Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 10



Sudah tiga hari Piter tidak mengunjunginya, tidak juga mengabarinya. Bahkan dia tidak menelphonenya, handphonenya pun tidak aktif. Liza tidak mengerti dengan perubahan Piter yang tiba-tiba. Mereka baru saja bercinta saat Piter meninggalkannya di apartemen untuk bekerja pada pagi harinya, namun saat malam telah tiba Piter tidak juga mengirimkannya kabar hingga hari ini.

Liza bertekad untuk menemui Piter di rumahnya namun nyalinya ciut seketika saat taksi sudah mencapai pintu gerbang rumah itu, Liza tidak bisa membawa kakinya melangkah masuk ke dalam rumah itu, dia lalu akan meminta sopir taksi untuk membawanya pergi dari sana. Kini setelah tiga hari tanpa kabar dari Piter, Liza tidak merasa nyaman untuk tinggal dalam apartemen yang Piter berikan padanya.


Liza menghembuskan nafasnya saat duduk di kantin tempatnya bekerja, temannya Tini dan asisten bossnya Samuel ikut duduk disampingnya menyantap makanan mereka. Samuel yang sebenarnya menyimpan sedikit perasaan terhadap Liza memulai pembicaraan, dia tidak tahu Liza telah berhubungan dengan Piter. Sekarang, demi melihat pujaan hatinya cemberut dan murung, Samuel yang kerap dipanggil Sam memberanikan diri untuk mendekati Liza.

“Kenapa Liz? Kau sakit?” tanya Sam padanya. Liza menggeleng, dia hanya meracau bola-bola bakso yang ada di mangkoknya. Sam dan Tini saling menukar pandang, lalu Tini mengangkat bahu.

Samuel, laki-laki berdarah Manado ini memiliki wajah campuran antara keturunan Tionghoa dan Indo, meski hidungnya tidak semancung hidung Piter yang keturunan Indo-Belanda, namun dia memiliki paras yang tampan dan terawat. Kulitnya mulus dan putih bersih, rupanya dia senang merawat kulit wajahnya, salah satu pria metroseksual Ibukota.

“Terus, kalau enggak sakit, kau kenapa coba? Lagi menstruasi ya?” Samuel telah menghabiskan makan siangnya. Kini dia bisa berbicara dengan bebas pada Liza.

“Enggak, aku cuma lagi gak enak makan aja..” jawab Liza.

Mereka memang sudah berteman akrab, tidaklah heran mereka telah saling mengenal lebih dari tiga tahun sejak Liza mulai bekerja disana. Namun dia tidak pernah merasakan getar-getar asmara pada Sam, meskipun laki-laki ini kadang mengirimkan getaran itu padanya. Liza hanya memandang Sam sebagai teman baiknya.

“Bagaimana kalau nanti malam kita nonton film? Kau dan aku, Tini gak usah diajak” kata Sam sambil menjulurkan lidahnya pada Tini yang melotot padanya. Samuel menyikut lengan Tini melarangnya untuk berbicara agar tidak menghancurkan rencana Samuel untuk berkencan dengan Liza.

“Boleh juga, tapi Tini harus ikut. Kalau tidak, aku tidak mau” jawab Liza muram. Dia memutuskan untuk melupakan sejenak Piter dan bayang-bayang laki-laki itu sebelum memikirkan kembali apa yang akan dia lakukan berikutnya mengenai hubungan mereka.

Belakangan Liza mulai menyadari dia tidak tahu apa-apa mengenai Piter, dunia mereka sungguh berbeda, Liza bahkan tidak tahu di lantai berapa tepatnya kantor Piter berada atau siapa sajakah keluarga yang dimilikinya dan informasi-informasi kecil lain yang semestinya diketahui oleh seorang tunangan. Tapi Liza tidak mengetahuinya sama sekali dan dia menjadi semakin terpuruk demi mengingat hal itu.

“Ya sudah, sebentar pulang kerja kita langsung ke mall ya beli tiket” Samuel menyeringai senang. Nampaknya dia memutuskan tidak ada salahnya mengencani Liza, siapa tahu mereka bisa menjadi pasangan yang serasi.

Liza duduk di kursi paling pojok disamping tembok, sementara Samuel duduk disamping kanannya dan Tini duduk disamping Samuel. Nama terakhir begitu tekun memperhatikan film yang sedang ditontonnya sementara Liza sibuk mengecek handphonenya menunggu pesan masuk ataupun panggilan telephone yang tak kunjung diterimanya. Belakangan ini Liza kerap melihat handphonenya meski sedang bekerja, hal yang jarang dilakukannya dulu.

Samuel memperhatikan gerak tubuh Liza dan dengan perlahan merentangkan tangan kirinya pada punggung kursi Liza, mencoba meraih pundak Liza dan menumpukan tangannya di atas pundak wanita itu. Samuel merasakan tubuh Liza menegang saat tangannya berhasil mendarat pada pundak Liza, dengan sopan Liza meminta Samuel untuk memperbaiki letak tangannya.

“Taruh tanganmu di pembatas kursi, jangan di bahuku” katanya tanpa menoleh pada Samuel.

Samuel tersenyum masam, dia menarik tangannya lalu meletakan tangan itu di tempat yang Liza minta. Tangan itu kemudian dengan berani menyentuh jemari Liza dan tidak melepaskannya lagi. Samuel menggenggam tangan kanan Liza dan meletakan tangan mereka di atas paha Liza. Liza mencoba untuk melepaskan tangannya dari genggaman Samuel, namun laki-laki itu semakin mengetatkan genggamannya. Senyumnya semakin lebar, dia menatap wajah Liza yang kesal.

Karena tidak ingin menarik perhatian Tini atau pengunjung lainnya, Liza membiarkan tangannya digenggam oleh tangan diktator Samuel yang menguncinya dengan paksa hingga film usai. Para pengunjung telah mulai meninggalkan studio bioskop, namun Samuel masih memegang erat tangan Liza dan mengahalangi tubuhnya untuk keluar dari sana. Dengan kesal Liza menarik tangannya namun Samuel tak melepaskannya juga.

“Lepaskan tanganku, Sam!” Liza membelalakan matanya yang cantik pada Samuel. Namun laki-laki itu hanya tersenyum simpul.

“Liza.. Liza.. Kenapa harus marah? Aku hanya ingin menggenggam tanganmu. Aku tertarik padamu, Liza. Maukah kau jadi pacarku?” Samuel masih duduk dengan santai dikursinya, kakinya menghalangi Liza sehingga wanita ini tidak bisa melarikan diri. Tangannya pun masih digenggam Samuel.

“Kau gila? Tidak, aku tidak mau menjadi pacarmu. Aku.. sudah memiliki seseorang” jawab Liza ketus. Dia tidak menyangka Samuel akan bersikap seperti ini padanya.

“Oh ya? Lalu mengapa kau selalu melihat handphonemu? Apakah kau menunggu dia menghubungimu, Liza? Mungkin saja dia sudah melupakanmu, kan? Maka dia tidak pernah menghubungimu lagi” senyum culas terukir diwajah tampan itu, wajah yang memperlihatkan sifat aslinya.

“Kau!! Itu bukan urusanmu, Sam! Sekarang lepaskan aku, bila tidak maka aku akan berteriak!”

Samuel melepaskan genggaman tangannya pada tangan Liza. Setelah itu Liza dengan cepat melarikan diri dari hadapan Samuel yang terkekeh melihat kepergian Liza. Dia menghela nafasnya dan sebuah senyum simpul bermain di bibirnya.

“Kenapa kau gampang sekali marah, Liza? Aku hanya bercanda.. tsk..” Samuel menghampiri Liza dan Tini, namun Liza menjauh darinya da tak ingin dekat-dekat Samuel lagi. Samuel hanya tersenyum sejak mereka keluar dari bioskop hingga berpisah di halte bus. Sudah pukul sembilan malam saat Liza mencapai pintu apartemennya. Pintu itu tak terkunci, seketika jantung Liza berdebar kencang.

“Piter?” bisiknya penuh harap.

Liza berlari ke dalam dan mencari-cari sosok kekasihnya, namun tubuhnya lemas saat tidak menemukan Piter dalam apartemennya. Liza duduk di atas sofa, menangkupkan kedua tangan pada wajahnya dan dia terisak, suara tangisnya ditutupinya dengan tangan. Tapi Liza tidak sanggup bertahan lagi, dia membaringkan tubunya di atas sofa panjang ruang tamunya dan meringkuk menghadap punggung sofa dan menenggelamkan kepalanya di atas bantal penghias sofa. Tangisnya membasahi bantal itu hingga Liza terlelap karena kelelahan.

Sepasang tangan kokoh mengangkat tubuh Liza ke dalam kamar, membaringkan tubuhnya yang terlelap di atas ranjang lebar berseprai putih bersih. Laki-laki itu Piter, dia baru saja kembali dari kantornya setelah tiga hari meringkuk kesakitan di atas ranjang. Dia telah menjadi pengecut dengan menghindari Liza, setelah melihat wanita ini begitu menderita karenanya, Piter hanya bisa bersedih bersamanya.

Piter menyelimuti tubuh Liza dan menungguinya terlelap dari pinggir ranjang. Piter mengambil sebuah kursi untuk dirinya, dia tidak ingin mengganggu tidur Liza, dia akan meminta maaf saat Liza terbangun dan melihat wajahnya ketika pertama membuka mata. Piter menyesal dan dia akan menjelaskan semuanya pada Liza, tidak akan ada kebohongan atau hal-hal yang disembunyikan lagi dari kekasihnya.

Tangan Piter menggenggam mesra tangan Liza, lalu membawanya ke depan bibirnya. Mencium sayang tangan kekasihnya, pujaan hatinya yang telah disakitinya. Tak lama kemudian Piter tertidur di atas kursi, tangan mereka masih bertautan di sisi ranjang. Liza pertama membuka matanya dan menyadari tangannya yang sedang mengait pada sesuatu, tangan seseorang.

Sosok laki-laki yang sangat dikenalinya, sedang tertidur dengan lelap di atas kursi, masih dengan pakaian suit kerjanya. Nafas dan dengkurannya yang halus membangkitkan rasa rindu yang selalu Liza rasakan setiap pagi bila tidak menemukan Piter disisinya. Desah nafasnya yang teratur selalu menjadi pengiring tidur Liza saat Piter bersamanya. Dia merindukan laki-laki ini, setelah tiga hari yang membuatnya menderita, kini Piter hadir di depannya, lagi.

Liza tidak tahu apa reaksi yang akan dia berikan kepada Piter. Tentu Liza sakit hati karena Piter tidak menghubunginya, tidak mengabarinya bahkan laki-laki ini menghindarinya. Rasa sakit hati yang dia ragu akan bisa dihapusnya dengan cepat, dia belum bisa memaafkan Piter yang kejam padanya. Liza tidak sekuat itu, dia rapuh. Liza tidak akan sanggup berdiri setelah Piter meninggalkannya tanpa berita seperti itu, Liza terlalu mengkhawatirkannya.

Piter membuka matanya demi mendengar isak tangis Liza di depannya, isak tangis yang telah berusaha mati-matian ditahannya namun tercetus jua. Piter mengecup tangan Liza yang masih digenggamnya, Liza sudah duduk di atas ranjang, mata mereka berhadap-hadapan, saling memperhatikan wajah masing-masing dengan seksama. Mencoba memetakan kembali ingatan mereka akan wajah kekasih hati yang lama tidak berjumpa.

Piter mengusap air mata yang merembes turun di wajah Liza, namun Liza menepiskan tangannya.

“Kau kejam! Kenapa kau lakukan ini padaku? Apakah aku tidak ada harganya sama sekali bagimu?” Liza setengah histeris berteriak pada Piter, suara tangisnya semakin meninggi. Tangan Piter mencoba meraih kembali wajah Liza, namun Liza menghempaskannya lagi. Dia juga menarik tangannya dari genggaman Piter, melukai hati laki-laki itu.

“Keluar.. Keluar kau dari kamar ini!! Pergi!! Pergiii!!!” akhirnya pertahanan Liza runtuh, dia meronta-ronta saat Piter memaksa memeluknya, menahan wajah Liza dalam pelukannya yang erat. Tanpa bersuara Piter membiarkan Liza mengeluarkan semua tangisnya di dada laki-laki itu. Dia menghela nafasnya, hatinya terluka mendengar tangis Liza, hatinya sakit memikirkan apa yang telah diperbuatnya hingga membuat Liza menderita.

“Maafkan aku, Eliza..” hanya kalimat itu yang dibisikan Piter berulang-ulang pada Liza.

Suara tangis Eliza masih terdengar hingga sesenggukan kecil mulai hilang setengah jam kemudian. Mereka masih berpelukan seperti itu, Liza duduk di atas ranjangnya dan Piter berdiri di sisi ranjang sembari menahan tubuh liza pada tubuhnya. Tangannya menahan belakang leher Liza agar tidak menjauh darinya. Sementara tangannya yang satu lagi menahan punggung Liza agar menumpukan berat tubuhnya pada tubuh Piter.

Saat Piter melepaskan tekanan tangannya pada tubuh Liza, wanita ini mendongakan kepalanya pada Piter. Dengan lemah Liza meminta Piter menjauh darinya untuk sementara.

“Tolong, pergilah Piter. Aku sedang ingin sendiri” Liza membersihkan matanya dari air mata yang mulai mengering.

Rahang Piter mengeras, dia tahu dirinya salah namun dia tidak ingin Liza mengusirnya dari sini.

“Aku tidak akan pergi, Eliza. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kau tidak bisa mengusirku dari sini, dari hidupmu. Kau tidak bisa” ucap Piter pelan.

Liza mengangkat tangannya, berusaha melepaskan diri dari pengaruh Piter pada tubuhnya. Aroma khas Piter Volcano yang diingatnya kembali merasuki pikiran Liza, dia tidak tahan berlama-lama memusuhi laki-laki ini bila mereka sedekat ini. Dengan putus asa Liza memberi Piter satu pilihan lagi.

“Setidaknya jangan berbicara padaku atau memaksaku untuk melihatmu. Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu, aku tidak ingin berada didekatmu. Jadi selama kau disini.. aku akan menganggapmu tidak ada. Jadi jangan ganggu aku. Aku.. aku ingin sendiri” jawab Liza tanpa memberikan banyak pilihan pada Piter.

Dengan enggan, Piter menerima permintaan Liza dengan menjaga jarak tubuh mereka agar tidak kentara. Liza tidak ingin Piter mendekatinya atau berbicara dengannya, setidaknya hingga amarah Liza mereda. Piter tahu Liza tidak akan tahan berlama-lama marah padanya, namun kali ini terasa berat. Piter tidak yakin dia akan lolos dari masalah ini.

“Baiklah, tapi aku ingin berbicara padamu setelah ini. Aku ingin menjelaskan mengapa tiga hari ini aku tidak datang kesini, mengapa aku tidak memberitahumu, mengapa aku tidak mengabari dan menelphonemu. Aku tahu aku sudah mengacaukan semuanya, Eliza. Tapi tolong, berikanlah aku satu kali kesempatan lagi. Kesempatan untuk meminta maaf dengan tulus padamu, Eliza..” kata Piter akhirnya.

Tapi Liza tidak menerima pernyataan Piter. Dia tidak ingin memaafkan Piter secepat ini, Piter telah membuatnya menderita, tersika dan merasa tidak dihargai dan dia pantas dihukum lebih lama, hati Liza belum mampu memaafkan perlakuan Piter padanya.

“Keluarlah, aku ingin beristirahat” jawab Liza pelan. Dia berguling memunggungi Piter tanpa memberikan kesempatan laki-laki itu untuk berbicara lagi.

Dengan penuh penyesalan Piter keluar dari kamar mereka dan meringkuk di atas sofa, memikirkan kembali sejarah pertemuan mereka, kenangan-kenangan manis mereka, kenangan pahit mereka, percintaan mereka hingga pertengkaran mereka yang baru saja terjadi. Piter merasa sangat bersalah pada Liza karena menghindarinya tiga hari ini, tadi sore dia telah pulang ke apartemen mereka namun tak menemukan Liza.

Piter mencoba mencarinya di tempat kerjanya namun tempat itu telah tutup dan semua pegawainya telah pulang. Piter tidak ingin menelphone Liza, tidak saat dia tahu Liza pasti tidak mau mengangkat telphonenya. Dia hanya akan menambah kebencian Liza bila berbicara melalui telphone padanya.

Piter bergelung di atas sofa namun tak mampu memejamkan matanya. Hari masih gelap, baru saja pukul setengah satu pagi dan Piter sudah merasa tidak betah tidur di sofa. Dia merindukan Eliza-nya dan tidak bisa lama-lama berjauhan darinya. Tiga hari ini Piter hanya berdiam dirumahnya memandangi handphonenya setiap hari. Dia mematikan handphonenya, perbuatan yang sangat pengecut namun tak bisa dihindarinya. Piter belum sanggup menghadapi Liza sehingga hanya cara itulah yang dia tahu agar wanita ini tidak dapat mengatakan perpisahan dengannya.

Selama tiga hari itu Piter memikirkan kembali tentang penemuan-penemuan baru yang diketahuinya dari Pak Karso, menyusun kembali informasi-informasi lain dan mendapatkan sebuah kesimpulan. Bahwa ayahnya memang pernah berselingkuh dengan sekretarisnya dua puluh lima tahun yang lalu.

Hari sebelumnya Piter telah memanggil beberapa orang yang diketahuinya telah bekerja di perusahaan mereka selama lebih dari dua puluh tahun dan menanyakan mereka mengenai nama-nama sekeretaris ayahnya yang bekerja sejak gedung mereka dipindahkan ke tempat baru. Besok, dia akan mengetahui jawabannya.

Piter pura-pura memejamkan matanya saat mendengar suara pintu dibuka dengan perlahan. Kemudian suara langkah kaki berjinjit pelan dari sepasang kaki yang begitu dihafalnya, Liza menghampirinya. Dalam gelapnya ruang tamu itu, Piter dapat mengintip dari picingan matanya wajah Liza yang tersenyum sedih. Betapa dia merindukan wanita di depannya ini.

Liza kemudian menyampirkan sebuah selimut tebal untuknya, memastikan selimut itu telah menutupi tubuh Piter lalu Liza kembali masuk ke dalam kamarnya. Tapi tangan Piter menahannya. Piter mencekal tangan Liza dan menariknya mendekat. Dia kemudian duduk dan membawa Liza untuk duduk diatas pangkuannya.

“Aku sangat merindukanmu, Eliza. Maafkan aku.. Tolong jangan tolak aku lagi. Aku bersalah dan aku menyesal. Tapi aku tidak bisa hidup bila kau menolakku dekat denganmu. Please..honey..” Piter memeluk erat tubuh kekasihnya, merasakan kelegaan yang luar biasa saat tubuh mereka saling merindukan satu sama lain.

Liza memeluk lengan Piter yang mengunci tubuhnya, menyerah pada cintanya untuk laki-laki ini.

“Aku memaafkanmu, Piter Volcano. Jangan pernah menghindariku lagi apapun yang terjadi. Kau mengerti?” kata Liza lirih.

“Aku mengerti sayang. Aku mengerti. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu lagi. Hanya kematian yang akan memisahkan kita, aku berjanji” Piter mengecup rambut Liza dan membaringkannya di sisinya di atas sofa.

Mereka tidur berdampingan sambil berpelukan seperti itu. Punggung Liza berhadapan dengan dada Piter yang melindunginya dengan cinta dan kehangatannya. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...