Seharian Piter sibuk di dalam kantornya, menghubungi beberapa
orang dan kenalan detektifnya, polisi, mitra dalam pemerintahan dan akhirnya
dia menemukan sedikit titik terang pada kasus ayahnya. Piter akhirnya
mengetahui kenyataan yang menghantamnya, ayahnya memang pernah meminta bantuan
orang dalam pemerintahan untuk membuatkannya izin menikah untuk kedua kalinya.
Ayahnya membayar cukup besar untuk mendapatkan izin itu, sayangnya Piter belum
mengetahui siapa wanita yang akan dinikahi ayahnya.
Piter memutar otaknya mencari segala cara untuk mengetahui
kejadian enam belas tahun yang lalu, saat itu dia masih berusia tiga belas
tahun, Piter tidak merasa ada yang berubah dari ayahnya sedikit pun. Dari
tanggal yang tercantum pada formulir itu, Piter mencari tahu dimana keberadaan
ayahnya saat itu. Sayangnya data-data yang ada didalam perusahaan tidak
mencatat laporan untuk enam belas tahun yang lalu. Piter menemui jalan buntu.
Lalu dia terpikir untuk menelephone kepala bagian keuangan perusahaannya dan
meminta laki-laki tua itu untuk menemuinya.
Pak Yanto sudah bekerja di perusahaan itu selama dua puluh
tahun, meski dia baru menjabat sebagai kepala bagian keuangan perusahaan semenjak
lima tahun yang lalu, namun dia mengetahui dengan detail letak laporan-laporan
yang diperlukan Piter.
“Inikah semua?” tanya Piter pada Pak Yanto yang baru saja
membawa tiga buah buku tebal berisi laporan keuangan untuk tahun yang Piter
maksud. Laki-laki tua itu mengangguk dan menjawab dengan patuh.
“Ya, benar Mr. Piter, itu sudah semuanya” jawab Pak Yanto.
“Baik, kau boleh keluar” perintah Piter. Laki-laki tua itupun
segera keluar dari ruangan Piter dan menutup pintu dibelakangnya, sedikitpun
dia tidak curiga mengenai perintah bossnya itu.
Piter membuka-buka buku tebal yang mulai rapuh itu dengan
hati-hati, matanya dengan awas mencari tanggal yang dimaksud, tanggal dimana
ayahnya menandatangani surat perkawinan itu. Namun tidak banyak yang dapat diketahuinya,
saat itu ayahnya sedang berada di Jakarta. Namun matanya kemudian tertarik pada
pengeluaran-pengeluaran kecil yang tidak mencolok, namun sangat mencolok bagi
mata Piter. Karena tidak biasanya pengambilan uang kecil itu tercatat dalam
buku laporan bila memang bukan untuk urusan perusahaan.
Urusan perusahaan memiliki anggaran terpisah dan jumlahnya
tidak sedikit. Angka-angka yang dibacanya tidak sesuai dengan pengeluaran yang
biasa dihabiskan untuk administrasi perusahaan, angka ini terlalu kecil untuk
pengeluaran perusahaan sebesar Van Der Wilhem.
Kenyataan lain menghantam Piter, pengeluaran seperti itu
telah dimulai sejak enam bulan terakhir, sejumlah uang dengan nilai yang sama
dikirimkan ke dua buah rekening yang tidak disebutkan nama pemiliknya. Jumlah
uang yang cukup untuk menghidupi sebuah keluarga kecil. Piter tidak ingin serta
merta berasumsi, namun kenyataan itu menggelitik keingin tahuannya.
“Bisakah aku mencari tahu nama pemilik rekening bank ini?
Tapi data-data ini belum tentu akurat dan.. ini sudah enam belas tahun yang
lalu. Perusahaan terbesar sekalipun tidak akan memiliki data selama itu dalam
system komputernya. Mereka akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Dan belum
tentu mendapat hasil. Tapi aku tidak memiliki cara lain, aku harus mengejar
informasi ini” Piter berbicara pada dirinya sendiri, memikirkan cara lain yang
tidak ditemukannya. Hanya inilah cara satu-satu yang bisa terpikir olehnya
untuk mengetahui kemana ayahnya mengirimkan uang tersebut.
Piter menelusuri lagi laporan itu namun tidak menemukan
hal-hal mencurigakan lain. Pengeluaran aneh itu hanya terjadi selama enam bulan
berturut-turut dan menghilang pada bulan ke tujuh, sama sekali tidak berbekas.
Laporan kembali seperti semula. Piter akhirnya menggaris bawahi bulan-bulan itu
dan meneliti lebih banyak data-data perusahaan yang bisa ditemukannya.
Selain itu, Piter mulai mendekati beberapa pegawai perusahaan
yang telah bekerja selama puluhan tahun di perusahaannya. Dia ingin mencari
tahu hal-hal yang tidak diketahuinya mengenai kebiasaan ayahnya yang berbeda
dari yang biasa ditunjukannya di depan keluarganya.
Namun, hari ini Piter cukup dengan permainan detektifnya, dia
memiliki bertumpuk-tumpuk pekerjaan yang harus diurusinya. Piter menghela
nafasnya, merasa semangat hidupnya mulai berkurang. Kenyataan yang kini
diketahuinya ternyata mampu merubah cara pandangnya terhadap kehidupan.
Sesempurna apapun manusia, dia tetap memiliki sisi buruk dalam hidupnya, hanya
seberapa pintarkah dia untuk menyembunyikan hal itu.
Piter mengambil handphonenya, melihat-lihat kembali foto-foto
di dalamnya. Foto-foto yang diambilnya saat berduaan dengan Liza. Foto saat
mereka sedang makan malam di sebuah restoran lesehan yang baru saja dibuka,
foto saat mereka bermain video game di dalam apartemen, foto mereka sedang
berpelukan, foto mereka sedang berciuman yang sengaja diambil Piter untuk
mengobati rindunya pada Liza, bahkan foto saat mereka sedang berpelukan di atas
ranjang. Liza tidak mengetahui foto ini, dia sedang terlelap dalam pelukan
Piter. Senyum menghiasi wajah Piter saat menatap foto itu, hatinya dipenuhi
dengan cinta, dia merindukan kekasih hatinya.
“Aku rindu padamu,
Eliza..”
Piter mengirimkan pesan itu untuk Liza. Dia tahu Liza tidak
akan menjawabnya seketika, wanitanya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Dia
tidak sempat memperhatikan handphonenya. Benar saja, baru dua jam kemudianlah
Liza menjawab pesan yang dikirimkan Piter, laki-laki ini tersenyum membaca
balasan pesannya.
“Benarkah? Karena
aku juga merindukanmu. ^__^”
“Aku akan pulang
agak malam, kau tidurlah lebih dulu. Aku akan menyusul. Lv. P.V” Piter memasukan handphonenya kedalam sakunya.
Dia berjalan keluar dari kantornya dan menemui klien yang
telah menunggu di ruang meeting.
~~~~
Piter melangkahkan kakinya dengan perlahan ke dalam
apartemen, hanya lampu redup yang bersinar menerangi ruang tamu apartemen
mereka. Piter mengendurkan dasinya, mengambil segelas air dingin dan menegaknya
sekali teguk. Setelah menyampirkan jasnya, Piter membuka pintu kamar mereka,
sebuah gundukan selimut terlihat samar-samar di atas ranjang, Piter tersenyum,
menyadari sosok yang bergelung di dalam selimut itu.
Piter kemudian masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya
sebelum masuk ke dalam selimut. Dia memeluk tubuh Liza dari belakang dan
mencium lembut rambut kekasihnya.
“Kau sudah tidur?” bisik Piter.
“Belum.. Aku menunggumu” Liza menjawab dengan setengah
mengantuk, dia memang menunggu Piter namun matanya tidak bisa diajak
berkompromi. Sudah pukul dua belas malam ketika Liza mendengar pintu
apartemennya dibuka. Dia tahu itu Piter karena laki-laki itu tak bersuara saat
menginjakan kakinya di atas lantai. Kemudian akan terdengar suara pintu kulkas
dibuka, Piter akan meminum segelas air putih sebelum membersihkan tubuhnya di
kamar mandi.
“Terimakasih karena menungguku, sekarang beristirahatlah. Kau
terlihat kelelahan” Piter menciumi leher Liza dan menghembuskan nafas hangatnya
pada kulit jenjang leher wanita itu.
Liza tahu apa yang diinginkan Piter, tapi laki-laki itu
menahannya, dia tidak ingin membangunkan Liza hanya karena ingin memuaskan
gairah laki-lakinya. Liza dapat merasakan tumbukan kejantanan Piter yang telah
mengeras dipunggungnya. Laki-laki ini membutuhkannya.
“Jangan kau pikirkan, Eliza.. Aku masih bisa bertahan” Piter
tertawa miris menyadari ereksinya yang semakin membengkak. Kini kejantanannya
telah berdiri tegak dan terasa sangat menyakitkan.
Liza tersenyum kecil, dia tidak ingin menyiksa Piter, dia
mencintai laki-laki ini dan Liza ingin membahagiakannya. Tangan Liza
perlahan-lahan merayap dibalik punggungnya, mencari letak tumbukan ereksi Piter
yang semakin mengeras. Piter mengerang tertahan saat genggaman tangan Liza
telah menguasai ereksinya. Tangan Liza bergerak mengelus kejantanan Piter tanpa
ampun. Kini tangan Liza telah berada dibalik celana dalam Piter, telapak tangan
bertemu dengan ereksi yang basah dan mengeras. Nafas Piter memburu, dia memeluk
dengan erat tubuh kekasihnya saat Liza masih sibuk dengan permainan tangannya.
Liza kemudian memutar tubuhnya, kini tatapan mata mereka
beradu. Liza menindih tubuh Piter dan menduduki selangkangannya. Piter tak
berdaya dibawahnya, mulutnya membuka hendak berbicara namun tidak menemukan
kata-kata yang ingin diucapkannya. Lalu Liza bergerak diatas pangkuan Piter,
maju mundur diatas ereksinya, menggesekan kemaluannya yang terbungkus celana
pendek halus dan menyebarkan kenikmatan penuh pada kejantanan Piter.
Laki-laki ini memejamkan matanya, kemudian mendesah. Tangan
mereka saling bertautan, desahan Piter kini disahut juga oleh desahan yang
keluar dari mulut Liza, mereka sama-sama menikmati efek dari gesekan tubuh
tersensitif mereka. Piter mengerang terlebih dulu, kejantanannya menyemprotkan
cairan kenikmatannya dan membasahi selangkangan Liza. Kemudian Liza bergetar
diatasnya, mendesah nikmat dan menyebut nama Piter. Lalu dia ambruk dalam
pelukan kekasihnya.
“Aku tidak tahu bila hanya seperti itu kita bisa merasakan
kenikmatan ini, Piter..” desah Liza saat nafas mereka mulai teratur.
Piter tersenyum senang, dia mengecup bibir Liza dan memeluk
erat tubuh kekasihnya itu.
“Banyak hal yang bisa membuat kita senang tanpa perlu
penetrasi Eliza.. Dan mungkin kita bisa sesekali mencobanya. Sebagai
selingan..” Piter tersenyum menggoda, membayangkan saat-saat erotis itu tiba.
Mereka tertawa bersama, kemudian Liza mengambil tissue untuk
membersihkan tubuh mereka.
“Kau sungguh berantakan, Piter.. Basah dimana-mana..” Liza
membersihkan dada telanjang Piter dan pakaian mereka. Sebagian kecil cairan
Piter jatuh di atas seprai namun tak ada yang perduli. Mereka kemudian tidur
saling berpelukan hingga matahari menyingsing esok pagi.
~~~~
“Selamat pagi, Eliza sayang..” Piter mengecup bibir Liza yang
baru saja terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Mereka masih berpelukan, Liza
tersenyum manja pada kekasihnya.
“Ehm.. Pagi.. Piter..” jawab Liza masih terlihat mengantuk.
Piter tertawa ringan, lalu mengangkat tubuh Liza diatas
tubuhnya, mereka saling berhadap-hadapan.
“Mengapa kau begitu cantik pagi ini, Eliza? Mau menggodaku
kah?”
Liza mengerucutkan bibirnya dengan cemberut, sudah menjadi
kebiasaan Piter untuk menggodanya setiap pagi bila menginap di apartemen
mereka.
“Kaulah yang menggodaku, Pit..” Liza menguncupkan jarinya
pada mulut Piter, menggoda bibir sensual itu dengan tangannya.
Liza dapat melihat Piter tersenyum hanya dari matanya, mata
biru cerah yang sama dengan warna matanya. Mata laki-laki yang dicintainya.
“Sudahkah aku bilang betapa aku mencintaimu, Volcano-ku? Aku ingin kau melimpahkan
diriku dengan lahar cintamu.. setiap hari..” Liza mencium bibir kekasihnya lalu
mereka bercinta dengan penuh gairah yang diwarnai dengan desah nafas dan
lenguhan kenikmatan sepasang insan itu. Sekali lagi Volcano menyemburkan larva
panasnya ke dalam ceruk sungai pujaan hatinya.
“Eliza.. I’ll make
you a baby.. I’ll make us a baby, Darling..” kata-kata yang dibisikan Piter pada telinganya mengalun merdu dan
mengantarkan mereka ke dalam lembah pelepasan yang abadi.
~~~~
Piter menginjakan kakinya di teras sebuah rumah kecil yang
terletak di tengah-tengah perumahan penduduk yang berderet dengan teratur dalam
sebuah perumahan kecil di sudut kota Jakarta. Perumahan itu terdiri dari lima
puluh rumah-rumah yang sama persis, hanya saja karena dibangun hampir tiga
puluh tahun yang lalu, kini rumah-rumah itu mulai menampakkan usianya.
Ada beberapa rumah yang telah direnovasi dan dirubah menjadi
rumah bertingkat yang sangat penuh karena tak ada sedikit pun halaman yang
terbuka pada rumah itu, ada pula rumah yang masih berdiri sama seperti
arsitektur awalnya tiga puluh tahun lalu. Rumah-rumah ini adalah milik penduduk
pendatang yang telah tiba di Jakarta berpuluh-puluh tahun yang lalu yang pada
saat itu mendapatkan bantuan kredit dari Bank Tabungan Negara untuk memiliki
rumah-rumah sederhana kala itu.
Piter datang kesini untuk mengunjungi salah satu rumah dimana
orang yang dia cari tinggal. Orang yang pernah menjadi sosok yang paling dekat
dengan ayahnya dan mungkin menyimpan banyak rahasia yang tidak semua orang
ketahui, yang akan dibongkarnya.
“Permisi..” panggil Piter setelah masuk ke dalam halaman
rumah kecil yang asri itu. Pintu pagarnya tidak tertutup sehingga Piter
memberanikan diri untuk masuk ke dalam.
Seorang wanita separuh baya keluar dari dalam rumah, wajahnya
yang mulai mengeriput ditempeli koyo dikedua sisi keningnya dan mengenakan
daster yang biasa dipakai ibu-ibu kebanyakan, memandang Piter dengan ekspresi
kebingungan.
“Iya, nyari siapa, ya?” tanya si ibu pada Piter.
“Maaf, bu saya ingin mencari Pak Karso. Apakah beliau ada
dirumah? Saya ingin menanyakan sesuatu pada beliau. Saya Piter, anak dari
pemilik tempat dimana Pak Karso dulu bekerja sebelum beliau pensiun” jawab
Piter dengan sopan.
Ibu itu langsung tersenyum, nampaknya keluarga Pak Karso ini
memiliki pengalaman yang cukup baik dengan perusahaan dimana Pak Karso bekerja.
“Oh, iya.. Ada.. ada.. bapak ada. Mari.. silahkan duduk dulu,
duh.. maaf rumahnya sempit, belum sempat bersih-bersih.. Harap maklum ya.
Sebentar saya panggilkan bapak” lalu ibu itu masuk ke dalam rumahnya setelah
mempersilahkan tamunya untuk duduk.
Piter mengambil tempat di kursi samping pepohonan yang asri,
suasana rumah itu cukup teduh karena banyaknya pepohonan yang ditanam di halaman
depan. Pohon mangga yang rindang dengan buahnya yang bergelayutan lebat
menggoda, serta beberapa pohon perindang yang tidak diketahui Piter namanya,
dia bukan ahli tumbuh-tumbuhan tentu saja.
Seorang laki-laki tua dengan tubuh gemuk dan rambut dikepalanya
yang hampir memutih sempurna keluar dari dalam rumah sederhana itu. Dia menatap
tamunya dengan bingung lalu menyadari siapa yang sedang duduk dikursi kayu
ruang tamu rumahnya.
“Mr. Piter.. Wah, sungguh suatu kehormatan anda datang
kemari. Mari masuk ke dalam saja, didalam ada kipas angin” Pak Karso membungkuk
memberi hormat pada bekas bossnya itu.
Dengan ramah Piter menolak tawaran Pak Karso, dia lebih
senang duduk disamping pepohonan yang meniupkan angin sepoi-sepoi yang
menyejukan ini.
“Tidak usah, Pak Karso. Disini saja, sejuk” kata Piter.
Lalu Pak Karso mengambil tempat disamping Piter, wajahnya
menunjukan kebingungan akan apa yang diinginkan Piter berkunjung kerumahnya.
“Ada apa ya, Mr. Piter?” tanya Pak Karso.
“Ehm.. Begini Pak, saya langsung saja. Saya kesini ingin
bertanya kepada bapak mengenai peristiwa yang telah terjadi sekitar enam belas
tahun lalu, mungkin bapak sudah tidak terlalu ingat lagi, tapi mungkin juga..
bapak masih mengingatnya. Seperti kita ketahui bersama, bapak telah bekerja
sebagai sopir pribadi ayah saya sejak perusahaan pertama kali didirikan. Bapak
pastinya mengetahui dengan pasti apa saja yang biasa dilakukan oleh ayah saya
dan atau hal-hal lain yang hanya bapak dan ayah saya ketahui” Piter menatap
mata Pak Karso saat berbicara, mengamati ekspresi laki-laki tua itu dengan
seksama.
“Iya, benar Mr. Piter..” jawab Pak Karso.
“Jadi.. bisakah saya meminta bantuan bapak dengan menjawab
sejujur-jujurnya apa saja yang akan saya tanyakan sebentar lagi?” ada nada
ketegasan dalam suara Piter yang tidak mungkin dibantah Pak Karso.
Pak Karso tahu bagaimana Piter bisa
dengan kasar meminta informasi darinya bila dia ingin, tapi Piter tidak
terbiasa melakukan kekerasan bila dia belum mencoba dengan jalan terhalus. Bila
cara ini tidak berhasil, barulah Piter akan melakukan cara kedua untuk
mendapatkan apapun yang dia inginkan. Dan Pak Karso tidak memiliki kesempatan
untuk lolos, ataupun berbohong.
No comments:
Post a Comment