudian suara langkah kaki berjinjit pelan dari
sepasang kaki yang begitu dihafalnya, Liza menghampirinya. Dalam gelapnya ruang
tamu itu, Piter dapat mengintip dari picingan matanya wajah Liza yang tersenyum
sedih. Betapa dia merindukan wanita di depannya ini.
Liza kemudian menyampirkan sebuah selimut tebal untuknya,
memastikan selimut itu telah menutupi tubuh Piter lalu Liza kembali masuk ke
dalam kamarnya. Tapi tangan Piter menahannya. Piter mencekal tangan Liza dan
menariknya mendekat. Dia kemudian duduk dan membawa Liza untuk duduk diatas
pangkuannya.
“Aku sangat merindukanmu, Eliza. Maafkan aku.. Tolong jangan
tolak aku lagi. Aku bersalah dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa hidup bila
kau menolakku dekat denganmu. Please..honey..”
Piter memeluk erat tubuh kekasihnya, merasakan kelegaan yang luar biasa saat
tubuh mereka saling merindukan satu sama lain.
Liza memeluk lengan Piter yang mengunci tubuhnya, menyerah
pada cintanya untuk laki-laki ini.
“Aku memaafkanmu, Piter Volcano. Jangan pernah menghindariku
lagi apapun yang terjadi. Kau mengerti?” kata Liza lirih.
“Aku mengerti sayang. Aku mengerti. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu
lagi. Hanya kematian yang akan memisahkan kita, aku berjanji” Piter mengecup
rambut Liza dan membaringkannya di sisinya di atas sofa.
Mereka tidur berdampingan sambil
berpelukan seperti itu. Punggung Liza berhadapan dengan dada Piter yang melindunginya
dengan cinta dan kehangatannya.
No comments:
Post a Comment