Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 14



Sudah hampir seminggu berturut-turut Luther menemui Liza, kali ini saat mereka duduk di dalam ruangan yang sama itu Luther menyerahkan dua buah amplop pada Liza.

“Bukalah” kata Luther.

“Apa ini?” tanya Liza.

“Amplop yang kau pegang itu berisi tabungan yang dulu ayah buatkan untukmu, Liza. Sejak saat itu ayah selalu menambahnya dengan harapan suatu saat nanti ayah akan menemukanmu. Ayah ingin kau memilikinya, untuk bekalmu di London nanti. Dan amplop yang lainnya, berisi paspor dan surat-surat yang kau butuhkan untuk kepergianmu ke Inggris. Beserta tiket untuk kepergianmu ke London selasa depan. Minggu depan kau harus sudah pergi dari Indonesia, Liza. Lusa sudah hari senin, dan ayah harap kau mengatakannya sebelum hari senin. Kita tidak punya banyak waktu, dan demi Tuhan tidak bisakah kau pergi dari apartemen itu? Setidaknya jangan biarkan Piter menginap” luther menggertakan rahangnya.


“Apakah kami tidak bisa bersama, Pak?” Liza menundukan wajahnya saat mengucapkan kalimat itu.

“Apa? Liza.. Kau tahu itu tidak mungkin. Apa kata orang-orang bila mereka tahu kalian adalah saudara satu ayah? Mereka akan menghina kalian dan mungkin kalian akan dijebloskan ke penjara” jawab Luther putus asa. Dia tidak bisa membayangkan menikahkan anak-anaknya sendiri dan memiliki cucu dari hubungan itu.

“Bila.. kau tidak mengatakannya pada siapapun, bukankah tidak akan ada yang tahu?” Liza menatap wajah Luther yang terguncang.

“Liza!! Tidak! Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Kalian saling mencintai saja sudah salah, apalagi berpikir untuk hidup bersama dan berkeluarga. Meskipun aku tidak mengatakannya pada dunia, tapi apakah kau bisa menyembunyikan hal itu dari Piter dan hidup bersamanya dalam ketakutan? Tidakkah kau merasa jijik berhubungan seperti itu dengan.. kakakmu?” Luther merasa jantungnya berdebar kencang karena mengatakan hal itu. Dia merasa tak berdaya menghadapi keinginan dan pemikiran Liza.

“Aku mencintai, Piter, Pak. Sangat.. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Apa yang akan aku lakukan bila Piter tidak lagi berada disampingku? Akan sangat sulit bisa bertahan hidup jauh darinya..” Liza terpaksa menahan malunya dengan menangis di depan Luther. Meski laki-laki tua itu adalah ayahnya namun Liza tidak pernah merasakan perasaan seperti seorang anak kepada ayahnya untuk Luther.

“Liza.. Semua akan baik-baik saja, kau akan melaluinya dan bertahan hidup karenanya. Pikirkan juga Piter, bila dia mengetahui hal ini secara tidak sengaja, apakah yang akan dia pikirkan mengenai dirimu? Mengenai dirinya? Tidakkah kau berpikir bagaimana Piter akan memandangmu setelah tahu kau adalah adiknya? Akan lebih menyakitkan bila Piter membencimu karena hal ini..” Luther tahu apa yang dia katakan menyakiti hati Liza, tetapi dia tidak punya pilihan lain. Liza harus menyadari kemungkinan terburuk bila Piter mengetahui hubungan mereka. Dan Piter pasti akan membenci anak lain ayahnya.

Liza menyadari kebenaran perkataan Luther. Dia tidak pernah membayangkan Piter akan membencinya atau merasa jijik padanya. Piter begitu baik, begitu penuh kasih sayang. Tak pernah terbersit dalam hatinya Piter adalah pria seperti itu, Piter adalah laki-laki terhormat yang memegang kata-katanya. Namun, akankah seorang Piter mau menerobos norma dan hukum demi dirinya? Liza bimbang memikirkan pertanyaan itu, dia meragukan dirinya, dia meragukan Piter akan masih menerimanya setelah mengetahui seperti apa sebenarnya hubungan mereka.

Air matanya jatuh tak tertahankan, sudah seminggu penuh Liza terus-terusan menangis. Dia hampir tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Liza mulai berpikir mungkin kata-kata Luther benar, dia harus pergi ke luar negeri untuk menghindari ini semua. Dengan hati hancur Liza memasukan kedua amplop itu ke dalam tasnya.

~~~~

“Piter, kapan kau akan pulang ke rumah? Sudah hampir dua minggu kau tidak pulang. Mom ingin berbicara padamu. Pulanglah sore ini, Mom melarangmu untuk membantah” Nyonya Van Der Wilhem telah menutup telephonenya sebelum Piter sempat mengatakan apa yang ingin dikatakannya.

Dengan kesal Piter meletakan gagang telphone kantornya kembali di atas meja.

“Mom pasti ingin menanyakan hasil penyelidikanku. Apa yang harus aku katakan padanya? Shit shit shit shit shit!!! Tidak bisa, Mom tidak boleh tahu. Bila Mom tahu, dia akan menyuruhku menghancurkan Liza. Tidak, Mom tidak boleh tahu” dengan penuh tekad Piter keluar dari kantornya bersiap-siap untuk menemui ibunya.

Rumah itu sepi, Luther tidak ada dirumah, dia telah keluar sedari pagi meninggalkan Bianca dan para pelayan yang lebih senang bersembunyi di dapur atau di tempat kerja mereka. Sedang Herald sibuk dengan sekolah dan kursus-kursus yang terpaksa diikutinya karena perintah orang tuanya. Piter tiba dirumah itu pukul tiga sore, dia bersyukur ayahnya tidak ada dirumah.

Piter menemui ibunya di kebun belakang, udara lebih sejuk disana karena sinar matahari sore terhalang oleh bangunan rumah mereka. Dan pepohonan yang rindang menambah desir angin sepoi-sepoi yang meniup tubuh mereka pelan.

“Dad kemana?” tanya Piter berbasa-basi pada ibunya.

Piter mencium pipi Bianca dan mengambil tempat di kursi tepat di samping kursi ibunya. Mereka menghadap ke arah kolam ikan yang berisikan puluhan atau mungkin ratusan ikan koi yang berenang bebas dengan warna-warni unik dan menarik.

“Entahlah, your Dad sudah menghilang dari pagi. Seminggu belakangan dia sangat sibuk dan kami hanya bertemu saat sarapan. Your Dad tidak mengatakan dia kemana, dia terlihat sibuk dan sesuatu sedang membebani pikirannya, namun dia tidak mau memberitahukan Mom” jawab Bianca tanpa menoleh pada anaknya.

“Bagaimana kabar, Mom?” tanya Piter lagi, dia tidak ingin ibunya menyinggung pertanyaan mengenai perselingkuhan ayahnya.

“Menurutmu Mom akan baik-baik saja setelah mengetahui your Dad mungkin selingkuh dari Mom? Sudah hampir tiga puluh tahun Mom hidup dan melayani dia, dan beginikah hasilnya? Bila your Dad memang memiliki selingkuhan, Mom akan meminta cerai dan kembali ke Netherland. Mom muak melihat your Dad bermain dibelakang punggung, Mom” kemarahan melingkupi Bianca, Piter sadar apa yang akan dia katakan padanya mungkin saja merusak semua rencana yang sedang disusunnya untuk menikahi Liza secepatnya.

“Mom, Dad.. Tidak punya selingkuhan” kata Piter pelan.

Bianca memicingkan matanya. “Benarkah? Lalu mengapa ada surat itu?”

“Jadi begini.. Aku sudah menghubungi orang-orangku di pemerintahan. Mereka berhasil menelusuri surat itu dan mengapa sampai bisa berisi nama Dad. Jadi menurut mereka, waktu itu pernikahan Mom and Dad belum memiliki akte perkawinan yang baru saja diterbitkan. Sehingga Dad harus mengisi formulir lagi untuk mendapatkan akte perkawinan yang baru. Namun karena Dad meminta bantuan orang dalam, akhirnya formulir yang sudah ditulis Dad itu tidak perlu dipakai lagi. Dad meletakannya sembarangan dan tidak memikirkannya lagi” Piter menahan nafasnya setelah mengatakan kebohongan itu pada ibunya.

Bianca diam, terlihat dia sedang menimbang informasi yang diberikan Piter padanya. Dengan tegang Piter menunggu reaksi dari ibunya dan was-was dengan kemungkinan ayahnya yang mungkin saja pulang sesaat lagi. Namun tidak ada yang terjadi seperti dugaannya. Ibunya menerima penjelasannya dan Piter menghela nafas panjang.

“Oh.. Jadi begitu. Mom telah salah, Mom mencurigai your Dad. Oh, Mom merasa malu. Kau tahu, meski Mom seperti ini dan sering membuat kalian salah tingkah dengan kelakuan Mom di muka umum, Mom mencintai your Dad. Hanya saja Mom bukan type wanita yang percaya diri bila menyangkut masalah cinta. Mom mencintai your Dad dengan diam-diam sejak hari pernikahan kami. Kau ingat kan, Mom and your Dad menikah karena dijodohkan. Mungkin your Dad tidak mencintai Mom, tapi Mom mencintai your Dad sepenuh hati” Bianca tersenyum riang. Dia kembali seperti Bianca yang biasa.

“Oh Piter, terima kasih karena kau membuat hati Mom lega. Kau harus makan malam disini. Hei, bagaimana kabar menantu Mom? Kau harus mengajak Liza makan malam disini besok, minggu malam dan Mom akan memasak roasted beef.. khusus untuk keluarga kita” dan Bianca mengecup pipi Piter sebelum bangkit dan masuk ke dalam rumahnya. Piter terduduk lemas, dia tidak pernah begitu ahli dalam berbohong terutama di depan orang tuanya.

“Maafkan aku, Mom. Aku hanya ingin melindungi wanita yang aku cintai..dan anak kami..” bisik Piter pada angin yang bertiup.

Ketika Piter beranjak masuk ke dalam ruang makan keluarga, dia melihat ayahnya baru saja keluar dari pintu kamarnya. Luther sudah berganti pakaian, dia baru saja pulang dari luar rumah.

“Hai, Dad” sapa Piter pada ayahnya. Piter merasa kikuk berada disamping ayahnya, tak pernah sebelumnya dia ingin menghindar dari orang tuanya sebesar rasa inginnya sekarang.

“Kau baru datang?” tanya Luther setelah melihat anaknya.

“Ya, aku hendak kembali. Liza pasti sudah menungguku” kata Piter ingin melarikan diri.

“Kenapa buru-buru? Liza tidak akan kemana-mana. Makan malam dulu bersama kami. Sudah lama kau tidak dirumah, Dad merindukanmu. Your Mom selalu ribut karena keluarga kita tidak lengkap, ayolah. Demi your Mom” bujuk Luther pada anaknya.

“Piter.. Where are you going? You may not leaving this house until i feed you with my roasted turkey” teriak Bianca dari arah dapur. Tangannya memakai sepasang selop anti panas, Bianca baru saja mengeluarkan seekor ayam kalkun matang dari dalam oven yang dibantu oleh pelayannya.

“Kau dengar kata your Mom, dia akan marah bila kau pergi Piter. Dad tidak akan bisa membelamu bila your Mom sudah marah” Luther tertawa terbahak-bahak melihat wajah Piter melongo terbengong-bengong.

Dengan terpaksa Piter mengikuti ayahnya ke meja makan dan duduk dengan patuh. Tak lama kemudian Herald yang baru saja pulang dari kursusnya menyusul ke meja makan mereka.

“Hai, kak. Kemana saja kau? Aku ingin meminjam koleksimu lagi, kau tidak membalas smsku” kata Herald dengan wajah cemberut.

“Kau, anak kecil. Itu bacaan yang buruk untukmu. Aku tidak akan membiarkanmu membuka-buka lagi koleksi majalah pornoku” bisik Piter pada Herald. Dia mengacak rambut adiknya dan tertawa senang karena wajah remaja itu semakin merengut.

“Kau pelit.. wekkk” jawab Herald dengan lidah menjulur mengejek kakaknya.

Setelah makan malam normal seperti yang biasanya mereka lewati sebelumnya, Bianca menitipkan sebuah plastik berisikan makanan dalam kotak pada Piter.

“Apa ini, Mom?” tanya Piter pada ibunya.

Roasted turkey untuk menantu, Mom. Jangan lupa besok malam kau harus datang bersama Liza. Sudah lama Mom tidak bertemu dengan menantu, Mom itu. Apa kata orang kalau melihat kami tidak akrab? Nanti Mom dikira sombong” Bianca mencoel hidung anaknya dan berlalu ke dalam dapur.

Luther memperhatikan anaknya dari sofa ruang tamu, hatinya gundah mendengar pembicaraan Bianca dan Piter. Sangat sulit baginya untuk memberitahukan keluarganya mengenai jati diri Liza sebenarnya. Dia mungkin akan kehilangan keluarganya karena hal ini, namun demikian Luther tidak ingin menyembunyikan status Liza sebagai anaknya dan dia harus mencegah Piter dan Liza bersama.

“Piter, kesini sebentar. Ada yang ingin Dad bicarakan denganmu” panggil Luther pada anaknya, menepuk sofa disampingnya agar Piter duduk disana.

Piter menoleh pada ayahnya, dia sedang berbincang dengan adiknya Herald ketika sang ayah memanggil. Dengan patuh Piter menghampiri ayahnya dan duduk disampingnya.

“Bagaimana, Dad?” tanya Piter setelah menyandarkan punggungnya pada sofa.

“Bagaimana pekerjaan di kantor?” tanya Luther.

“Kantor baik, semua terkendali. Aku rasa besok senin asistenku akan melapor semuanya pada Dad dan memberikan data-data penjualan bulan lalu” jawab Piter.

“Oh, OK. Bagus. Bagaimana hubunganmu dengan Liza? Apakah kalian baik-baik saja?” Luther merubah posisi duduknya, dia ikut menyandarkan punggungnya pada punggung sofa.

“Liza baik, kami baik. Yah, kau tahu.. Pasti ada sedikit pertengkaran, itu hal biasa. Tapi kami baik. Tidak ada masalah” jawab Piter santai. Dia tidak tahu kemana arah pembicaraan mereka, Piter hanya menunggu ayahnya mengatakan sesuatu.

“Apakah kau mencintai Liza, Piter?” tanya ayahnya lagi.

Piter menoleh pada ayahnya, memandang lekat-lekat pada wajah laki-laki tua itu, mencari sinyal bila Luther telah mengetahui bahwa Liza adalah anaknya. Namun laki-laki tua itu tidak menunjukan ekspresi apapun, Piter memalingkan wajahnya kebingungan.

“Tentu, Dad. Aku sangat mencintai Liza, aku tak bisa hidup tanpanya” jawab Piter akhirnya.

“Kadang.. Untuk menemukan cinta sejatimu, kau harus mengalami penderitaan yang sangat sebelum bertemu dengan ‘the right one’ apakah kau setuju, Piter?” tanya Luther penuh selidik.

Dengan suara berat Piter menjawab pertanyaan ayahnya. “Aku telah menemukan cinta sejatiku, Dad. Dan aku sekarat karena mempertahankan hubungan ini. Aku akan melawan takdir atau apapun itu agar kami bisa tetap bersama. Hanya maut yang mampu memisahkan kami”

Luther merasa tubuhnya menggigil mendengar penuturan anaknya, entah mengapa dia merasa ketakutan mendengar perkataan Piter. Dengan senyum miris Luther bangkit dari sofa dan menepuk pundak anaknya.

“Kau hati-hatilah jalan pulang, Dad ingin beristirahat. Good night, Piter. Sampaikan salam Dad pada Liza” lalu Luther masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri dalam ruang kerja yang terhubung dari kamar tidurnya.

Piter menghampiri adiknya lagi, Herald sedang bermain dengan iPadnya ketika Piter mengambil benda itu dari tangannya.

“Yah, Piter! Mengapa kau mengambil iPadku?” teriak Herald kesal.

Piter menepuk kepala adiknya dengan koran yang ada di atas meja. Adiknya itupun mengaduh dan mengelus kepalanya yang terkena pukulan koran.

“Sejak kapan kau tidak sopan begitu? Aku hanya ingin berbicara padamu, benda ini menghalangi. Untuk lima menit saja berikan waktumu untukku. Mungkin tidak akan ada lain kali lagi kita bisa berbicara seperti ini” jawab Piter muram.

“Kenapa kau bilang begitu, kak?” tanya Herald setelah mendapat kembali iPadnya dari Piter.

“Aku akan menikahi Eliza, mungkin kami akan pindah ke rumah lain dan tidak tinggal disini” jawab Piter namun matanya menerawang ke arah lain. Piter sedang memikirkan daerah yang tepat untuk membangun sebuah rumah impian bagi keluarga kecilnya.

“Kau tidak akan tinggal disini? Mengapa? Mom pasti akan marah, kau tahu kan Mom sangat ingin menimang bayi. Setelah kau menikah pasti Mom memintaku cepat besar dan memberinya seorang menantu. Dasar Mom” Herald memasang wajah cemberut, Bianca memang bisa sangat menyebalkan bila menginginkan sesuatu.

Piter menyunggingkan sebuah senyum ironis disudut bibirnya. “Mom akan mendapatkan seorang bayi yang mungil, tak lama lagi..” suara Piter begitu pelan hingga Herald harus menoleh pada kakaknya untuk memastikan kakaknya itu telah mengatakan sesuatu. Namun demi melihat wajah Piter yang serasa sedang berada di dunia yang berbeda, Herald menghentikan keinginannya untuk bertanya.

Be carefull, Piter. Sampaikan salam Mom pada Liza, ya. Peluk cium dari Mom untuk menantu Mom. Jangan lupa besok pukul tujuh malam tepat. Mom tidak suka kau terlambat” Bianca mencium pipi anaknya sebelum melambaikan tangannya mengantar kepergian Piter.

~~~~

Piter memperhatikan dengan senyum hangat Liza-nya sedang menyantap makanan yang diberikan oleh ibunya. Liza makan dengan lahap dan menjadi salah tingkah karena dipandang sedemikian rupa oleh Piter. Dia menyodorkan sepotong daging kalkun pada Piter karena memandanginya seperti orang kelaparan.

“Uum.. Aku tidak lapar, makanlah. Aku hanya senang melihatmu makan dengan lahap seperti ini” kata Piter sembari tertawa.

“Hobymu aneh, Pit. Aku salah tingkah dipandangi seperti itu” jawab Liza mencoba merajuk.

Piter terkekeh dan melanjutkan hobynya memandangi Liza yang sedang makan.

“Makanlah, Eliza.. Makan yang banyak ya.. Agar energimu cukup...” kata Piter pelan.

“..agar energimu cukup untuk dua orang.. Kau.. dan anak kita” lanjut Piter dalam hati. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...