“Tuan Luther, dia sudah lama pergi dari sini. Kabar terakhir
mengatakan dia pergi ke Jakarta dan mengadu nasib disana, bekerja sebagai
penjaga toko dan beberapa pekerjaan lain yang bisa didapatkannya. Kami masih
mengumpulkan informasi-informasi lain, pada akhir bulan ini kami akan
memberikan anda data-data itu”
“Sudah enam belas tahun aku membayar kalian, dan hanya ini
yang kalian dapatkan? Bila hingga akhir bulan ini kalian tidak juga mendapat
titik terang mengenai keberadaan anakku, maka aku akan menghentikan kerja sama
ini!” Luther menghisap rokoknya dengan kesal, dia jauh-jauh datang ke daerah
terpencil ini hanya untuk menemukan bahwa anaknya telah lama pergi dari sini.
Ketika harapannya telah mengembang tinggi, kini ditelannya bulat-bulat. Dia masih
belum bisa menemukan Elizabeth, anaknya yang direnggut darinya enam belas tahun
lalu.
“Elizabeth.. Dimanakah kau sekarang, nak? Bagaimana hidupmu?
Sehatkah kau? Bahagiakah hidupmu? Maafkan ayahmu yang tak berguna ini. Aku
bersalah padamu dan ibumu. Maafkanlah ayah.. Ayah berjanji, bila menemukanmu
nanti, ayah akan membawamu kerumah kita. Ayah akan mengenalkanmu pada dunia,
anak perempuan ayah, seorang Van Der Wilhem. Tak akan ada lagi yang memandang
aneh pada warna matamu, karena kau adalah anakku, anak dari Luther Arya Van Der
Wilhem”
~~~~
Piter dan Elizabeth sedang memilih menu makan siang mereka di
sebuah restoran cafe di mall tempat
Liza mengadakan satu lagi event untuk
perusahaan tempatnya bekerja.
“Kau yakin itu ide yang baik? Aku tidak tahu Pit, aku rasa
semua ini terlalu cepat. Aku tak tahu bagaimana reaksi keluargamu nanti” Liza
hanya membuka-buka menu ditangannya tanpa fokus dengan apa yang tertulis
diatasnya.
Dia gelisah memikirkan keinginan Piter untuk mengenalkannya
pada orangtuanya. Liza merasa dirinya tak pantas untuk masuk ke dalam sebuah
keluarga sekelas keluarga Piter, bahkan dia mulai meragukan keberaniannya untuk
menerima lamaran laki-laki itu.
Piter telah melamarnya minggu lalu, dan dia masih
memikirkannya. Terasa sungguh berat bagi Liza untuk menerima semua perubahan
drastis pada hidupnya. Piter memaksanya untuk tinggal di sebuah apartemen yang
dibelikannya untuknya, dengan alasan dia juga ingin tinggal disana dan akan
tidak sopan bila Piter menginap di kamar kos Liza dan mereka membuat suara
gaduh setiap malam karena percintaan panas mereka.
Dalam apartemen luas yang dibelikan Piter untuknya, mereka
dengan bebas berteriak melepaskan seluruh ekspresi bercinta mereka.
Mengexplorasi daerah-daerah dan posisi bercinta lain yang tak akan pernah
membuat mereka bosan.
Hubungan mereka telah berjalan selama tiga bulan, naik turun
suatu hubungan telah mereka lalui bersama. Masalah yang mereka hadapi terutama
muncul dari kecemburuan Piter dan perintahnya yang terkadang ditolak Liza.
Laki-laki itu memaksanya untuk menerima semua pemberiannya yang tak sanggup
Liza terima.
Pernah suatu malam Liza dan Piter bertengkar hebat karena
Piter membuatkannya sebuah tabungan dengan jumlah uang yang membuat Liza
membelalakan matanya. Bahkan bekerja mati-matian seumur hidupnya pun Liza tak
akan sanggup menabung jumlah uang sebanyak itu.
Dia tidak bisa menerima semua kebaikan Piter padanya, mereka
hanyalah sepasang kekasih, Liza tidak merasa pantas mendapat semua itu.
Namun Piter telah menganggap Liza lebih dari sekedar kekasih,
Liza adalah belahan jiwanya, istrinya, baik mereka telah resmi menikah atau
tidak. Piter menghabiskan lima hari dalam seminggu bersama dengan Liza,
terkadang dia akan mencuri-curi waktu agar bisa kabur ke apartemen mereka dan
menghabiskan waktu lebih banyak lagi bersama Liza-nya.
Setiap pertengkaran yang muncul selalu berakhir dengan
percintaan panas diatas ranjang, Piter tahu bagaimana cara merubah emosinya
yang meledak-ledak menjadi gairah yang menggebu-gebu. Beruntung baginya, Liza
bukanlah jenis wanita yang menyimpan kemarahannya berlama-lama, esok paginya
mereka akan kembali berpelukan dan tersenyum seolah cinta mereka telah
diperbaharui kembali.
“Ya, aku yakin. Dan aku yakin sekali, kau sudah seharusnya
menjawab pertanyaanku Eliza.. Apakah kau ingin aku menunggu lebih lama lagi?”
wajah tampan itu memelas di depannya.
Selain emosinya yang gampang meledak, Piter mulai belajar
keahlian baru. Dia mulai senang memasang wajah memelas dan manja pada Liza.
Liza tak sanggup menahan kemarahannya bila Piter telah memberinya wajah seperti
itu.
“Kau ini.. Seperti anak kecil saja, merajuk..” Liza tertawa
geli memperhatikan wajah Piter.
“Jadi.. apa jawabanmu, Elizaku..?”
“Ehm.. apa ya..? Bolehkan aku makan dulu?” tanyanya
mengalihkan.
“Tidak. Kau harus jawab dulu, baru boleh makan” Piter memasang
wajah galak, Liza mencubit pipinya dan memunculkan tawa pada laki-laki itu.
“Eliza... Please.. Jangan buat aku menunggu lagi. Jantungku
sudah berdebar-debar tak karuan, bila menunggu lebih lama... jantungku akan
copot. Apa kau suka melihatku menderita seperti ini?” Piter memegang dadanya,
berakting menebah dadanya yang kesakitan.
“Aih..Piter, kau sungguh pandai berakting. Jangan-jangan
selama ini kau juga hanya berakting saat memintaku memijiti bahumu?” cibir
Liza.
Piter terkekeh, membenarkan ucapan Liza.
“Dasar cowok mesum..” bibir Liza mengerucut meledek Piter.
“Tapi kau cinta, kan..? Iya kan..?”
“Tidak. Aku tidak mencintaimu” jawab Liza asal. Piter
melompat dari kursinya menuju tempat Liza berdiri. Tangannya mengunci dagu
wanita ini.
“Kau jangan bercanda dengan kata-kata itu, Eliza.. Katakan
yang sebenarnya.. kau cinta aku, kan?” matanya mengancam, dia tak ingin
mendengar kata yang lain. Dia tak ingin Liza berhenti mencintainya.
“Laki-laki bodoh, tentu saja aku mencintaimu. Dan hentikan
sikapmu seperti ini. Kau membuatku takut” Liza mencoba melepaskan dagunya dari
kuncian tangan Piter, namun laki-laki itu tak bergeming.
“...Kau pantas takut, Eliza.. Aku tak akan melepaskanmu. Kau
adalah milikku, kau harus tahu itu” dan Piter mencium bibir Liza didepan umum,
didalam restoran yang ramai dan menarik tubuh wanita itu agar mengikutinya
keluar.
Piter menyewa sebuah kamar di dekat mall itu dan bercinta
dengan Liza karena sudah tak sanggup menahan gairahnya yang membara.
Saat mereka berpelukan dengan nafas tersengal-sengal, Piter
mengaku kalah.
“Aku tak berdaya bila ada didekatmu, Eliza.. Kau membuatku
takhluk hanya dengan kehadiranmu. Aku tak bisa membayangkan bila kau tak berada
disisiku lagi. Mungkin aku akan mati, aku tak akan bisa hidup bila kau
meninggalkanku. Jangan pernah meninggalkanku, ya..? Eliza.. Jangan
meninggalkanku, sayang.. Menikahlah denganku, hanya itu satu-satunya cara kau
bisa menolong hati laki-laki lemah ini. Aku mencintaimu, teramat sangat..” Liza
mengusap air mata yang turun dari mata biru Piter, ini pertama kalinya dia
melihat laki-laki ini menangis.
Liza merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan, seorang
laki-laki seperti Piter begitu mencintainya, dan dia merasa senang karena cinta
yang diberikan Piter padanya tak kalah besar dengan cinta yang disimpannya
untuk laki-laki ini. Liza telah membayangkan sebuah keluarga kecil di pedesaan
bersama dengan Piter dan anak-anak mereka. Berlibur dan bermain di pegunungan,
memetik buah apel dan rambutan, bermain layang-layangan dan menangkap ikan di
kali.
Namun apakah Piter memiliki cita-cita yang sama dengannya?
Liza meragukan hal itu, gaya hidup mereka berbeda, namun demi cinta, Liza rela
merubah dirinya, menyesuaikannya untuk Piter.
“Aku bersedia, Piter. Aku juga mencintaimu, amat sangat”
mereka lalu berciuman kembali dan terlelap dalam buaian ranjang yang hangat.
~~~~
Piter dengan gelisah mondar-mandir di teras rumahnya, dia
menunggu kedatangan Liza yang diantarkan oleh sopirnya. Piter tidak dapat menjemput
wanita itu untuk membawanya kerumah keluarganya, Piter bahkan baru saja tiba
dirumahnya untuk mengenalkan Liza kepada keluarganya. Mereka telah diinstruksikan
oleh Piter agar tidak pergi kemana-mana sore ini karena seorang tamu istimewa
akan hadir dan memperkenalkan dirinya.
Tuan Luther setengah berseloroh menggoda Piter yang gelisah
seperti cacing kepanasan.
“Rileks, Son. Bila dia mencintaimu, dia akan datang.
Sabarlah..” Luther terkekeh sambil menghisap cerutunya.
Sedangkan Nyonya Van Der Wilhem duduk dengan tenang sembari
membaca majalah fashion luar negeri. Herald yang sedari tadi bermain dengan
iPadnya mulai terlihat bosan dan sesekali melirik ke arah kakaknya yang masih
mondar-mandir diteras.
“Ah, akhirnya dia datang” ketus Piter kemudian berlari
menyambut mobil yang membawa Liza. Piter membukakan pintu belakang mobil untuk
calon istrinya dan mengecup manis tangan Liza. Liza menjadi salah tingkah
diperlakukan seperti itu oleh Piter.
“Pit.. keluargamu melihat” bisiknya khawatir.
Liza mengenakan gaun putih sederhana tanpa riasan wajah yang
berlebihan, tak ada perhiasan lain ditubuhnya selain sebuah cincin emas yang
menghiasi jari manisnya dengan sempurna. Cincin yang sama juga tampak pada jari
manis Piter, mengukuhkan status mereka sebagai calon suami-istri.
Bila orangtuanya menyetujui hubungan mereka, Piter berencana
untuk menikahi Liza dua bulan kemudian. Tentunya setelah mempersiapkan sebuah
pesta meriah untuk merayakan hari pernikahan mereka nanti.
“Ayo, mereka sudah menunggumu di ruang keluarga. Apakah kau
siap Elizabethku?”
“Pit.. Bagaimana penampilanku? Aku rasa rambutku akan jatuh,
aku tidak tahu harus mengikatnya seperti apa. Aku gugup bertemu dengan
keluargamu” bisik Liza pada Piter.
“Eliza, sayang.. Kau sungguh sempurna. Kaulah wanita
tercantik di dunia ini. Keluargaku pasti akan menyukaimu. Aku ada disampingmu,
apapun yang terjadi, percayalah padaku. Aku tak akan membiarkan mereka
memisahkan kita, tapi itupun bila keluargaku menolakmu. Dan aku meragukan hal
itu, siapa yang akan menolak calon menantu secantik dan sepintar dirimu?” Piter
mengecup kening Liza, menghibur wanita itu agar lebih tenang.
“Tarik nafasmu..lepaskan..” Piter meminta Liza menghembuskan
nafasnya dan menghirupnya lagi untuk mengurangi kegugupannya.
“We’re ready?” tanyanya lagi.
“Ready..” jawab Liza dengan mantap.
Tuan dan Nyonya Van Der Wilhem berserta anak mereka Herald
telah menunggu kedatangan Liza. Dengan ramah mereka menyambut kedatangan calon
menantu pilihan hati Piter.
“Wah.. Piter.. Kau sungguh pintar memilih menantu untuk Mom. She’s Gorgeous.. Kalian akan memiliki
anak-anak yang cantik dan tampan. Ibu merestui kalian” Nyonya Van Der Wilhem
yang bernama Bianca mengenalkan dirinya pada Liza.
“Bianca, kau boleh memanggilku Bianca, namun setelah resmi
menikah nanti, kau harus memanggilku Mom, ok?”
“Terima kasih, Bianca. Sambutan kalian membuatku merasa
nyaman”
“Anak bodoh, kami pasti menyetujui pilihan Piter, dia tidak
pernah mengenalkan wanita kepada kami sebelumnya. Saat dia mengenalkan
seseorang, Piter membuktikan bila dia memang memiliki mata jeli, dia pintar
memilih” Bianca mengedip pada Piter yang hanya tersenyum simpul, merasa bangga
dengan pujian ibunya.
Liza lalu berkenalan dengan Herald, anak muda ini tersenyum
cengengesan, wajahnya persis seperti kakaknya, namun matanya yang suka bercanda
itu lebih mirip dengan mata ibunya.
Lalu ada Tuan Van Der Wilhem, dahi laki-laki tua itu berkerut
seolah sedang memikirkan sesuatu. Dia diam membisu larut dalam pikirannya.
“Dad, haloo anybody
home?”
“Oh, Piter? Ada apa?” tanya Luther yang kini telah kembali
tersadar sepenuhnya.
“Ini.. Calon menantumu ingin berkenalan”
“Kenalkan ayahku, Mr. Luther Arya Van Der Wilhem, patriach
Van Der Wilhem sejati”
Liza dengan sopan menyodorkan tangan kanannya pada Luther,
dengan ragu laki-laki tua itu menyambut tangan Liza. Kemudian tangan Luther
membeku di udara ketika mendengar ucapan Piter selanjutnya.
“Dad, kenalkan kekasih hatiku, calon ibu dari cucu-cucumu,
Eliza. Nama lengkapnya Elizabeth Suteja”
Luther tak sanggup berkata-kata. Matanya nanar memandang
wajah Liza dan wajah Piter bergantian. Saat kenyataan menerpa akal sehatnya,
Luther merasa tubuhnya disiram air es dingin dan dicemplungkan ke dasar laut
samudera atlantik. Luther menebah jantungnya, untuk kali pertama dia merasa
jantungnya tak sehat.
Ketika dia begitu ingin bertemu dengan anak gadisnya, Tuhan
mempertemukan mereka dengan cara yang paling tragis. Mempertemukan mereka bukan
sebagai ayah anak, namun sebagai ayah mertua dengan calon menantu. Anak
perempuannya akan menikahi anak laki-lakinya. Luther pun seketika pingsan dan
tubuhnya jatuh dengan bebas menghantam karpet tebal dibawahnya.
“Dad!!!” Piter bergegas mengangkat tubuh ayahnya ke dalam
kamar. Bianca menelphone dokter pribadi mereka yang datang lima menit kemudian.
Rasa ketakutan menghampiri Liza, ayah Piter menjadi pingsan
karena bertemu dengannya, dia merasaa telah membawa karma buruk bagi keluarga
ini. Saat Piter sibuk dengan ayahnya yang pingsan, Liza diam-diam pergi dari
rumah itu membawa serta ketakutan yang tiba-tiba merebak dalam hatinya.
Entah mengapa dia seperti pernah bertemu dengan laki-laki tua
itu, dengan ayah Piter, namun dia tidak bisa mengingatnya lagi.
Entah apa yang menghinggapi kepalanya saat mengemas
pakaiannya dan menutup pintu apartemen yang diberikan Piter kepadanya.
Mengendap-ngendap pergi dari tempat itu dalam gelap malam dan berharap Piter
tak akan menemukannya lagi.
“Mau pergi, nona?” sebuah suara dingin menghantam punggung
Liza. Suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Begitukah caranya? Apakah kau akan berniat untuk
mengabarkanku bila telah sampai pada tujuanmu?” wajah laki-laki itu terluka.
Dengan kasar Piter merampas koper ditangan Liza, membuka
pintu apartemennya dan melempar paksa tubuh wanita itu ke atas ranjang.
“Kau ingin pergi dariku, Elizabeth?” Piter melepaskan helai
demi helai pakaiannya, matanya bersinar tajam, sorot mata yang ingin menelan
bulat-bulat mangsa di depannya. Mata yang begitu berapi-api ingin menghanguskan
tubuh wanita yang kini ditindihinya.
“Piter.. aku.. Tolong jangan begini..” pinta Liza dengan
wajah memelas, air matanya turun di pipi. Piter tengah murka dan gelap mata,
dia tak menyadari apa yang sanggup dilakukannya saat ini.
“Jangan begini seperti apa, Eliza..? Jangan menciummu?” dan
Piter mencium dengan kasar bibir Liza, menggigit dengan kencang bibir wanita
itu hingga melukainya.
Piter menjilati darah yang mengalir dari bibir Liza. Matanya
sedikit terpuaskan melihat Liza merintih kesakitan dibawahnya. Tangannya
mengoyak pakaian Liza, dengan kasar merenggut bra berenda yang dipakainya.
“Atau jangan begini, Liza?” Piter menciumi dengan ganas
payudara Liza, menggigit puting susunya hingga wanita ini menangis dan
berteriak kesakitan, berharap Piter mengampuninya.
“Piter jangan.. tolong.. Ampun.. Aku tak akan pergi. Maafkan
aku..aku bersalah” rintih Liza kesakitan.
“Tidak, Eliza.. kau tidak bersalah. Apa yang kau katakan? Aku
tidak sedang menghukummu.. Aku sedang bercinta denganmu. Aku sedang bercinta
dengan istriku.. Beginilah aku biasanya bercinta dengan wanita-wanita lain,
Eliza.. Beginilah seorang Volcano meniduri wanita-wanita murahan yang
bergelayut ditangannya setiap hari!!” dan Piter pun menghujamkan kejantanannya
tanpa ampun ke dalam daerah kewanitaan Liza.
Menusuk dengan kejam dan tak berperasaan, menghiraukan segala
teriakan kesakitan Liza yang memilukan. Piter mendengarnya, Piter tahu apa yang
dilakukannya adalah pemerkosaan, dia tahu dirinya salah dan dia tahu Liza
mungkin akan membencinya setelah ini. Tapi dia begitu kecewa pada wanita ini,
kecewa karena Liza pergi di saat ayahnya pingsan dan membutuhkan pertolongan,
Piter kecewa karena Liza diam-diam meninggalkan rumah mereka tanpa pesan. Dan
Piter sangat kecewa dan murka saat menemukan wanita ini mengendap-ngendap
hendak meninggalkannya.
Dia tidak dapat membendung segala kebenciannya pada Liza,
Piter ingin menyakitinya. Ingin agar Liza merasakan sakit hatinya karena
dikhianati kepercayaannya oleh Liza.
Saat gemuruh ombak dan letusan Volcano telah mereda, Piter
memeluk tubuh Liza yang gemetar ketakutan. Mereka menangis bersama dan saling
berpelukan.
“Maafkan aku Eliza... Aku kalap” Liza tak menjawabnya, air
matanya turun dengan deras.
Dia tak tahu apa yang membuatnya
begitu ingin pergi meninggalkan Piter, ada sesuatu dalam masa lalunya yang
memintanya untuk pergi dengan diam-diam. Dia tahu betapa dia menyakiti dan
mengecewakan Piter, dia juga mengecewakan dirinya karena memperlakukan Piter
seperti ini. Namun Liza tak punya jawaban rasional mengenai tindakannya. Dia
hanya bisa bergelung merintih kesakitan disekujur tubuhnya yang disetubuhi
Piter dengan kasar. Laki-laki ini menyakiti fisik dan jiwanya.
No comments:
Post a Comment