Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 8



Seharian Piter sibuk di dalam kantornya, menghubungi beberapa orang dan kenalan detektifnya, polisi, mitra dalam pemerintahan dan akhirnya dia menemukan sedikit titik terang pada kasus ayahnya. Piter akhirnya mengetahui kenyataan yang menghantamnya, ayahnya memang pernah meminta bantuan orang dalam pemerintahan untuk membuatkannya izin menikah untuk kedua kalinya. Ayahnya membayar cukup besar untuk mendapatkan izin itu, sayangnya Piter belum mengetahui siapa wanita yang akan dinikahi ayahnya.

Piter memutar otaknya mencari segala cara untuk mengetahui kejadian enam belas tahun yang lalu, saat itu dia masih berusia tiga belas tahun, Piter tidak merasa ada yang berubah dari ayahnya sedikit pun. Dari tanggal yang tercantum pada formulir itu, Piter mencari tahu dimana keberadaan ayahnya saat itu. Sayangnya data-data yang ada didalam perusahaan tidak mencatat laporan untuk enam belas tahun yang lalu. Piter menemui jalan buntu. Lalu dia terpikir untuk menelephone kepala bagian keuangan perusahaannya dan meminta laki-laki tua itu untuk menemuinya.


Pak Yanto sudah bekerja di perusahaan itu selama dua puluh tahun, meski dia baru menjabat sebagai kepala bagian keuangan perusahaan semenjak lima tahun yang lalu, namun dia mengetahui dengan detail letak laporan-laporan yang diperlukan Piter.

“Inikah semua?” tanya Piter pada Pak Yanto yang baru saja membawa tiga buah buku tebal berisi laporan keuangan untuk tahun yang Piter maksud. Laki-laki tua itu mengangguk dan menjawab dengan patuh.

“Ya, benar Mr. Piter, itu sudah semuanya” jawab Pak Yanto.

“Baik, kau boleh keluar” perintah Piter. Laki-laki tua itupun segera keluar dari ruangan Piter dan menutup pintu dibelakangnya, sedikitpun dia tidak curiga mengenai perintah bossnya itu.

Piter membuka-buka buku tebal yang mulai rapuh itu dengan hati-hati, matanya dengan awas mencari tanggal yang dimaksud, tanggal dimana ayahnya menandatangani surat perkawinan itu. Namun tidak banyak yang dapat diketahuinya, saat itu ayahnya sedang berada di Jakarta. Namun matanya kemudian tertarik pada pengeluaran-pengeluaran kecil yang tidak mencolok, namun sangat mencolok bagi mata Piter. Karena tidak biasanya pengambilan uang kecil itu tercatat dalam buku laporan bila memang bukan untuk urusan perusahaan.

Urusan perusahaan memiliki anggaran terpisah dan jumlahnya tidak sedikit. Angka-angka yang dibacanya tidak sesuai dengan pengeluaran yang biasa dihabiskan untuk administrasi perusahaan, angka ini terlalu kecil untuk pengeluaran perusahaan sebesar Van Der Wilhem.

Kenyataan lain menghantam Piter, pengeluaran seperti itu telah dimulai sejak enam bulan terakhir, sejumlah uang dengan nilai yang sama dikirimkan ke dua buah rekening yang tidak disebutkan nama pemiliknya. Jumlah uang yang cukup untuk menghidupi sebuah keluarga kecil. Piter tidak ingin serta merta berasumsi, namun kenyataan itu menggelitik keingin tahuannya.

“Bisakah aku mencari tahu nama pemilik rekening bank ini? Tapi data-data ini belum tentu akurat dan.. ini sudah enam belas tahun yang lalu. Perusahaan terbesar sekalipun tidak akan memiliki data selama itu dalam system komputernya. Mereka akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dan belum tentu mendapat hasil. Tapi aku tidak memiliki cara lain, aku harus mengejar informasi ini” Piter berbicara pada dirinya sendiri, memikirkan cara lain yang tidak ditemukannya. Hanya inilah cara satu-satu yang bisa terpikir olehnya untuk mengetahui kemana ayahnya mengirimkan uang tersebut.

Piter menelusuri lagi laporan itu namun tidak menemukan hal-hal mencurigakan lain. Pengeluaran aneh itu hanya terjadi selama enam bulan berturut-turut dan menghilang pada bulan ke tujuh, sama sekali tidak berbekas. Laporan kembali seperti semula. Piter akhirnya menggaris bawahi bulan-bulan itu dan meneliti lebih banyak data-data perusahaan yang bisa ditemukannya.

Selain itu, Piter mulai mendekati beberapa pegawai perusahaan yang telah bekerja selama puluhan tahun di perusahaannya. Dia ingin mencari tahu hal-hal yang tidak diketahuinya mengenai kebiasaan ayahnya yang berbeda dari yang biasa ditunjukannya di depan keluarganya.

Namun, hari ini Piter cukup dengan permainan detektifnya, dia memiliki bertumpuk-tumpuk pekerjaan yang harus diurusinya. Piter menghela nafasnya, merasa semangat hidupnya mulai berkurang. Kenyataan yang kini diketahuinya ternyata mampu merubah cara pandangnya terhadap kehidupan. Sesempurna apapun manusia, dia tetap memiliki sisi buruk dalam hidupnya, hanya seberapa pintarkah dia untuk menyembunyikan hal itu.

Piter mengambil handphonenya, melihat-lihat kembali foto-foto di dalamnya. Foto-foto yang diambilnya saat berduaan dengan Liza. Foto saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran lesehan yang baru saja dibuka, foto saat mereka bermain video game di dalam apartemen, foto mereka sedang berpelukan, foto mereka sedang berciuman yang sengaja diambil Piter untuk mengobati rindunya pada Liza, bahkan foto saat mereka sedang berpelukan di atas ranjang. Liza tidak mengetahui foto ini, dia sedang terlelap dalam pelukan Piter. Senyum menghiasi wajah Piter saat menatap foto itu, hatinya dipenuhi dengan cinta, dia merindukan kekasih hatinya.

“Aku rindu padamu, Eliza..”

Piter mengirimkan pesan itu untuk Liza. Dia tahu Liza tidak akan menjawabnya seketika, wanitanya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak sempat memperhatikan handphonenya. Benar saja, baru dua jam kemudianlah Liza menjawab pesan yang dikirimkan Piter, laki-laki ini tersenyum membaca balasan pesannya.

“Benarkah? Karena aku juga merindukanmu. ^__^”

“Aku akan pulang agak malam, kau tidurlah lebih dulu. Aku akan menyusul. Lv. P.V” Piter memasukan handphonenya kedalam sakunya.

Dia berjalan keluar dari kantornya dan menemui klien yang telah menunggu di ruang meeting.

~~~~

Piter melangkahkan kakinya dengan perlahan ke dalam apartemen, hanya lampu redup yang bersinar menerangi ruang tamu apartemen mereka. Piter mengendurkan dasinya, mengambil segelas air dingin dan menegaknya sekali teguk. Setelah menyampirkan jasnya, Piter membuka pintu kamar mereka, sebuah gundukan selimut terlihat samar-samar di atas ranjang, Piter tersenyum, menyadari sosok yang bergelung di dalam selimut itu.

Piter kemudian masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya sebelum masuk ke dalam selimut. Dia memeluk tubuh Liza dari belakang dan mencium lembut rambut kekasihnya.

“Kau sudah tidur?” bisik Piter.

“Belum.. Aku menunggumu” Liza menjawab dengan setengah mengantuk, dia memang menunggu Piter namun matanya tidak bisa diajak berkompromi. Sudah pukul dua belas malam ketika Liza mendengar pintu apartemennya dibuka. Dia tahu itu Piter karena laki-laki itu tak bersuara saat menginjakan kakinya di atas lantai. Kemudian akan terdengar suara pintu kulkas dibuka, Piter akan meminum segelas air putih sebelum membersihkan tubuhnya di kamar mandi.

“Terimakasih karena menungguku, sekarang beristirahatlah. Kau terlihat kelelahan” Piter menciumi leher Liza dan menghembuskan nafas hangatnya pada kulit jenjang leher wanita itu.

Liza tahu apa yang diinginkan Piter, tapi laki-laki itu menahannya, dia tidak ingin membangunkan Liza hanya karena ingin memuaskan gairah laki-lakinya. Liza dapat merasakan tumbukan kejantanan Piter yang telah mengeras dipunggungnya. Laki-laki ini membutuhkannya.

“Jangan kau pikirkan, Eliza.. Aku masih bisa bertahan” Piter tertawa miris menyadari ereksinya yang semakin membengkak. Kini kejantanannya telah berdiri tegak dan terasa sangat menyakitkan.

Liza tersenyum kecil, dia tidak ingin menyiksa Piter, dia mencintai laki-laki ini dan Liza ingin membahagiakannya. Tangan Liza perlahan-lahan merayap dibalik punggungnya, mencari letak tumbukan ereksi Piter yang semakin mengeras. Piter mengerang tertahan saat genggaman tangan Liza telah menguasai ereksinya. Tangan Liza bergerak mengelus kejantanan Piter tanpa ampun. Kini tangan Liza telah berada dibalik celana dalam Piter, telapak tangan bertemu dengan ereksi yang basah dan mengeras. Nafas Piter memburu, dia memeluk dengan erat tubuh kekasihnya saat Liza masih sibuk dengan permainan tangannya.

Liza kemudian memutar tubuhnya, kini tatapan mata mereka beradu. Liza menindih tubuh Piter dan menduduki selangkangannya. Piter tak berdaya dibawahnya, mulutnya membuka hendak berbicara namun tidak menemukan kata-kata yang ingin diucapkannya. Lalu Liza bergerak diatas pangkuan Piter, maju mundur diatas ereksinya, menggesekan kemaluannya yang terbungkus celana pendek halus dan menyebarkan kenikmatan penuh pada kejantanan Piter.

Laki-laki ini memejamkan matanya, kemudian mendesah. Tangan mereka saling bertautan, desahan Piter kini disahut juga oleh desahan yang keluar dari mulut Liza, mereka sama-sama menikmati efek dari gesekan tubuh tersensitif mereka. Piter mengerang terlebih dulu, kejantanannya menyemprotkan cairan kenikmatannya dan membasahi selangkangan Liza. Kemudian Liza bergetar diatasnya, mendesah nikmat dan menyebut nama Piter. Lalu dia ambruk dalam pelukan kekasihnya.

“Aku tidak tahu bila hanya seperti itu kita bisa merasakan kenikmatan ini, Piter..” desah Liza saat nafas mereka mulai teratur.

Piter tersenyum senang, dia mengecup bibir Liza dan memeluk erat tubuh kekasihnya itu.

“Banyak hal yang bisa membuat kita senang tanpa perlu penetrasi Eliza.. Dan mungkin kita bisa sesekali mencobanya. Sebagai selingan..” Piter tersenyum menggoda, membayangkan saat-saat erotis itu tiba.

Mereka tertawa bersama, kemudian Liza mengambil tissue untuk membersihkan tubuh mereka.

“Kau sungguh berantakan, Piter.. Basah dimana-mana..” Liza membersihkan dada telanjang Piter dan pakaian mereka. Sebagian kecil cairan Piter jatuh di atas seprai namun tak ada yang perduli. Mereka kemudian tidur saling berpelukan hingga matahari menyingsing esok pagi.

~~~~

“Selamat pagi, Eliza sayang..” Piter mengecup bibir Liza yang baru saja terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Mereka masih berpelukan, Liza tersenyum manja pada kekasihnya.

“Ehm.. Pagi.. Piter..” jawab Liza masih terlihat mengantuk.

Piter tertawa ringan, lalu mengangkat tubuh Liza diatas tubuhnya, mereka saling berhadap-hadapan.

“Mengapa kau begitu cantik pagi ini, Eliza? Mau menggodaku kah?”

Liza mengerucutkan bibirnya dengan cemberut, sudah menjadi kebiasaan Piter untuk menggodanya setiap pagi bila menginap di apartemen mereka.

“Kaulah yang menggodaku, Pit..” Liza menguncupkan jarinya pada mulut Piter, menggoda bibir sensual itu dengan tangannya.

Liza dapat melihat Piter tersenyum hanya dari matanya, mata biru cerah yang sama dengan warna matanya. Mata laki-laki yang dicintainya. “Sudahkah aku bilang betapa aku mencintaimu, Volcano-ku? Aku ingin kau melimpahkan diriku dengan lahar cintamu.. setiap hari..” Liza mencium bibir kekasihnya lalu mereka bercinta dengan penuh gairah yang diwarnai dengan desah nafas dan lenguhan kenikmatan sepasang insan itu. Sekali lagi Volcano menyemburkan larva panasnya ke dalam ceruk sungai pujaan hatinya.

“Eliza.. I’ll make you a baby.. I’ll make us a baby, Darling..” kata-kata yang dibisikan Piter pada telinganya mengalun merdu dan mengantarkan mereka ke dalam lembah pelepasan yang abadi.

~~~~

Piter menginjakan kakinya di teras sebuah rumah kecil yang terletak di tengah-tengah perumahan penduduk yang berderet dengan teratur dalam sebuah perumahan kecil di sudut kota Jakarta. Perumahan itu terdiri dari lima puluh rumah-rumah yang sama persis, hanya saja karena dibangun hampir tiga puluh tahun yang lalu, kini rumah-rumah itu mulai menampakkan usianya.

Ada beberapa rumah yang telah direnovasi dan dirubah menjadi rumah bertingkat yang sangat penuh karena tak ada sedikit pun halaman yang terbuka pada rumah itu, ada pula rumah yang masih berdiri sama seperti arsitektur awalnya tiga puluh tahun lalu. Rumah-rumah ini adalah milik penduduk pendatang yang telah tiba di Jakarta berpuluh-puluh tahun yang lalu yang pada saat itu mendapatkan bantuan kredit dari Bank Tabungan Negara untuk memiliki rumah-rumah sederhana kala itu.

Piter datang kesini untuk mengunjungi salah satu rumah dimana orang yang dia cari tinggal. Orang yang pernah menjadi sosok yang paling dekat dengan ayahnya dan mungkin menyimpan banyak rahasia yang tidak semua orang ketahui, yang akan dibongkarnya.

“Permisi..” panggil Piter setelah masuk ke dalam halaman rumah kecil yang asri itu. Pintu pagarnya tidak tertutup sehingga Piter memberanikan diri untuk masuk ke dalam.

Seorang wanita separuh baya keluar dari dalam rumah, wajahnya yang mulai mengeriput ditempeli koyo dikedua sisi keningnya dan mengenakan daster yang biasa dipakai ibu-ibu kebanyakan, memandang Piter dengan ekspresi kebingungan.

“Iya, nyari siapa, ya?” tanya si ibu pada Piter.

“Maaf, bu saya ingin mencari Pak Karso. Apakah beliau ada dirumah? Saya ingin menanyakan sesuatu pada beliau. Saya Piter, anak dari pemilik tempat dimana Pak Karso dulu bekerja sebelum beliau pensiun” jawab Piter dengan sopan.

Ibu itu langsung tersenyum, nampaknya keluarga Pak Karso ini memiliki pengalaman yang cukup baik dengan perusahaan dimana Pak Karso bekerja.

“Oh, iya.. Ada.. ada.. bapak ada. Mari.. silahkan duduk dulu, duh.. maaf rumahnya sempit, belum sempat bersih-bersih.. Harap maklum ya. Sebentar saya panggilkan bapak” lalu ibu itu masuk ke dalam rumahnya setelah mempersilahkan tamunya untuk duduk.

Piter mengambil tempat di kursi samping pepohonan yang asri, suasana rumah itu cukup teduh karena banyaknya pepohonan yang ditanam di halaman depan. Pohon mangga yang rindang dengan buahnya yang bergelayutan lebat menggoda, serta beberapa pohon perindang yang tidak diketahui Piter namanya, dia bukan ahli tumbuh-tumbuhan tentu saja.

Seorang laki-laki tua dengan tubuh gemuk dan rambut dikepalanya yang hampir memutih sempurna keluar dari dalam rumah sederhana itu. Dia menatap tamunya dengan bingung lalu menyadari siapa yang sedang duduk dikursi kayu ruang tamu rumahnya.

“Mr. Piter.. Wah, sungguh suatu kehormatan anda datang kemari. Mari masuk ke dalam saja, didalam ada kipas angin” Pak Karso membungkuk memberi hormat pada bekas bossnya itu.

Dengan ramah Piter menolak tawaran Pak Karso, dia lebih senang duduk disamping pepohonan yang meniupkan angin sepoi-sepoi yang menyejukan ini.

“Tidak usah, Pak Karso. Disini saja, sejuk” kata Piter.

Lalu Pak Karso mengambil tempat disamping Piter, wajahnya menunjukan kebingungan akan apa yang diinginkan Piter berkunjung kerumahnya.

“Ada apa ya, Mr. Piter?” tanya Pak Karso.

“Ehm.. Begini Pak, saya langsung saja. Saya kesini ingin bertanya kepada bapak mengenai peristiwa yang telah terjadi sekitar enam belas tahun lalu, mungkin bapak sudah tidak terlalu ingat lagi, tapi mungkin juga.. bapak masih mengingatnya. Seperti kita ketahui bersama, bapak telah bekerja sebagai sopir pribadi ayah saya sejak perusahaan pertama kali didirikan. Bapak pastinya mengetahui dengan pasti apa saja yang biasa dilakukan oleh ayah saya dan atau hal-hal lain yang hanya bapak dan ayah saya ketahui” Piter menatap mata Pak Karso saat berbicara, mengamati ekspresi laki-laki tua itu dengan seksama.

“Iya, benar Mr. Piter..” jawab Pak Karso.

“Jadi.. bisakah saya meminta bantuan bapak dengan menjawab sejujur-jujurnya apa saja yang akan saya tanyakan sebentar lagi?” ada nada ketegasan dalam suara Piter yang tidak mungkin dibantah Pak Karso.

Pak Karso tahu bagaimana Piter bisa dengan kasar meminta informasi darinya bila dia ingin, tapi Piter tidak terbiasa melakukan kekerasan bila dia belum mencoba dengan jalan terhalus. Bila cara ini tidak berhasil, barulah Piter akan melakukan cara kedua untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dan Pak Karso tidak memiliki kesempatan untuk lolos, ataupun berbohong. 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...