Sudah hampir seminggu berturut-turut Luther menemui Liza,
kali ini saat mereka duduk di dalam ruangan yang sama itu Luther menyerahkan
dua buah amplop pada Liza.
“Bukalah” kata Luther.
“Apa ini?” tanya Liza.
“Amplop yang kau pegang itu berisi tabungan yang dulu ayah
buatkan untukmu, Liza. Sejak saat itu ayah selalu menambahnya dengan harapan
suatu saat nanti ayah akan menemukanmu. Ayah ingin kau memilikinya, untuk
bekalmu di London nanti. Dan amplop yang lainnya, berisi paspor dan surat-surat
yang kau butuhkan untuk kepergianmu ke Inggris. Beserta tiket untuk kepergianmu
ke London selasa depan. Minggu depan kau harus sudah pergi dari Indonesia,
Liza. Lusa sudah hari senin, dan ayah harap kau mengatakannya sebelum hari
senin. Kita tidak punya banyak waktu, dan demi Tuhan tidak bisakah kau pergi
dari apartemen itu? Setidaknya jangan biarkan Piter menginap” luther
menggertakan rahangnya.
“Apakah kami tidak bisa bersama, Pak?” Liza menundukan
wajahnya saat mengucapkan kalimat itu.
“Apa? Liza.. Kau tahu itu tidak mungkin. Apa kata orang-orang
bila mereka tahu kalian adalah saudara satu ayah? Mereka akan menghina kalian
dan mungkin kalian akan dijebloskan ke penjara” jawab Luther putus asa. Dia
tidak bisa membayangkan menikahkan anak-anaknya sendiri dan memiliki cucu dari
hubungan itu.
“Bila.. kau tidak mengatakannya pada siapapun, bukankah tidak
akan ada yang tahu?” Liza menatap wajah Luther yang terguncang.
“Liza!! Tidak! Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Kalian
saling mencintai saja sudah salah, apalagi berpikir untuk hidup bersama dan
berkeluarga. Meskipun aku tidak mengatakannya pada dunia, tapi apakah kau bisa
menyembunyikan hal itu dari Piter dan hidup bersamanya dalam ketakutan? Tidakkah
kau merasa jijik berhubungan seperti itu dengan.. kakakmu?” Luther merasa
jantungnya berdebar kencang karena mengatakan hal itu. Dia merasa tak berdaya
menghadapi keinginan dan pemikiran Liza.
“Aku mencintai, Piter, Pak. Sangat.. Aku tidak bisa hidup
tanpanya. Apa yang akan aku lakukan bila Piter tidak lagi berada disampingku?
Akan sangat sulit bisa bertahan hidup jauh darinya..” Liza terpaksa menahan
malunya dengan menangis di depan Luther. Meski laki-laki tua itu adalah ayahnya
namun Liza tidak pernah merasakan perasaan seperti seorang anak kepada ayahnya
untuk Luther.
“Liza.. Semua akan baik-baik saja, kau akan melaluinya dan
bertahan hidup karenanya. Pikirkan juga Piter, bila dia mengetahui hal ini
secara tidak sengaja, apakah yang akan dia pikirkan mengenai dirimu? Mengenai
dirinya? Tidakkah kau berpikir bagaimana Piter akan memandangmu setelah tahu
kau adalah adiknya? Akan lebih menyakitkan bila Piter membencimu karena hal
ini..” Luther tahu apa yang dia katakan menyakiti hati Liza, tetapi dia tidak
punya pilihan lain. Liza harus menyadari kemungkinan terburuk bila Piter
mengetahui hubungan mereka. Dan Piter pasti akan membenci anak lain ayahnya.
Liza menyadari kebenaran perkataan Luther. Dia tidak pernah
membayangkan Piter akan membencinya atau merasa jijik padanya. Piter begitu
baik, begitu penuh kasih sayang. Tak pernah terbersit dalam hatinya Piter
adalah pria seperti itu, Piter adalah laki-laki terhormat yang memegang
kata-katanya. Namun, akankah seorang Piter mau menerobos norma dan hukum demi
dirinya? Liza bimbang memikirkan pertanyaan itu, dia meragukan dirinya, dia
meragukan Piter akan masih menerimanya setelah mengetahui seperti apa
sebenarnya hubungan mereka.
Air matanya jatuh tak tertahankan, sudah seminggu penuh Liza
terus-terusan menangis. Dia hampir tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya.
Liza mulai berpikir mungkin kata-kata Luther benar, dia harus pergi ke luar
negeri untuk menghindari ini semua. Dengan hati hancur Liza memasukan kedua
amplop itu ke dalam tasnya.
~~~~
“Piter, kapan kau akan pulang ke rumah? Sudah hampir dua
minggu kau tidak pulang. Mom ingin berbicara padamu. Pulanglah sore ini, Mom
melarangmu untuk membantah” Nyonya Van Der Wilhem telah menutup telephonenya
sebelum Piter sempat mengatakan apa yang ingin dikatakannya.
Dengan kesal Piter meletakan gagang telphone kantornya kembali
di atas meja.
“Mom pasti ingin menanyakan hasil penyelidikanku. Apa yang
harus aku katakan padanya? Shit shit shit shit shit!!! Tidak bisa, Mom tidak
boleh tahu. Bila Mom tahu, dia akan menyuruhku menghancurkan Liza. Tidak, Mom
tidak boleh tahu” dengan penuh tekad Piter keluar dari kantornya bersiap-siap
untuk menemui ibunya.
Rumah itu sepi, Luther tidak ada dirumah, dia telah keluar
sedari pagi meninggalkan Bianca dan para pelayan yang lebih senang bersembunyi
di dapur atau di tempat kerja mereka. Sedang Herald sibuk dengan sekolah dan
kursus-kursus yang terpaksa diikutinya karena perintah orang tuanya. Piter tiba
dirumah itu pukul tiga sore, dia bersyukur ayahnya tidak ada dirumah.
Piter menemui ibunya di kebun belakang, udara lebih sejuk
disana karena sinar matahari sore terhalang oleh bangunan rumah mereka. Dan
pepohonan yang rindang menambah desir angin sepoi-sepoi yang meniup tubuh
mereka pelan.
“Dad kemana?” tanya Piter berbasa-basi pada ibunya.
Piter mencium pipi Bianca dan mengambil tempat di kursi tepat
di samping kursi ibunya. Mereka menghadap ke arah kolam ikan yang berisikan
puluhan atau mungkin ratusan ikan koi yang berenang bebas dengan warna-warni
unik dan menarik.
“Entahlah, your Dad sudah menghilang dari pagi. Seminggu
belakangan dia sangat sibuk dan kami hanya bertemu saat sarapan. Your Dad tidak
mengatakan dia kemana, dia terlihat sibuk dan sesuatu sedang membebani
pikirannya, namun dia tidak mau memberitahukan Mom” jawab Bianca tanpa menoleh
pada anaknya.
“Bagaimana kabar, Mom?” tanya Piter lagi, dia tidak ingin
ibunya menyinggung pertanyaan mengenai perselingkuhan ayahnya.
“Menurutmu Mom akan baik-baik saja setelah mengetahui your
Dad mungkin selingkuh dari Mom? Sudah hampir tiga puluh tahun Mom hidup dan
melayani dia, dan beginikah hasilnya? Bila your Dad memang memiliki
selingkuhan, Mom akan meminta cerai dan kembali ke Netherland. Mom muak melihat
your Dad bermain dibelakang punggung, Mom” kemarahan melingkupi Bianca, Piter
sadar apa yang akan dia katakan padanya mungkin saja merusak semua rencana yang
sedang disusunnya untuk menikahi Liza secepatnya.
“Mom, Dad.. Tidak punya selingkuhan” kata Piter pelan.
Bianca memicingkan matanya. “Benarkah? Lalu mengapa ada surat
itu?”
“Jadi begini.. Aku sudah menghubungi orang-orangku di
pemerintahan. Mereka berhasil menelusuri surat itu dan mengapa sampai bisa
berisi nama Dad. Jadi menurut mereka, waktu itu pernikahan Mom and Dad belum
memiliki akte perkawinan yang baru saja diterbitkan. Sehingga Dad harus mengisi
formulir lagi untuk mendapatkan akte perkawinan yang baru. Namun karena Dad
meminta bantuan orang dalam, akhirnya formulir yang sudah ditulis Dad itu tidak
perlu dipakai lagi. Dad meletakannya sembarangan dan tidak memikirkannya lagi”
Piter menahan nafasnya setelah mengatakan kebohongan itu pada ibunya.
Bianca diam, terlihat dia sedang menimbang informasi yang
diberikan Piter padanya. Dengan tegang Piter menunggu reaksi dari ibunya dan
was-was dengan kemungkinan ayahnya yang mungkin saja pulang sesaat lagi. Namun
tidak ada yang terjadi seperti dugaannya. Ibunya menerima penjelasannya dan
Piter menghela nafas panjang.
“Oh.. Jadi begitu. Mom telah salah, Mom mencurigai your Dad.
Oh, Mom merasa malu. Kau tahu, meski Mom seperti ini dan sering membuat kalian
salah tingkah dengan kelakuan Mom di muka umum, Mom mencintai your Dad. Hanya
saja Mom bukan type wanita yang percaya diri bila menyangkut masalah cinta. Mom
mencintai your Dad dengan diam-diam sejak hari pernikahan kami. Kau ingat kan,
Mom and your Dad menikah karena dijodohkan. Mungkin your Dad tidak mencintai
Mom, tapi Mom mencintai your Dad sepenuh hati” Bianca tersenyum riang. Dia
kembali seperti Bianca yang biasa.
“Oh Piter, terima kasih karena kau membuat hati Mom lega. Kau
harus makan malam disini. Hei, bagaimana kabar menantu Mom? Kau harus mengajak Liza
makan malam disini besok, minggu malam dan Mom akan memasak roasted beef.. khusus untuk keluarga
kita” dan Bianca mengecup pipi Piter sebelum bangkit dan masuk ke dalam
rumahnya. Piter terduduk lemas, dia tidak pernah begitu ahli dalam berbohong
terutama di depan orang tuanya.
“Maafkan aku, Mom. Aku hanya ingin melindungi wanita yang aku
cintai..dan anak kami..” bisik Piter pada angin yang bertiup.
Ketika Piter beranjak masuk ke dalam ruang makan keluarga,
dia melihat ayahnya baru saja keluar dari pintu kamarnya. Luther sudah berganti
pakaian, dia baru saja pulang dari luar rumah.
“Hai, Dad” sapa Piter pada ayahnya. Piter merasa kikuk berada
disamping ayahnya, tak pernah sebelumnya dia ingin menghindar dari orang tuanya
sebesar rasa inginnya sekarang.
“Kau baru datang?” tanya Luther setelah melihat anaknya.
“Ya, aku hendak kembali. Liza pasti sudah menungguku” kata
Piter ingin melarikan diri.
“Kenapa buru-buru? Liza tidak akan kemana-mana. Makan malam
dulu bersama kami. Sudah lama kau tidak dirumah, Dad merindukanmu. Your Mom
selalu ribut karena keluarga kita tidak lengkap, ayolah. Demi your Mom” bujuk
Luther pada anaknya.
“Piter.. Where are you
going? You may not leaving this house until i feed you with my roasted turkey”
teriak Bianca dari arah dapur. Tangannya memakai sepasang selop anti panas,
Bianca baru saja mengeluarkan seekor ayam kalkun matang dari dalam oven yang
dibantu oleh pelayannya.
“Kau dengar kata your Mom, dia akan marah bila kau pergi
Piter. Dad tidak akan bisa membelamu bila your Mom sudah marah” Luther tertawa
terbahak-bahak melihat wajah Piter melongo terbengong-bengong.
Dengan terpaksa Piter mengikuti ayahnya ke meja makan dan
duduk dengan patuh. Tak lama kemudian Herald yang baru saja pulang dari
kursusnya menyusul ke meja makan mereka.
“Hai, kak. Kemana saja kau? Aku ingin meminjam koleksimu
lagi, kau tidak membalas smsku” kata Herald dengan wajah cemberut.
“Kau, anak kecil. Itu bacaan yang buruk untukmu. Aku tidak
akan membiarkanmu membuka-buka lagi koleksi majalah pornoku” bisik Piter pada
Herald. Dia mengacak rambut adiknya dan tertawa senang karena wajah remaja itu
semakin merengut.
“Kau pelit.. wekkk” jawab Herald dengan lidah menjulur
mengejek kakaknya.
Setelah makan malam normal seperti yang biasanya mereka
lewati sebelumnya, Bianca menitipkan sebuah plastik berisikan makanan dalam
kotak pada Piter.
“Apa ini, Mom?” tanya Piter pada ibunya.
“Roasted turkey
untuk menantu, Mom. Jangan lupa besok malam kau harus datang bersama Liza.
Sudah lama Mom tidak bertemu dengan menantu, Mom itu. Apa kata orang kalau
melihat kami tidak akrab? Nanti Mom dikira sombong” Bianca mencoel hidung
anaknya dan berlalu ke dalam dapur.
Luther memperhatikan anaknya dari sofa ruang tamu, hatinya
gundah mendengar pembicaraan Bianca dan Piter. Sangat sulit baginya untuk
memberitahukan keluarganya mengenai jati diri Liza sebenarnya. Dia mungkin akan
kehilangan keluarganya karena hal ini, namun demikian Luther tidak ingin
menyembunyikan status Liza sebagai anaknya dan dia harus mencegah Piter dan
Liza bersama.
“Piter, kesini sebentar. Ada yang ingin Dad bicarakan
denganmu” panggil Luther pada anaknya, menepuk sofa disampingnya agar Piter
duduk disana.
Piter menoleh pada ayahnya, dia sedang berbincang dengan
adiknya Herald ketika sang ayah memanggil. Dengan patuh Piter menghampiri
ayahnya dan duduk disampingnya.
“Bagaimana, Dad?” tanya Piter setelah menyandarkan
punggungnya pada sofa.
“Bagaimana pekerjaan di kantor?” tanya Luther.
“Kantor baik, semua terkendali. Aku rasa besok senin
asistenku akan melapor semuanya pada Dad dan memberikan data-data penjualan
bulan lalu” jawab Piter.
“Oh, OK. Bagus. Bagaimana hubunganmu dengan Liza? Apakah
kalian baik-baik saja?” Luther merubah posisi duduknya, dia ikut menyandarkan
punggungnya pada punggung sofa.
“Liza baik, kami baik. Yah, kau tahu.. Pasti ada sedikit
pertengkaran, itu hal biasa. Tapi kami baik. Tidak ada masalah” jawab Piter
santai. Dia tidak tahu kemana arah pembicaraan mereka, Piter hanya menunggu
ayahnya mengatakan sesuatu.
“Apakah kau mencintai Liza, Piter?” tanya ayahnya lagi.
Piter menoleh pada ayahnya, memandang lekat-lekat pada wajah
laki-laki tua itu, mencari sinyal bila Luther telah mengetahui bahwa Liza
adalah anaknya. Namun laki-laki tua itu tidak menunjukan ekspresi apapun, Piter
memalingkan wajahnya kebingungan.
“Tentu, Dad. Aku sangat mencintai Liza, aku tak bisa hidup
tanpanya” jawab Piter akhirnya.
“Kadang.. Untuk menemukan cinta sejatimu, kau harus mengalami
penderitaan yang sangat sebelum bertemu dengan ‘the right one’ apakah kau setuju, Piter?” tanya Luther penuh
selidik.
Dengan suara berat Piter menjawab pertanyaan ayahnya. “Aku
telah menemukan cinta sejatiku, Dad. Dan aku sekarat karena mempertahankan
hubungan ini. Aku akan melawan takdir atau apapun itu agar kami bisa tetap
bersama. Hanya maut yang mampu memisahkan kami”
Luther merasa tubuhnya menggigil mendengar penuturan anaknya,
entah mengapa dia merasa ketakutan mendengar perkataan Piter. Dengan senyum
miris Luther bangkit dari sofa dan menepuk pundak anaknya.
“Kau hati-hatilah jalan pulang, Dad ingin beristirahat. Good
night, Piter. Sampaikan salam Dad pada Liza” lalu Luther masuk ke dalam
kamarnya dan mengunci diri dalam ruang kerja yang terhubung dari kamar
tidurnya.
Piter menghampiri adiknya lagi, Herald sedang bermain dengan
iPadnya ketika Piter mengambil benda itu dari tangannya.
“Yah, Piter! Mengapa kau mengambil iPadku?” teriak Herald
kesal.
Piter menepuk kepala adiknya dengan koran yang ada di atas
meja. Adiknya itupun mengaduh dan mengelus kepalanya yang terkena pukulan
koran.
“Sejak kapan kau tidak sopan begitu? Aku hanya ingin
berbicara padamu, benda ini menghalangi. Untuk lima menit saja berikan waktumu
untukku. Mungkin tidak akan ada lain kali lagi kita bisa berbicara seperti ini”
jawab Piter muram.
“Kenapa kau bilang begitu, kak?” tanya Herald setelah
mendapat kembali iPadnya dari Piter.
“Aku akan menikahi Eliza, mungkin kami akan pindah ke rumah
lain dan tidak tinggal disini” jawab Piter namun matanya menerawang ke arah
lain. Piter sedang memikirkan daerah yang tepat untuk membangun sebuah rumah
impian bagi keluarga kecilnya.
“Kau tidak akan tinggal disini? Mengapa? Mom pasti akan
marah, kau tahu kan Mom sangat ingin menimang bayi. Setelah kau menikah pasti
Mom memintaku cepat besar dan memberinya seorang menantu. Dasar Mom” Herald
memasang wajah cemberut, Bianca memang bisa sangat menyebalkan bila
menginginkan sesuatu.
Piter menyunggingkan sebuah senyum ironis disudut bibirnya.
“Mom akan mendapatkan seorang bayi yang mungil, tak lama lagi..” suara Piter
begitu pelan hingga Herald harus menoleh pada kakaknya untuk memastikan kakaknya
itu telah mengatakan sesuatu. Namun demi melihat wajah Piter yang serasa sedang
berada di dunia yang berbeda, Herald menghentikan keinginannya untuk bertanya.
“Be carefull, Piter.
Sampaikan salam Mom pada Liza, ya. Peluk cium dari Mom untuk menantu Mom.
Jangan lupa besok pukul tujuh malam tepat. Mom tidak suka kau terlambat” Bianca
mencium pipi anaknya sebelum melambaikan tangannya mengantar kepergian Piter.
~~~~
Piter memperhatikan dengan senyum hangat Liza-nya sedang
menyantap makanan yang diberikan oleh ibunya. Liza makan dengan lahap dan
menjadi salah tingkah karena dipandang sedemikian rupa oleh Piter. Dia
menyodorkan sepotong daging kalkun pada Piter karena memandanginya seperti
orang kelaparan.
“Uum.. Aku tidak lapar, makanlah. Aku hanya senang melihatmu
makan dengan lahap seperti ini” kata Piter sembari tertawa.
“Hobymu aneh, Pit. Aku salah tingkah dipandangi seperti itu”
jawab Liza mencoba merajuk.
Piter terkekeh dan melanjutkan hobynya memandangi Liza yang
sedang makan.
“Makanlah, Eliza.. Makan yang banyak ya.. Agar energimu
cukup...” kata Piter pelan.
“..agar energimu cukup untuk dua orang.. Kau.. dan anak kita” lanjut Piter dalam hati.
No comments:
Post a Comment