Liza terbangun dari tidurnya pada pukul lima pagi, sejam
lebih awal dari biasanya. Hari ini senin, dan dia mendapat libur yang telah
dinanti-nantinya. Bekerja sebagai staf sebuah perusahaan event organizer membuatnya harus menerima kenyataan hari minggu dan
tanggal merah bukanlah hari liburnya. Kata-kata “I hate monday” tidak berlaku bagi Liza. Dia suka Monday, karena hari itulah dia libur.
Dia akan berbelanja ke supermarket, membersihkan kamarnya,
mencuci pakaian kotornya yang telah menumpuk lagi, menyetrika, dan mungkin
sedikit waktu dia habiskan untuk mencuci rambutnya ke salon. Sedikit kesenangan
yang mulai diberikannya pada dirinya sejak Liza mampu hidup lebih mapan.
Pukul sepuluh pagi, Liza telah selesai membereskan semua
pekerjaan rumahnya, saatnya mandi dan bersiap-siap pergi ke supermarket,
membeli kebutuhan sehari-hari dan bulanan serta mengisi kulkasnya yang telah
kosong melompong. Dia baru saja mendapat bonus dari perusahaannya, bonus yang
setengahnya dia sisihkan untuk ditabungnya dan setengahnya dia gunakan untuk
membiayai hidupnya sehari-hari. Gaji yang diperolehnya juga telah diaturnya
sehingga Liza tidak perlu berhutang untuk membayar sewa kamar kosnya lagi. Hidupnya
akan membaik.
“Eliza..” sebuah suara dari belakang memanggilnya, Liza
sedang membungkuk mengambil celana dalam terakhir yang akan di pasangnya
digantungan jemurannya.
Dia pun menoleh pada suara itu dan terkesiap, buru-buru
menyembunyikan celana dalam basah dalam genggamannya. Piter memandangnya tak
percaya, mata laki-laki itu telah menangkap jelas bentuk celana dalam berwarna
putih yang kini disembunyikan Liza dari pandangannya.
“Piter.. Kau mengagetkanku. Kenapa kau datang pagi-pagi
begini? Dan pakaianmu.. sangat tidak cocok di daerah ini” Liza terkikik geli.
Laki-laki di depannya terlihat seperti seorang milyarder yang
sedang menginspeksi daerah kumuh karena ingin membeli daerah itu untuk di rubah
menjadi pemukiman elit. Semoga tidak ada penduduk yang salah paham dengan
maksud kedatangannya. Dengan jas berwarna biru gelap, dasi merah bergaris-garis
dan sepatu hitam mengkilap, Piter terlihat mencolok. Bahkan beberapa penduduk
yang lewat melongokan kepala mereka untuk mencari tahu sosok bule yang sedang
berdiri di depan Liza.
Penampilan Liza terlalu kontras dengan Piter, rambutnya
diikat keatas dengan sembarangan, beberapa helai rambut menempel di lehernya
yang terbuka karena keringat. Liza
mengenakan baju kaos longgar yang telah mengusam, dengan celana pendek sepaha,
memperlihatkan paha putih mulusnya yang begitu indah, begitu menggoda naluri
kelelakian Piter yang menatapnya tajam.
“Aku kira kau sakit, kenapa kau tidak menjawab telphonemu?
Bahkan smsku tidak kau balas..” suara Piter menuduh, dia merasa sakit hati
karena Liza tak menghiraukannya.
“Maafkan, aku belum ada menyentuh handphone dari pagi. Kau
rajin sekali..” Liza masih tersenyum geli, tak menyadari sama sekali ketegangan
suara laki-laki di depannya.
“Aku mengirimimu sms semalam, setelah aku keluar dari sini”
jawab Piter dengan ketus.
Senyuman dibibir Liza memudar, wajahnya kebingungan.
Nampaknya dia langsung tertidur setelah Piter berpamitan padanya.
“Aku akan melihat handphoneku, maafkan. Aku semalam langsung
tertidur dan tidak memperhatikan ada pesan darimu” Liza masuk ke dalam kamarnya
meraih handphonenya yang sedang dicharger di atas meja.
Piter yang mengikutinya kini berdiri dibalik punggungnya,
merebut handphone itu dan mencari pesan yang dikirimnya, mencoba untuk
menghapus pesan itu.
Suasananya telah berbeda, Piter merasa kalimatnya semalam
sama sekali tidak menarik bila Liza menertawakannya. Dia tidak ingin Liza
menertawakan perasaannya, Piter bisa membunuh wanita ini bila dia berani
menertawakan perasaannya.
Akan tetapi Liza tidak terima Piter merampas handphonenya,
mereka pun saling berebut handphone. Piter dengan sengaja mengangkat
tinggi-tinggi handphone itu sehingga Liza tak mampu menjangkaunya meski dengan
kedua tangannya.
Tubuh mereka bergesekan dan Piter bersumpah Liza begitu seksi
dan memabukkan. Aroma keringat pada tubuhnya membangkitkan gairahnya seketika.
Handphone ditanganpun terlupakan, Piter membiarkan Liza menangkap handphonenya,
sedang kedua tangannya kini memeluk pinggang Liza dan mendesakan tubuh mereka.
Piter mendekatkan wajahnya, membungkuk pada wajah Liza, menempelkan dahi mereka
dan nafas mereka pun menyatu.
“Piter..apa yang..” bibir Liza telah dikuasai oleh bibir
penuh damba Piter. Memagut dengan lembut bibir ranum Liza, melemahkan kedua
lutut wanita itu dalam pelukan kuat Piter.
Piter mencium bibir Liza dengan penuh perasaan, memejamkan
matanya menerima penyatuan bibir mereka dengan penuh kenikmatan. Liza yang
kebingungan dengan reaksi tubuhnya kini mengalungkan lengannya pada leher
Piter, menerima sepenuhnya kekuasaan laki-laki itu pada bibirnya, pada
tubuhnya.
Saat Piter melepaskan pagutan mereka, suaranya serak hampir
tak terdengar. “Eliza.. jadilah kekasihku..”
Liza tak mampu mencerna kata-kata Piter, dia masih dibuai
oleh kenikmatan ciuman laki-laki itu. “Ha..? Kau bilang apa tadi?” tanyanya
gagu.
Piter mendengus sedih, dia menegaskan pertanyaanya dalam
sebuah ciuman dalam, menghisap dan mengulum kedua belah bibir Liza dan
merasakan tubuh gadis itu meleleh dalam pelukannya.
“Aku bilang, jadilah kekasihku..bodoh..”
Liza membelalakan matanya, hampir tak mempercayai pendengarannya.
“Apa? Aku.. tapi.. kita baru saja kenal dan...” Piter
mengecup ringan bibir Liza.
“Shh.. Aku tidak ingin ditolak, Eliza. Aku tidak terbiasa
ditolak. Tidakkah kau tertarik padaku? Well, aku ulangi pertanyaanku, selain
tubuhmu, tidakkah ada bagian lain dari dirimu yang tertarik padaku?”
Liza dapat merasakan tumbukan kejantanan Piter pada pahanya.
Laki-laki ini terangsang, oleh kedekatan tubuh mereka. Liza tak akan berbohong
dengan mengatakan dia tidak terangsang. Bagian tersensitifnya mungkin telah
basah kuyup saat ini.
“Tidak menerima penolakan, Piter? Dan bagaimana bila aku
menolak? Apa yang akan kau lakukan?” Liza merasakan sebuah keberanian tumbuh
dalam dirinya, menantang kekuasaan Volcano untuk meledakkan amarahnya yang akan
menenggelamkan mereka berdua dalam larva panasnya gairah yang menggebu-gebu.
Piter terdiam sejenak, menyerap dalam kepalanya kata demi
kata yang diucapkan Liza. Saat kata-kata tercerna oleh otaknya, Piter menggeram
dan dengan kasar tangan kirinya merengkuh dagu Liza, menguncinya dalam ciuman
terpanas yang pernah diberikannya pada seorang wanita.
Bibirnya kini merajalela menikmati kulit leher jenjang Liza.
Tangannya bergerak dibalik kaos longgarnya, menangkupkan tangannya pada bra polos
yang dipakai Liza saat itu. Membuka kait branya dan menangkupkan kembali
tangannya diatas pucuk ranum payudara Liza. Nafasnya memburu, kalah oleh
desakan gairahnya yang meletup-letup.
“Bila kau menolakku, aku tak akan melakukan hal ini, Eliza.
Jadi katakan padaku.. apakah kau menolakku? Apakah kau ingin aku
menghentikan..ini?”
Piter merebahkan tubuh Liza ke atas ranjang, menindih tubuh
wanita itu dengan berat tubuhnya. Kini kaos dan bra Liza telah teronggok di
atas lantai, bibir Liza mendesis tanpa kata, dia tidak ingin Piter menghentikan
perbuatannya pada tubuhnya. Liza tidak ingin menolak permintaan laki-laki itu,
dia ingin menjadi kekasihnya. Kekasih seorang Piter Volcano dengan emosi dan
gairah yang gampang meledak-ledak, seperti sekarang ini.
Piter melepaskan jas, dasi dan kemejanya. Kini mereka telah
bertelanjang dada di dalam kamar yang pintunya bahkan masih terbuka. Piter
menciumi payudara Liza dengan nikmat, menghisap puncak buah dadanya yang
mengeras dan memainkan lidahnya disana.
Tiba-tiba Liza mendorong tubuh Piter, laki-laki itu membeku
diatasnya. Mengerang menahan penundaan yang menyakiti selangkangannya.
“Piter..” bisik Liza.
“Ada apa Eliza..? Aku.. sudah tak bisa bertahan lagi.. Jangan
katakan kau ingin berhenti sekarang.. Aku tak bisa..”
“..Tidak.. Aku.. maksudku..aku ingin bilang.. pintu kamarku
belum tertutup. Dan kita berada di kos-kosan ramai.. kau tahu..” katanya sambil
menunjuk pintu kamar yang menganga lebar.
Piter menutup wajahnya dengan kesal. Dia berguling dari atas
tubuh Liza, menutup pintu itu dengan kesal dan menguncinya dari dalam. Tirai
jendelapun tak lupa ditariknya hingga tertutup. Sekarang tak ada yang bisa
menghentikannya. Liza membelalakan matanya melihat tumbukan celana Piter pada
selangkangannya.
Laki-laki itu mengikuti arah pandangan Liza. Dengan senyum
khasnya, Piter melepaskan celana panjangnya, duduk disisi ranjang dan menuntun
tangan Liza pada tumbukan kejantanannya yang telah mengeras, berdenyut
menyakitkannya.
Piter menggertakan giginya saat tangan Liza menyentuh pucuk
kejantanannya. Nafasnya berat, jantungnya berdebar kencang saat Liza menarik
turun celana dalam yang Piter pakai. Kejantanannya yang tegak berdiri mencuat
keluar, berdiri dengan gagah, keras dan panjang. Liza yakin dia baru saja
menelan ludahnya demi melihat pemandangan di depan matanya.
“Aku belum pernah melakukannya dengan pria manapun, aku hanya
ingin kau tahu itu” kata Liza sembari menunduk, menyembunyikan rona merah pada
pipinya.
Piter tersenyum lagi, menarik dagu Liza hingga mata mereka
saling terkait.
“Aku tahu, Eliza.. Aku tahu.. Dan aku merasa sangat terhormat
mendapat kesempatan ini. Aku harap, akulah yang pertama..dan terakhir..” Piter
menindih kembali tubuh Liza, melepaskan celana dalamnya dan membantu Liza
melepaskan mini skirt dan celana dalamnya juga.
Saat Piter hendak membuka pahanya, Liza membelalakan matanya,
menutup dengan kedua tangannya pada daerah kemaluannya. Menghalangi Piter
melihat apa yang hendak dilihatnya sebelumnya.
“Eliza..?” tanya Piter bingung. Dia mengira mereka telah
setuju dialah yang pertama.
“Tidak..tidak.. Piter aku..”
Rahang Piter mengeras, matanya berapi-api. Pada saat seperti
ini dia tidak pernah berbelas kasihan pada pasangannya, namun dia mengecualikan
itu pada Liza, pada wanita yang dicintainya. Dia akan mendengarkan apa yang
ingin dikatakannya.
“Ada apa, Eliza? Bila kau memang sudah tidak perawan lagi,
aku tidak keberatan. Aku tidak menuntut hal itu, aku sendiri bukanlah anak
kemarin sore. Aku..telah mengenal wanita jauh sebelum dirimu” Piter
menghembuskan nafasnya, suasana hatinya sedikit berubah saat mengetahui Liza
membohonginya.
“Tidak...tidak. Bukan begitu. Aku masih perawan! Aku hanya..
aku belum mandi... Pit..”
Mulut Piter menganga, tak mempercayai pendengarannya.
“Ya, Tuhan Eliza. Aku kira ada apa. Kau membuatku khawatir”
“Piter.. Aku.. tidak mungkin membiarkanmu melihatku disana,
aku belum sempat mandi, aku dari pagi mencuci dan bersih-bersih. Aku pasti
kotor disana..” bisik Liza lirih. Dia masih menutupi selangkangannya dari
Piter.
Piter menyunggingkan senyumnya untuk Liza. Dia merangkak
diatas tubuh wanita ini, mencari bibirnya dan memagut dengan lembut bibir itu.
Lama diciuminya, merangsang, menggoda dan merayu tubuh Liza hingga dia akan
meleleh dan tak mampu mengucapkan penolakan lagi.
“Eliza sayang.. Kau adalah wanita tercantik, tersuci dan
terharum yang pernah aku kenal. Aroma tubuhmu merangsang gairahku hingga
rasanya aku akan meledak sebentar lagi. Aku tak akan bisa bertahan bila kau
menolakku lebih lama. Aku..ingin sekarang, Elizzaa..” Piter menjilati leher
Liza, dan wanita itupun menyerah. Pahanya dibukanya lebar, tangan Piter
merenggangkan paha Liza dan menyentuh permukaan kewanitaannya yang telah basah.
“Oh Eliza.. Ini sempurna, kau sempurna sayang..”
Piter mengawasi setiap ekspresi wajah Liza saat tangannya
dengan gemas bermain dengan klitorisnya. Memberikan kenikmatan pada tubuh Liza
dan kepuasan pada jiwanya yang menatap dahaga padanya.
“Piter..ahh.. Aku..sebentar lagi, aku akan keluar..aahh...”
dan tubuh Eliza menggelinjang tak beraturan, Piter tak ingin melepaskan
tangannya dari sana. Dia semakin mempercepat permainannya hingga Liza mengerang
keras menandakan dia telah mencapai pelepasan pertamanya.
“Bagaimana, Eliza sayang? Kau menyukainya, honey..?”
Dengan malu-malu, Liza mengangguk lalu menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya. Piter tersenyum dan menyingkirkan tangan yang menutupi
wajah wanita yang dicintainya itu.
“Eliza, sayang.. Jangan kau tutupi wajahmu lagi. Aku ingin
melihat wajahmu saat menyatukan tubuh kita. Aku ingin melihat bagaimana aku
menyakitimu saat tubuhku mulai memasukimu. Aku ingin melihat wajah terangsangmu
saat kau mulai bisa menikmati penyatuan kita”
Piter mengarahkan kejantanannya pada daerah kemaluan Liza
dengan perlahan-lahan hingga setengah kejantanannya mulai memenuhi tubuh Liza.
Wanita ini mengerutkan dahinya, menahan rasa sakit yang mengoyak bagian dalam
tubuhnya. Saat Piter menghujamkan kejantanannya lebih dalam lagi, Liza
menegang, tubuhnya kaku menahan kesakitan yang tak tertahankan. Dia menutupi
mulutnya, mencegah teriakan kesakitan yang memaksa keluar saat Piter bergerak
semakin kencang diatas tubuhnya.
“Oh, Eliza, honey..
Kau begitu sempit.. Ah.. Kemari, baby..” Piter memeluk tubuh Liza,
mengangkatnya dalam pangkuannya masih dengan tubuh yang terhubung. Piter
menciumi bibir Liza tanpa henti sembari tubuhnya menghujam dengan kencang liang
senggama Liza. Memeluk erat tubuh wanita ini, menahan tubuh Liza yang
terguncang karena mencapai klimaksnya lagi.
“Oh..Eliza..Eliza..Eliza..oh baby..baby..ohh..Aku tak akan
bertahan lebih lama lagi. Aku harus keluar baby.. Aku tak ingin menyakitimu..
Aku akan keluar didalam tubuhmu.. Aku tak tahan lagi Eliza..” dan Piter pun
meneriakan nama Eliza.. Eliza.. Eliza.. berulang-ulang.
Nafasnya terengah-engah, keringat membanjiri tubuh mereka.
Piter memejamkan matanya, merasakan tubuhnya mulai rileks setelah pelepasan
yang sungguh luar biasa. Volcano Erupted..
Liza merasa tubuhnya lemas, tangan dan kakinya gemetar meski
dia tak bergerak. Seluruh tubuhnya terguncang oleh klimaks yang menyerangnya
bertubi-tubi. Piter memberikannya pengalaman sekali seumur hidup, kehilangan
keperawanan yang paling membahagiakan di dunia.
Entah mengapa dia setuju melakukan hal ini dengan Piter,
cinta yang mereka rasakan mampukah bertahan? Mereka bahkan belum mengenal
terlalu jauh, demi Tuhan mereka bahkan baru kenal dua hari. Dua hari yang
singkat dan gairah seperti ini telah menguasai jiwa mereka. Seolah mereka
ditakdirkan untuk berpasangan selamanya.
Piter berbaring disamping tubuh Liza, memutar-mutar jari
tangannya di atas dada Liza. Matanya menatap ragu pada wanita ini.
“Apakah.. kau menyesal, Eliza..?”
Liza menoleh pada Piter yang sedang menatapnya tanpa kedip.
“Aku tak tahu, Piter. Mungkin sedikit.. Aku.. entahlah.
Semuanya begitu cepat. Aku bahkan tak tahu bila cinta bisa tumbuh secepat ini.
Bayangkan, kita baru mengenal selama dua hari..dan.. kita sudah telanjang seperti
ini. Aku berharap kau tidak menganggap aku perempuan murahan karena bersedia
menyerah secepat ini padamu”
“Eliza.. Aku ingin marah padamu, kenapa kau berkata seperti
itu? Jangan merendahkan perasaan yang kita miliki ini hanya karena kita baru
saja berkenalan. Dan aku tak pernah menganggapmu perempuan murahan. Kau adalah
wanita paling berharga dalam hidupku setelah ibuku. Berikanlah sedikit rasa
percayamu padaku, pada hubungan kita ini. Aku akan berusaha membuatnya baik
untukmu, aku berjanji semua akan membaik” Piter mengecup tangan Liza yang
sedang digenggamnya.
“Maafkan aku.. Aku juga berjanji, akan berusaha membuat
hubungan ini berjalan dengan baik”
“Oh Elizaku.. kemarilah..” Piter merengkuh tubuh Liza dalam
pelukannya. Mereka kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan mandi bersama,
membersihkan tubuh mereka dari sisa-sisa percintaan panas di atas ranjang yang
berlanjut dalam kamar mandi sempit itu.
~~~~
No comments:
Post a Comment