“Anda tidak usah menungguiku disini, tuan Piter. Aku berjanji
tidak akan kabur dan datang tepat waktu malam nanti” senyum Liza padanya. Piter
telah mengikutinya seharian, Liza heran laki-laki ini memiliki waktu sebanyak
itu untuk menemaninya.
“Piter.. Panggil aku Piter. Aku rasa usia kita tidak berbeda
jauh, anggaplah aku temanmu” Piter duduk disisi kiri Liza yang sedang menulis
laporannya.
Sebentar lagi jam kerjanya akan selesai dan dia bisa pulang
ke kamar kostnya dan beristirahat sejenak, sebelum menemui Piter disebuah rumah
makan yang telah dipesannya untuk mereka. Liza tidak dapat menolak permintaan
Piter yang memaksanya untuk menerima undangan makan malam itu. Laki-laki ini
begitu kukuh dan tidak mau ditolak. Bahkan dia masih mengikuti Liza di
pelataran parkir mall ini meskipun cuaca sangat panas. Tapi sedikitpun tak
tersirat kelelahan pada wajah tampan itu. Senyum yang selalu terpasang pada
wajahnya seolah puluhan makian sumpah serapah pun tak akan sanggup
menghilangkan senyuman itu dari bibirnya.
Liza bisa saja menolak permintaan Piter untuk sebuah makan
malam pengganti sebutir pain killer
yang diberikannya pada laki-laki ini semalam. Namun, pesona seorang Piter
begitu sulit untuk ditolaknya. Liza merasa nyaman berada disamping laki-laki
ini, sesuatu dalam hatinya seolah telah mengenal Piter sebelum mereka bertemu.
Seolah mereka memang ditakdirkan untuk bertabrakan malam kemarin.
“Aku akan mengantarkanmu ke rumahmu” Piter telah menunggui
Liza di pintu keluar tenda panitia.
Laki-laki ini sedang bersandar di sebuah tiang papan reklame,
bersedekap dan menyilangkan sebelah kakinya. Terlihat nyaman dengan posisi
berdirinya. Liza tidak dapat mengalihkan matanya dari senyum laki-laki ini,
senyum itu telah membiusnya, laki-laki ini telah memasuki pikirannya dan tak
berencana untuk hengkang.
Haruskah Liza menerima kehadiran seorang laki-laki dalam
hidupnya yang masih terombang-ambing? Baru beberapa tahun Liza akhirnya bisa
berdiri sendiri, keluar dari panti asuhan di sebuah pedesaan terpencil, dimana
yayasan departemen sosial mengirimnya. Panti asuhan kecil dimana dia dikucilkan
karena warna matanya yang berbeda dari anak-anak lain. Bahkan penduduk desa
setempat meski menyayanginya namun tak tergerak hati mereka untuk
mengadopsinya.
Liza menghabiskan sepuluh tahun hidupnya di pedesaan,
menyesali dirinya karena terlahir di dunia dengan keadaan seperti ini. Namun
setelah Liza merantau ke ibukota dan bekerja serabutan hingga seorang teman
berbaik hati kepadanya mengajaknya bekerja di sebuah perusahaan akomodasi,
barulah kehidupan Liza mulai membaik. Dia mulai bisa menyisihkan sedikit demi
sedikit gajinya untuk mewujudkan cita-citanya, membeli rumah yang dulu dia
tinggali bersama ibunya kala ibunya masih hidup.
Rumah yang kini dipasangi reklame “DIJUAL” telah menumbuhkan
kembali semangat hidupnya yang sempat hilang karena tidak memiliki tujuan.
Tapi, apakah dengan menerima seseorang seperti Piter, Liza akan sanggup membagi
perhatiannya?
Piter bukanlah laki-laki biasa dan Liza tahu hal itu.
Pergaulannya selama enam tahun di Jakarta membentuknya menjadi seorang wanita
yang mampu membedakan antara laki-laki player
dan laki-laki baik-baik. Piter.. adalah kategori laki-laki pertama. Namun,
laki-laki seperti itu tidak akan bersedia menghabiskan seharian waktunya untuk
berpanas-panasan bersama Liza.
Keringat mengucur dibalik kaos polo abu-abu yang dikenakan
Piter, kacamata rayban digelungkan
dirambutnya yang basah oleh keringat. Wajah kemerahannya terbakar sinar
matahari dan kakinya yang pasti pegal karena berjalan seharian mengikuti Liza
seperti anak itik mengikuti induknya. Liza telah digoda oleh teman-temannya,
bahwa Piter telah terpanah panah cupid dan tidak bisa lepas darinya lagi. Liza
hanya tersenyum menanggapi komentar teman-temannya. Saat dia sedang bekerja dan
Piter akan dengan setia menunggu di pinggir arena, memperhatikan gerak-gerik
Liza dengan penuh kerinduan.
Liza akan mencuri pandang sekilas pada laki-laki ini. Tatapan
mereka akan beradu, dan Liza dengan semburat merah diwajah akan memalingkan
tatapannya dengan gugup ke arah lain, yang hanya semakin melebarkan senyum di
bibir Piter.
“Aku tidak tinggal dirumah, aku kos di sebuah jalan gang kecil
di dekat tempatku bekerja. Mobilmu tidak akan muat. Jadi aku akan menumpang bus
kota saja. Kau tak usah khawatir, aku akan tiba tepat waktu pukul tujuh malam
nanti” jawab Liza dengan tersenyum.
Laki-laki di depannya ini memiliki kepala sekeras batu, tidak
secara harfiah. Isi kepalanya lah yang sekeras batu. Baru kali ini Liza
menemukan laki-laki sekeras kepala Piter, yang tak sudi untuk ditolak, namun
dengan cara yang menyenangkan.
“Sekarang sudah pukul lima sore, kau tak akan punya banyak
waktu bila harus menunggu bus kota lagi disini. Aku bisa langsung
mengantarkanmu. Ayo” Piter menggandeng tangan Liza dengan kuat tanpa
memperdulikan rengekan wanita itu dan berjalan dengan kepala terangkat dan
mulut bersiul. Dia sungguh merasa senang hari ini.
“Sudah, disini saja” kata Liza saat mobil Piter tak bisa lagi
masuk lebih dalam di jalan sempit itu.
“Disini? Tapi mobilku tidak bisa masuk, dan tempat kostmu
masih jauh di dalam, kan?” Piter memandang Liza tak percaya.
“Tuan Piter yang terhormat.. Aku bisa berjalan kaki, dan
mobilmu mengganggu orang lain. Banyak yang sedang menunggumu dengan marah. Bila
kau tidak segera pergi dari jalan ini, maka orang-orang ini akan mengamuk.
Mereka terkadang bisa sangat gusar” Liza menggoda Piter dengan ancaman kecil
itu sebelum membuka pintu mobil Piter.
“Eliza, kau mau kemana? Tapi kita belum sampai” teriak Piter
pada Liza yang sudah turun dari mobil.
“Aku sudah sampai di kostku. Pergilah, kau membuat kemacetan
yang tidak perlu” Liza membungkuk agar suaranya terdengar oleh Piter, mata awas
laki-laki itu tanpa sengaja melihat dua buah tumbukan payudara Liza yang
menyembul saat wanita itu membungkuk, nafasnya tercekat seketika.
“Erghh.. Eliza, tunggu aku disana. Lima menit lagi, aku akan
kembali. Jangan pergi”
Setelah Liza menutup pintu mobil dengan bingung, Piter memacu
mobilnya dengan kencang dan menghilang di tikungan. Liza yang kebingungan
dengan pesan Piter hanya bisa bengong sebelum memutar tubuhnya masuk ke dalam
gang kecil yang membawanya menuju kompleks kost-kostan yang cukup lebar.
Kamar Liza terletak diujung kanan kompleks, dengan teras
terbuka yang memiliki sekat diantara masing-masing kamar. Di teras kamarnya Liza
meletakan jemurannya yang telah kering dan tempat sepatunya. Beberapa buah
ember dan alat-alat mencuci beserta keperluan bersih-bersih rumah lain seperti
sabun pel, pembersih toilet, sapu dan sejenisnya.
Liza mengambil jemurannya yang mulai kering, beberapa celana
dalam, bra, kaos singlet dan mini skirt
yang biasa dia pakai saat tidur. Kamar itu tidak ber-AC sehingga Liza terpaksa
tidur dengan baju seadanya agar terhindar dari panas ibukota yang mengerikan.
Kipas angin kotak yang dibelinya setahun lalu kini tak mampu menghadirkan hawa
sejuk karena kalah oleh cuaca lembab di malam hari.
Saat Liza hendak membuka kunci pintu kamarnya, Piter
memanggil namanya. Laki-laki itu terlihat marah, wajahnya penuh keringat, merah
dan ngos-ngosan. Nafasnya tersengal-sengal. Nampaknya dia telah berlari
berpuluh-puluh meter untuk mencapai tempat ini.
“Eliza.. Kan aku sudah bilang.. kau.. menungguku disana..hh..
Aku bertanya-tanya didepan, untung mereka mengenalmu..hh... Ya, Tuhan,
jantungku serasa mau copot. Panas sekali disini” keluh Piter sembari mengelap
keringat di dahinya.
“Apa yang kau lakukan disini? Aku kira kau sudah pulang” Liza
takjub dengan keberadaan Piter di depan kamarnya, lebih takjub lagi melihat
laki-laki itu ngos-ngosan karena berlari mencarinya. Dia ingin tertawa namun
tidak tega melihat wajah menderita Piter.
“Masuklah, eh.. maksudku.. duduklah disini. Aku akan
mengambilkanmu air minum” Liza meletakan dengan sembarang jemurannya dilantai,
menggeser tempat jemurannya untuk memberikan ruang bagi Piter duduk.
Piter duduk dan bersandar pada dinding. Dia kelelahan,
kehausan dan berkeringat. Dia belum setua itu, berlari dua kilometer dari
tempatnya memarkir mobil bukanlah apa-apa. Tapi menemukan Liza tak ada ditempat
terakhir dia meninggalkannya memunculkan kekhawatiran dalam hati lemah Piter.
Dia telah berpikir yang bukan-bukan mengenai Liza. Piter
membayangkan wanita itu diculik oleh gerombolan orang jahat, atau tersambar
truk dan banyak pikiran buruk lain. Diperburuk dengan info yang tak banyak
membantunya karena dia tak tahu dimana kost-kostan tempat Liza tinggal.
Penduduk disekitar memang berbaik hati mengarahkannya pada
kompleks kost-kostan di dekat sini, namun ada lebih dari sepuluh kompleks
kost-kostan di dekat sini dan kepala Piter hampir pecah meneliti satu per satu
kompleks itu. Belum lagi melihat tatapan awas penduduk setempat yang merasa
asing dengan sosok seorang blasteran Indo seperti dirinya. Wajah Piter lebih
condong seperti orang bule, meski ayahnya juga seorang peranakan, namun ibunya
memiliki darah peranakan yang sangat kental yang diwarisinya dengan baik. Tak
akan ada yang sangsi bila Piter mengaku dirinya bule tulen.
“Ini.. Minumlah” Liza membawakannya segelas air dingin yang
langsung ditenggaknya habis.
Kipas angin yang Liza gelar untuknya membantu menurunkan suhu
tubuhnya yang meledak-ledak. Volcano hampir saja Erupts (meletus)
Liza tertawa geli disamping Piter, dia tersenyum-senyum kecil
melihat Piter menyandarkan kepalanya di tembok penyekat kamar.
“Kenapa kau tertawa? Kau suka sekali tertawa melihatku
kesusahan ya? Kau suka sekali menyusahkanku” Piter menengadah, namun sorot
matanya teduh.
Dia senang sekali bisa berduaan seperti ini dengan Liza.
Rencana makan malamnya telah dilupakannya, dia ingin berduaan saja dengan
wanita ini. Menghabiskan waktu mengobrol hingga tidak ingin memikirkan apapun
selain diri mereka.
Akhirnya mereka makan di kamar kost Liza. Liza membeli dua
bungkus nasi goreng special di depan kostnya untuk mereka dan seporsi martabak
sebagai cemilan mengobrol mereka. Liza juga menawarkan Piter untuk mandi di
kamarnya yang diterima dengan senang hati oleh pria itu. Liza telah menyiapkan
handuk bersih untuknya, namun dia tidak memiliki pakaian ganti. Piter tak
berkata apa-apa, dia hanya tersenyum. Bisa berada dikamar Liza sudah teramat
cukup baginya.
Dia tidak akan ingin mengetahui bila Liza memiliki pakaian
pria, Piter akan berpikir Liza terbiasa mengajak laki-laki ke kamarnya, dan dia
tak akan senang mengetahui hal itu.
Piter memakai pakaiannya kembali, tubuhnya kini lebih segar
meski pakaian yang dipakainya memiliki aroma khas seorang Piter Volcano. Namun
Liza tidak mengeluh, dia tidak merasa keberatan dengan aroma itu. Bahkan itulah
aroma terseksi yang pernah dihirupnya. Liza tidak pernah sedekat ini dengan
seorang pria, dia tak pernah mengundang laki-laki manapun kesini.
Bahkan Piter, dia mengundang dirinya sendiri. Memaksa Liza
untuk menerimanya dalam kamar kosnya yang kecil. Mereka menonton televisi namun
tak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh aktor yang berlaga dalam sinema di
tivi. Mereka sibuk berbincang-bincang, membicarakan kehidupan mereka dan
kesibukan mereka sehari-hari.
Dari perbincangan mereka Piter mengetahui tentang masa lalu
Liza, bagaimana Liza bertahan hidup di Jakarta dan perjuangannya untuk hidup
lebih baik agar kelak mampu mewujudkan cita-citanya. Liza merasa hatinya lega,
Piter adalah pendengar yang baik, dia tidak pernah menyela atau memperbaiki
ucapan-ucapan Liza.
Sesekali Piter akan menghapus air mata yang tak diundang yang
turun dari mata cantik Liza saat menceritakan kisah hidupnya yang memilukan.
Entah mengapa Liza merasa mampu mengutarakan semua kisah hidupnya pada seorang
Piter yang baru dikenalnya sehari. Laki-laki ini.. Seolah Liza telah
mengenalnya sebelum kehidupan ini.
Pukul sembilan malam, Piter dengan berat hati berpamitan
pulang pada Liza. Langkah kakinya begitu berat untuk meninggalkan wanita itu,
ingin rasanya pindah ke kamar kost disamping kamar Liza, hanya agar dapat menghabiskan
waktu lebih banyak dengannya. Sesampainya Piter di dalam mobilnya, dia membuka
handphonenya, mengirimkan sebuah pesan singkat untuk Liza.
“Aku baru saja
sampai di mobilku, namun rasanya hatiku tertinggal di dalam kamar kosmu,
Eliza.. Sudikah kau menyimpankannya untukku? Hingga saat kita berjumpa lagi,
aku akan memintanya kembali, bahkan akan jauh lebih baik bila kau menukarnya
dengan hatimu. Lv. P.V”
Piter mencabut baterai handphonenya, tak ingin membaca apapun
jawaban yang mungkin dikirimkan oleh Eliza untuknya. Dia belum siap menerima
penolakan wanita itu. Ini tidak benar, perasaan yang dirasakannya bukanlah
perasaan seorang pria yang baru saja mengenal wanita itu, rasanya telah
beribu-ribu tahun dia mengenalnya.
Terasa begitu nyaman saat bersama Eliza, berbincang-bincang
dengannya terasa begitu mudah, kata-kata yang mengalirpun tak pernah terpikir
datangnya darimana. Meluncur deras seperti ada sepasang tangan lain yang
memenuhi tungku-tungku percakapan mereka dengan yang baru. Mereka bisa
berbincang seperti itu sepanjang malam, sepanjang hari bahkan mungkin sepanjang
minggu. Tak pernah terasa begitu indah, hati seorang Volcano Erupted, meluah dengan perasan kasih
sayang yang ingin dibaginya kepada Eliza.
Piter mengemudikan mobilnya dengan perlahan, pikirannya
dipenuhi dengan percakapan mereka sebelumnya.
“Wanita yang malang, hidupnya begitu penuh dengan kekecewaan
dan penolakan. Bahkan ibunya telah meninggalkannya di usia yang semuda itu. Dia
tidak pernah menyinggung ayahnya, tidakkah dia punya seorang ayah?” Piter
merenungi jawaban dari pertanyaannya, namun mobilnya telah sampai di depan
pintu pagar rumahnya.
Dengan sebuah klakson, pintu itu otomatis terbuka, seorang
tukang kebun kemudian menutup pintu dibelakangnya.
“Wah..wah.. Bepergian seharian Piter?” Nyonya Van Der Wilhem
sedang menyesap segelas red wine
ditangannya. Memandang penuh cinta pada anak sulungnya itu, calon pewaris tahta
utama Van Der Wilhem.
Jari-jari tangannya gemerlapan dihiasi cincin emas dan
berlian yang menyembunyikan kulit keriputnya. Pergelangan tangannya pun tak
kalah ramai dengan perhiasan, meski di dalam rumahnya ibu dari Piter dan Herald
ini tetap memamerkan perhiasan-perhiasan mahalnya. Tak pernah sedikitpun
khawatir seseorang akan mencoba mencelakainya karena ingin menguasai
perhiasannya itu.
“Mom, belum tidur?” Piter menuangkan segelas brandy untuk
dirinya. Menemani ibunya yang sedang terlentang di sofa panjang dalam ruang
tamu mereka.
“Hm.. Mom belum mengantuk. Your Daddy belum pulang, dia pergi
lebih awal darimu namun sampai sekarang belum pulang. Apa Daddy mengabarimu dia
pergi kemana?”
Piter mengambil handphone di sakunya, namun dia teringat baterainya
telah tercabut dan dia mengurungkan niatnya, tak ingin ibunya curiga.
“Tidak, Dad tidak mengabariku. Mungkin Dad sedang bertemu
dengan klien dan lupa mengabari Mom. Tidurlah Mom, nanti sakit kepalamu kambuh”
Piter meletakan gelasnya yang telah kosong, membantu ibunya berdiri dan
menggiringnya ke dalam kamar.
“Piter.. Mungkin kau tidak tahu, tapi your Dad sedang mencari
seseorang. Sudah belasan tahun dia mencari orang itu. Mom tidak tahu siapa yang
Dadmu cari, tapi.. Kau harus tahu, your Dad menyembunyikan sesuatu dari kita” Nyonya Van Der Wilhem masuk ke dalam kamarnya
dan menutup pintu kamarnya dengan rapat. Meninggalkan Piter dalam pikirannya
yang baru.
“Dad mencari seseorang? Apakah Dad punya wanita lain? Tak
mungkin, Dad bukan laki-laki seperti itu, kan? Dad adalah pria yang bertanggung
jawab, Dad tak mungkin berbuat seperti itu”
Sesampainya di dalam kamarnya, Piter melepaskan seluruh
pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Membasuh kembali tubuhnya dalam
shower air hangat, dan merasa segar kembali. Masih dalam bungkusan handuknya,
Piter berbaring di atas ranjang, memasang kembali baterai handphonenya,
menunggu sebuah pesan yang muncul di layar monitor iPhonenya.
Sepuluh pesan masuk, sebuah dari ayahnya, dua buah dari
Herald yang meminta izinnya membaca majalah dewasa miliknya, tiga buah dari
teman-temannya, empat buah dari rekan bisnisnya. Tak satupun pesan dari Liza. Dengan
kesal Piter melempar handphonenya ke atas meja, menimbulkan suara berisik lalu
jatuh ke atas karpet dibawahnya.
“Kenapa Eliza tidak menjawab pesanku? Tidakkah dia
membacanya? Atau.. dia tidak ingin membacanya? Atau.. Dia telah membacanya dan
tak ingin menjawabnya? Shit!”
Tanpa disadarinya, Piter mengelus-elus kejantanannya yang
telah mengeras. Hanya rasa nikmat dari bagian itu yang mampu meringankan
frustasinya karena tidak mendapat jawaban dari Liza.
Gerakan tangannya yang semakin cepat dan liar dan
desahan-desahan nafas beratnya akhirnya berakhir saat mulutnya melenguhkan
sebuah erangan panjang, memanggil nama wanita itu, wanita yang menjadi pemeran
utama dalam imajinasi erotisnya, wanita yang begitu ingin dimilikinya.
“Eliza...”
~~~~
No comments:
Post a Comment