Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 3



“Anda tidak usah menungguiku disini, tuan Piter. Aku berjanji tidak akan kabur dan datang tepat waktu malam nanti” senyum Liza padanya. Piter telah mengikutinya seharian, Liza heran laki-laki ini memiliki waktu sebanyak itu untuk menemaninya.

“Piter.. Panggil aku Piter. Aku rasa usia kita tidak berbeda jauh, anggaplah aku temanmu” Piter duduk disisi kiri Liza yang sedang menulis laporannya.

Sebentar lagi jam kerjanya akan selesai dan dia bisa pulang ke kamar kostnya dan beristirahat sejenak, sebelum menemui Piter disebuah rumah makan yang telah dipesannya untuk mereka. Liza tidak dapat menolak permintaan Piter yang memaksanya untuk menerima undangan makan malam itu. Laki-laki ini begitu kukuh dan tidak mau ditolak. Bahkan dia masih mengikuti Liza di pelataran parkir mall ini meskipun cuaca sangat panas. Tapi sedikitpun tak tersirat kelelahan pada wajah tampan itu. Senyum yang selalu terpasang pada wajahnya seolah puluhan makian sumpah serapah pun tak akan sanggup menghilangkan senyuman itu dari bibirnya.


Liza bisa saja menolak permintaan Piter untuk sebuah makan malam pengganti sebutir pain killer yang diberikannya pada laki-laki ini semalam. Namun, pesona seorang Piter begitu sulit untuk ditolaknya. Liza merasa nyaman berada disamping laki-laki ini, sesuatu dalam hatinya seolah telah mengenal Piter sebelum mereka bertemu. Seolah mereka memang ditakdirkan untuk bertabrakan malam kemarin.

“Aku akan mengantarkanmu ke rumahmu” Piter telah menunggui Liza di pintu keluar tenda panitia.

Laki-laki ini sedang bersandar di sebuah tiang papan reklame, bersedekap dan menyilangkan sebelah kakinya. Terlihat nyaman dengan posisi berdirinya. Liza tidak dapat mengalihkan matanya dari senyum laki-laki ini, senyum itu telah membiusnya, laki-laki ini telah memasuki pikirannya dan tak berencana untuk hengkang.

Haruskah Liza menerima kehadiran seorang laki-laki dalam hidupnya yang masih terombang-ambing? Baru beberapa tahun Liza akhirnya bisa berdiri sendiri, keluar dari panti asuhan di sebuah pedesaan terpencil, dimana yayasan departemen sosial mengirimnya. Panti asuhan kecil dimana dia dikucilkan karena warna matanya yang berbeda dari anak-anak lain. Bahkan penduduk desa setempat meski menyayanginya namun tak tergerak hati mereka untuk mengadopsinya.

Liza menghabiskan sepuluh tahun hidupnya di pedesaan, menyesali dirinya karena terlahir di dunia dengan keadaan seperti ini. Namun setelah Liza merantau ke ibukota dan bekerja serabutan hingga seorang teman berbaik hati kepadanya mengajaknya bekerja di sebuah perusahaan akomodasi, barulah kehidupan Liza mulai membaik. Dia mulai bisa menyisihkan sedikit demi sedikit gajinya untuk mewujudkan cita-citanya, membeli rumah yang dulu dia tinggali bersama ibunya kala ibunya masih hidup.

Rumah yang kini dipasangi reklame “DIJUAL” telah menumbuhkan kembali semangat hidupnya yang sempat hilang karena tidak memiliki tujuan. Tapi, apakah dengan menerima seseorang seperti Piter, Liza akan sanggup membagi perhatiannya?

Piter bukanlah laki-laki biasa dan Liza tahu hal itu. Pergaulannya selama enam tahun di Jakarta membentuknya menjadi seorang wanita yang mampu membedakan antara laki-laki player dan laki-laki baik-baik. Piter.. adalah kategori laki-laki pertama. Namun, laki-laki seperti itu tidak akan bersedia menghabiskan seharian waktunya untuk berpanas-panasan bersama Liza.

Keringat mengucur dibalik kaos polo abu-abu yang dikenakan Piter, kacamata rayban digelungkan dirambutnya yang basah oleh keringat. Wajah kemerahannya terbakar sinar matahari dan kakinya yang pasti pegal karena berjalan seharian mengikuti Liza seperti anak itik mengikuti induknya. Liza telah digoda oleh teman-temannya, bahwa Piter telah terpanah panah cupid dan tidak bisa lepas darinya lagi. Liza hanya tersenyum menanggapi komentar teman-temannya. Saat dia sedang bekerja dan Piter akan dengan setia menunggu di pinggir arena, memperhatikan gerak-gerik Liza dengan penuh kerinduan.

Liza akan mencuri pandang sekilas pada laki-laki ini. Tatapan mereka akan beradu, dan Liza dengan semburat merah diwajah akan memalingkan tatapannya dengan gugup ke arah lain, yang hanya semakin melebarkan senyum di bibir Piter.

“Aku tidak tinggal dirumah, aku kos di sebuah jalan gang kecil di dekat tempatku bekerja. Mobilmu tidak akan muat. Jadi aku akan menumpang bus kota saja. Kau tak usah khawatir, aku akan tiba tepat waktu pukul tujuh malam nanti” jawab Liza dengan tersenyum.

Laki-laki di depannya ini memiliki kepala sekeras batu, tidak secara harfiah. Isi kepalanya lah yang sekeras batu. Baru kali ini Liza menemukan laki-laki sekeras kepala Piter, yang tak sudi untuk ditolak, namun dengan cara yang menyenangkan.

“Sekarang sudah pukul lima sore, kau tak akan punya banyak waktu bila harus menunggu bus kota lagi disini. Aku bisa langsung mengantarkanmu. Ayo” Piter menggandeng tangan Liza dengan kuat tanpa memperdulikan rengekan wanita itu dan berjalan dengan kepala terangkat dan mulut bersiul. Dia sungguh merasa senang hari ini.

“Sudah, disini saja” kata Liza saat mobil Piter tak bisa lagi masuk lebih dalam di jalan sempit itu.

“Disini? Tapi mobilku tidak bisa masuk, dan tempat kostmu masih jauh di dalam, kan?” Piter memandang Liza tak percaya.

“Tuan Piter yang terhormat.. Aku bisa berjalan kaki, dan mobilmu mengganggu orang lain. Banyak yang sedang menunggumu dengan marah. Bila kau tidak segera pergi dari jalan ini, maka orang-orang ini akan mengamuk. Mereka terkadang bisa sangat gusar” Liza menggoda Piter dengan ancaman kecil itu sebelum membuka pintu mobil Piter.

“Eliza, kau mau kemana? Tapi kita belum sampai” teriak Piter pada Liza yang sudah turun dari mobil.

“Aku sudah sampai di kostku. Pergilah, kau membuat kemacetan yang tidak perlu” Liza membungkuk agar suaranya terdengar oleh Piter, mata awas laki-laki itu tanpa sengaja melihat dua buah tumbukan payudara Liza yang menyembul saat wanita itu membungkuk, nafasnya tercekat seketika.

“Erghh.. Eliza, tunggu aku disana. Lima menit lagi, aku akan kembali. Jangan pergi”

Setelah Liza menutup pintu mobil dengan bingung, Piter memacu mobilnya dengan kencang dan menghilang di tikungan. Liza yang kebingungan dengan pesan Piter hanya bisa bengong sebelum memutar tubuhnya masuk ke dalam gang kecil yang membawanya menuju kompleks kost-kostan yang cukup lebar.

Kamar Liza terletak diujung kanan kompleks, dengan teras terbuka yang memiliki sekat diantara masing-masing kamar. Di teras kamarnya Liza meletakan jemurannya yang telah kering dan tempat sepatunya. Beberapa buah ember dan alat-alat mencuci beserta keperluan bersih-bersih rumah lain seperti sabun pel, pembersih toilet, sapu dan sejenisnya.

Liza mengambil jemurannya yang mulai kering, beberapa celana dalam, bra, kaos singlet dan mini skirt yang biasa dia pakai saat tidur. Kamar itu tidak ber-AC sehingga Liza terpaksa tidur dengan baju seadanya agar terhindar dari panas ibukota yang mengerikan. Kipas angin kotak yang dibelinya setahun lalu kini tak mampu menghadirkan hawa sejuk karena kalah oleh cuaca lembab di malam hari.

Saat Liza hendak membuka kunci pintu kamarnya, Piter memanggil namanya. Laki-laki itu terlihat marah, wajahnya penuh keringat, merah dan ngos-ngosan. Nafasnya tersengal-sengal. Nampaknya dia telah berlari berpuluh-puluh meter untuk mencapai tempat ini.

“Eliza.. Kan aku sudah bilang.. kau.. menungguku disana..hh.. Aku bertanya-tanya didepan, untung mereka mengenalmu..hh... Ya, Tuhan, jantungku serasa mau copot. Panas sekali disini” keluh Piter sembari mengelap keringat di dahinya.

“Apa yang kau lakukan disini? Aku kira kau sudah pulang” Liza takjub dengan keberadaan Piter di depan kamarnya, lebih takjub lagi melihat laki-laki itu ngos-ngosan karena berlari mencarinya. Dia ingin tertawa namun tidak tega melihat wajah menderita Piter.

“Masuklah, eh.. maksudku.. duduklah disini. Aku akan mengambilkanmu air minum” Liza meletakan dengan sembarang jemurannya dilantai, menggeser tempat jemurannya untuk memberikan ruang bagi Piter duduk.

Piter duduk dan bersandar pada dinding. Dia kelelahan, kehausan dan berkeringat. Dia belum setua itu, berlari dua kilometer dari tempatnya memarkir mobil bukanlah apa-apa. Tapi menemukan Liza tak ada ditempat terakhir dia meninggalkannya memunculkan kekhawatiran dalam hati lemah Piter.

Dia telah berpikir yang bukan-bukan mengenai Liza. Piter membayangkan wanita itu diculik oleh gerombolan orang jahat, atau tersambar truk dan banyak pikiran buruk lain. Diperburuk dengan info yang tak banyak membantunya karena dia tak tahu dimana kost-kostan tempat Liza tinggal.

Penduduk disekitar memang berbaik hati mengarahkannya pada kompleks kost-kostan di dekat sini, namun ada lebih dari sepuluh kompleks kost-kostan di dekat sini dan kepala Piter hampir pecah meneliti satu per satu kompleks itu. Belum lagi melihat tatapan awas penduduk setempat yang merasa asing dengan sosok seorang blasteran Indo seperti dirinya. Wajah Piter lebih condong seperti orang bule, meski ayahnya juga seorang peranakan, namun ibunya memiliki darah peranakan yang sangat kental yang diwarisinya dengan baik. Tak akan ada yang sangsi bila Piter mengaku dirinya bule tulen.

“Ini.. Minumlah” Liza membawakannya segelas air dingin yang langsung ditenggaknya habis.

Kipas angin yang Liza gelar untuknya membantu menurunkan suhu tubuhnya yang meledak-ledak. Volcano hampir saja Erupts (meletus)

Liza tertawa geli disamping Piter, dia tersenyum-senyum kecil melihat Piter menyandarkan kepalanya di tembok penyekat kamar.

“Kenapa kau tertawa? Kau suka sekali tertawa melihatku kesusahan ya? Kau suka sekali menyusahkanku” Piter menengadah, namun sorot matanya teduh.

Dia senang sekali bisa berduaan seperti ini dengan Liza. Rencana makan malamnya telah dilupakannya, dia ingin berduaan saja dengan wanita ini. Menghabiskan waktu mengobrol hingga tidak ingin memikirkan apapun selain diri mereka.

Akhirnya mereka makan di kamar kost Liza. Liza membeli dua bungkus nasi goreng special di depan kostnya untuk mereka dan seporsi martabak sebagai cemilan mengobrol mereka. Liza juga menawarkan Piter untuk mandi di kamarnya yang diterima dengan senang hati oleh pria itu. Liza telah menyiapkan handuk bersih untuknya, namun dia tidak memiliki pakaian ganti. Piter tak berkata apa-apa, dia hanya tersenyum. Bisa berada dikamar Liza sudah teramat cukup baginya.

Dia tidak akan ingin mengetahui bila Liza memiliki pakaian pria, Piter akan berpikir Liza terbiasa mengajak laki-laki ke kamarnya, dan dia tak akan senang mengetahui hal itu.

Piter memakai pakaiannya kembali, tubuhnya kini lebih segar meski pakaian yang dipakainya memiliki aroma khas seorang Piter Volcano. Namun Liza tidak mengeluh, dia tidak merasa keberatan dengan aroma itu. Bahkan itulah aroma terseksi yang pernah dihirupnya. Liza tidak pernah sedekat ini dengan seorang pria, dia tak pernah mengundang laki-laki manapun kesini.

Bahkan Piter, dia mengundang dirinya sendiri. Memaksa Liza untuk menerimanya dalam kamar kosnya yang kecil. Mereka menonton televisi namun tak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh aktor yang berlaga dalam sinema di tivi. Mereka sibuk berbincang-bincang, membicarakan kehidupan mereka dan kesibukan mereka sehari-hari.

Dari perbincangan mereka Piter mengetahui tentang masa lalu Liza, bagaimana Liza bertahan hidup di Jakarta dan perjuangannya untuk hidup lebih baik agar kelak mampu mewujudkan cita-citanya. Liza merasa hatinya lega, Piter adalah pendengar yang baik, dia tidak pernah menyela atau memperbaiki ucapan-ucapan Liza.

Sesekali Piter akan menghapus air mata yang tak diundang yang turun dari mata cantik Liza saat menceritakan kisah hidupnya yang memilukan. Entah mengapa Liza merasa mampu mengutarakan semua kisah hidupnya pada seorang Piter yang baru dikenalnya sehari. Laki-laki ini.. Seolah Liza telah mengenalnya sebelum kehidupan ini.

Pukul sembilan malam, Piter dengan berat hati berpamitan pulang pada Liza. Langkah kakinya begitu berat untuk meninggalkan wanita itu, ingin rasanya pindah ke kamar kost disamping kamar Liza, hanya agar dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Sesampainya Piter di dalam mobilnya, dia membuka handphonenya, mengirimkan sebuah pesan singkat untuk Liza.

“Aku baru saja sampai di mobilku, namun rasanya hatiku tertinggal di dalam kamar kosmu, Eliza.. Sudikah kau menyimpankannya untukku? Hingga saat kita berjumpa lagi, aku akan memintanya kembali, bahkan akan jauh lebih baik bila kau menukarnya dengan hatimu. Lv. P.V”

Piter mencabut baterai handphonenya, tak ingin membaca apapun jawaban yang mungkin dikirimkan oleh Eliza untuknya. Dia belum siap menerima penolakan wanita itu. Ini tidak benar, perasaan yang dirasakannya bukanlah perasaan seorang pria yang baru saja mengenal wanita itu, rasanya telah beribu-ribu tahun dia mengenalnya.

Terasa begitu nyaman saat bersama Eliza, berbincang-bincang dengannya terasa begitu mudah, kata-kata yang mengalirpun tak pernah terpikir datangnya darimana. Meluncur deras seperti ada sepasang tangan lain yang memenuhi tungku-tungku percakapan mereka dengan yang baru. Mereka bisa berbincang seperti itu sepanjang malam, sepanjang hari bahkan mungkin sepanjang minggu. Tak pernah terasa begitu indah, hati seorang Volcano Erupted, meluah dengan perasan kasih sayang yang ingin dibaginya kepada Eliza.

Piter mengemudikan mobilnya dengan perlahan, pikirannya dipenuhi dengan percakapan mereka sebelumnya.

“Wanita yang malang, hidupnya begitu penuh dengan kekecewaan dan penolakan. Bahkan ibunya telah meninggalkannya di usia yang semuda itu. Dia tidak pernah menyinggung ayahnya, tidakkah dia punya seorang ayah?” Piter merenungi jawaban dari pertanyaannya, namun mobilnya telah sampai di depan pintu pagar rumahnya.

Dengan sebuah klakson, pintu itu otomatis terbuka, seorang tukang kebun kemudian menutup pintu dibelakangnya.

“Wah..wah.. Bepergian seharian Piter?” Nyonya Van Der Wilhem sedang menyesap segelas red wine ditangannya. Memandang penuh cinta pada anak sulungnya itu, calon pewaris tahta utama Van Der Wilhem.

Jari-jari tangannya gemerlapan dihiasi cincin emas dan berlian yang menyembunyikan kulit keriputnya. Pergelangan tangannya pun tak kalah ramai dengan perhiasan, meski di dalam rumahnya ibu dari Piter dan Herald ini tetap memamerkan perhiasan-perhiasan mahalnya. Tak pernah sedikitpun khawatir seseorang akan mencoba mencelakainya karena ingin menguasai perhiasannya itu.

“Mom, belum tidur?” Piter menuangkan segelas brandy untuk dirinya. Menemani ibunya yang sedang terlentang di sofa panjang dalam ruang tamu mereka.

“Hm.. Mom belum mengantuk. Your Daddy belum pulang, dia pergi lebih awal darimu namun sampai sekarang belum pulang. Apa Daddy mengabarimu dia pergi kemana?”

Piter mengambil handphone di sakunya, namun dia teringat baterainya telah tercabut dan dia mengurungkan niatnya, tak ingin ibunya curiga.

“Tidak, Dad tidak mengabariku. Mungkin Dad sedang bertemu dengan klien dan lupa mengabari Mom. Tidurlah Mom, nanti sakit kepalamu kambuh” Piter meletakan gelasnya yang telah kosong, membantu ibunya berdiri dan menggiringnya ke dalam kamar.

“Piter.. Mungkin kau tidak tahu, tapi your Dad sedang mencari seseorang. Sudah belasan tahun dia mencari orang itu. Mom tidak tahu siapa yang Dadmu cari, tapi.. Kau harus tahu, your Dad menyembunyikan sesuatu dari kita”  Nyonya Van Der Wilhem masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan rapat. Meninggalkan Piter dalam pikirannya yang baru.

“Dad mencari seseorang? Apakah Dad punya wanita lain? Tak mungkin, Dad bukan laki-laki seperti itu, kan? Dad adalah pria yang bertanggung jawab, Dad tak mungkin berbuat seperti itu”

Sesampainya di dalam kamarnya, Piter melepaskan seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Membasuh kembali tubuhnya dalam shower air hangat, dan merasa segar kembali. Masih dalam bungkusan handuknya, Piter berbaring di atas ranjang, memasang kembali baterai handphonenya, menunggu sebuah pesan yang muncul di layar monitor iPhonenya.

Sepuluh pesan masuk, sebuah dari ayahnya, dua buah dari Herald yang meminta izinnya membaca majalah dewasa miliknya, tiga buah dari teman-temannya, empat buah dari rekan bisnisnya. Tak satupun pesan dari Liza. Dengan kesal Piter melempar handphonenya ke atas meja, menimbulkan suara berisik lalu jatuh ke atas karpet dibawahnya.

“Kenapa Eliza tidak menjawab pesanku? Tidakkah dia membacanya? Atau.. dia tidak ingin membacanya? Atau.. Dia telah membacanya dan tak ingin menjawabnya? Shit!

Tanpa disadarinya, Piter mengelus-elus kejantanannya yang telah mengeras. Hanya rasa nikmat dari bagian itu yang mampu meringankan frustasinya karena tidak mendapat jawaban dari Liza.

Gerakan tangannya yang semakin cepat dan liar dan desahan-desahan nafas beratnya akhirnya berakhir saat mulutnya melenguhkan sebuah erangan panjang, memanggil nama wanita itu, wanita yang menjadi pemeran utama dalam imajinasi erotisnya, wanita yang begitu ingin dimilikinya.

“Eliza...”

~~~~ 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...