Wednesday, April 10, 2013

Volcano Erupts - Chapter 15



Sejak pagi hingga siang kini Liza menghindari Piter yang selalu mencoba untuk berbicara dengannya. Tanpa alasan yang jelas Liza menolak untuk memberikan Piter kesempatan menjelaskan perkataannya pagi tadi. Saat mereka sarapan pagi, Piter memberitahukan mengenai undangan makan malam yang diberikan oleh Bianca pada mereka. Dengan jelas Piter menekankan Liza harus datang kerumah Piter dan bertemu dengan seluruh keluarganya. Liza menolak untuk mengikuti acara makan malam itu, dia tidak bisa memberikan alasan yang membuat Piter puas.

Meski Piter mulai mengerti keengganan Liza, namun Piter ingin mendengar langsung dari mulut Liza mengapa dia sebenci itu untuk pergi kerumah Piter. Hari ini minggu, mereka tidak memiliki acara kemana-mana dan hanya menghabiskan hari di dalam apartemen, saling diam tanpa bicara. Piter yang tidak bisa berlama-lama dalam suasana menegangkan seperti ini mendekati Liza yang sedang menjahit kancing bajunya yang terlepas.

Volcano Erupts - Chapter 14



Sudah hampir seminggu berturut-turut Luther menemui Liza, kali ini saat mereka duduk di dalam ruangan yang sama itu Luther menyerahkan dua buah amplop pada Liza.

“Bukalah” kata Luther.

“Apa ini?” tanya Liza.

“Amplop yang kau pegang itu berisi tabungan yang dulu ayah buatkan untukmu, Liza. Sejak saat itu ayah selalu menambahnya dengan harapan suatu saat nanti ayah akan menemukanmu. Ayah ingin kau memilikinya, untuk bekalmu di London nanti. Dan amplop yang lainnya, berisi paspor dan surat-surat yang kau butuhkan untuk kepergianmu ke Inggris. Beserta tiket untuk kepergianmu ke London selasa depan. Minggu depan kau harus sudah pergi dari Indonesia, Liza. Lusa sudah hari senin, dan ayah harap kau mengatakannya sebelum hari senin. Kita tidak punya banyak waktu, dan demi Tuhan tidak bisakah kau pergi dari apartemen itu? Setidaknya jangan biarkan Piter menginap” luther menggertakan rahangnya.

Volcano Erupts - Chapter 13



“Aku belum memberitahu Piter dan yang lainnya mengenai hal ini, Liza. Maka dari itu aku ingin kau memutuskan hubunganmu terlebih dahulu dari Piter, karena bila dia mengetahui hal ini dan kalian masih berhubungan aku takut Piter akan melukaimu. Dia pasti sangat kecewa pada ayahnya, dan.. Kau bisa menjadi sasaran kemarahannya. Piter sangat mengerikan bila dia marah, kau tidak akan ingin berada di dekatnya bila dia meledak” jelas Luther pada Liza. Dia menemui Liza lagi dikantornya dan mengajak anaknya itu untuk membicarakan masalah mereka di tempat kemarin.

“Apakah tidak ada jalan lain, Tuan?” tanya Liza sedih.

“Liza.. Aku tidak akan memaksamu untuk memanggilku ayah, tapi tolong jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku dengan Pak atau yang lainnya, tapi jangan tuan” Luther mengiba padanya.

Volcano Erupts - Chapter 12



“Wati Suteja?” pekik Liza kaget saat Luther memberitahukannya nama cinta sejatinya.

“Ya, Liza. Wanita itu adalah ibumu, dan kau adalah anakku..” jawab Luther lirih. Tubuhnya gemetar memberitahukan hal itu pada Liza. Dia tidak bisa menunda lagi, Liza harus diberitahukan mengenai asal-usulnya. Dengan demikian hubungan Piter dan Liza bisa diselamatkan.

Liza menggeleng-gelengkan kepalanya tidak menerima kenyataan. Dia tidak ingin mempercayai semua perkataan Luther.

“Tidak.. Tidak.. Anda bohong. Anda hanya ingin memisahkan kami dan mengarang cerita bohong ini kan?” Liza bangkit dari kursinya, mencoba pergi dari ruangan itu.

Volcano Erupts - Chapter 11



Liza sedang berbincang-bincang dengan teman kerjanya saat satpam perusahaan memberitahukannya ada seorang tamu yang ingin menemuinya.

“Mbak Liza, ada yang nyari di depan” kata Pak Sugi sekuriti perusahaan mereka.

“Siapa pak? Orang mana?” tanya Liza sambil beranjak keluar dari meja kerjanya.

“Kurang tahu Mbak, orang bule” jawab Pak Sugi cengengesan.

“Bule?” Liza kemudian terpikir pada Piter. Namun untuk apa Piter mencarinya kesini pikir Liza.

Volcano Erupts - Chapter 10



Sudah tiga hari Piter tidak mengunjunginya, tidak juga mengabarinya. Bahkan dia tidak menelphonenya, handphonenya pun tidak aktif. Liza tidak mengerti dengan perubahan Piter yang tiba-tiba. Mereka baru saja bercinta saat Piter meninggalkannya di apartemen untuk bekerja pada pagi harinya, namun saat malam telah tiba Piter tidak juga mengirimkannya kabar hingga hari ini.

Liza bertekad untuk menemui Piter di rumahnya namun nyalinya ciut seketika saat taksi sudah mencapai pintu gerbang rumah itu, Liza tidak bisa membawa kakinya melangkah masuk ke dalam rumah itu, dia lalu akan meminta sopir taksi untuk membawanya pergi dari sana. Kini setelah tiga hari tanpa kabar dari Piter, Liza tidak merasa nyaman untuk tinggal dalam apartemen yang Piter berikan padanya.

Volcano Erupts - Chapter 9



“..B..bisa Mister..” jawab Pak Karso terbata-bata. Jantungnya berdebar kencang, gugup dengan intimidasi Piter.

“Apakah selain kita, ada orang lain lagi disini?” tanya Piter memastikan.

“Tidak Mr. Piter. Anak-anak saya sudah menikah, saya hanya tinggal bersama istri saja. Dia sedang dikamar beristirahat. Maklum, kami sudah tua. Gampang sakit-sakitan” Pak Karso tersenyum sedih, menyadari tubuhnya tidak sekuat dulu lagi. Piter hanya bisa tersenyum simpati pada pria tua di depannya.

“Baiklah, terima kasih. Jadi saya akan memulai pertanyaan saya. Namun sebelumnya, saya harap pembicaraan ini tidak disebarluaskan kepada orang lain, meski pada istri bapak. Apakah saya bisa mempercayai bapak?” Piter menatap tajam pada Pak Karso, mencoba memperlihatkan laki-laki tua itu bahwa dia bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.

Volcano Erupts - Chapter 8



Seharian Piter sibuk di dalam kantornya, menghubungi beberapa orang dan kenalan detektifnya, polisi, mitra dalam pemerintahan dan akhirnya dia menemukan sedikit titik terang pada kasus ayahnya. Piter akhirnya mengetahui kenyataan yang menghantamnya, ayahnya memang pernah meminta bantuan orang dalam pemerintahan untuk membuatkannya izin menikah untuk kedua kalinya. Ayahnya membayar cukup besar untuk mendapatkan izin itu, sayangnya Piter belum mengetahui siapa wanita yang akan dinikahi ayahnya.

Piter memutar otaknya mencari segala cara untuk mengetahui kejadian enam belas tahun yang lalu, saat itu dia masih berusia tiga belas tahun, Piter tidak merasa ada yang berubah dari ayahnya sedikit pun. Dari tanggal yang tercantum pada formulir itu, Piter mencari tahu dimana keberadaan ayahnya saat itu. Sayangnya data-data yang ada didalam perusahaan tidak mencatat laporan untuk enam belas tahun yang lalu. Piter menemui jalan buntu. Lalu dia terpikir untuk menelephone kepala bagian keuangan perusahaannya dan meminta laki-laki tua itu untuk menemuinya.

Volcano Erupts - Chapter 7



Luther sedang berbaring diam di atas ranjangnya, dia telah siuman. Pagi ini istrinya Bianca melayaninya dengan penuh perhatian, perhatian yang telah lama tidak pernah diberikannya. Kehidupan rumah tangga mereka memang tidak seindah drama telenovela di tivi-tivi, mereka menikahpun hanya karena dijodohkan. Tapi selama hidupnya Luther tidak pernah menolak apapun keinginan wanita yang menjadi istrinya ini, dia selalu mengalah dan tak ingin berdebat.

Dia tidak bisa mengungkapkan isi hatinya pada wanita yang begitu susah untuk di dekati, Bianca sibuk dengan hiburannya sendiri tanpa memperdulikan suaminya yang membutuhkan perhatiannya meskipun mereka menikah tanpa landasan cinta.

Luther menghargai istrinya, dia tidak pernah meminta lebih dari apa yang bisa diberikan Bianca padanya. Luther hanya menyimpan sendiri beban masalah pekerjaan, keluarga dan frustasinya seorang diri. Hingga kemudian sosok Wati Suteja masuk ke dalam hidupnya.

Volcano Erupts - Chapter 6



Piter sedang duduk menghisap rokoknya diatas ranjang, disampingnya Liza meringkuk masih memunggunginya dalam lindungan selimut yang menutupi tubuhnya hingga batas dada. Terlalu banyak hal yang dipikirkan Piter saat ini, suasana kamar yang sunyi hanya terdengar nafas ringan dari Liza memberikannya ketenangan yang tak biasa.

Piter bertanya-tanya alasan apa yang membuat Liza pergi dengan sembunyi-sembunyi mencoba meninggalkannya. Dia bahkan tidak meninggalkan secarik kertas ataupun pesan untuknya. Piter tidak habis pikir dan merasa dikhianati oleh perbuatan Liza, dia merasa cinta Liza padanya tidak sebesar rasa cintanya kepada wanita ini.

Volcano Erupts - Chapter 5



“Tuan Luther, dia sudah lama pergi dari sini. Kabar terakhir mengatakan dia pergi ke Jakarta dan mengadu nasib disana, bekerja sebagai penjaga toko dan beberapa pekerjaan lain yang bisa didapatkannya. Kami masih mengumpulkan informasi-informasi lain, pada akhir bulan ini kami akan memberikan anda data-data itu”

“Sudah enam belas tahun aku membayar kalian, dan hanya ini yang kalian dapatkan? Bila hingga akhir bulan ini kalian tidak juga mendapat titik terang mengenai keberadaan anakku, maka aku akan menghentikan kerja sama ini!” Luther menghisap rokoknya dengan kesal, dia jauh-jauh datang ke daerah terpencil ini hanya untuk menemukan bahwa anaknya telah lama pergi dari sini. Ketika harapannya telah mengembang tinggi, kini ditelannya bulat-bulat. Dia masih belum bisa menemukan Elizabeth, anaknya yang direnggut darinya enam belas tahun lalu.

Volcano Erupts - Chapter 4



Liza terbangun dari tidurnya pada pukul lima pagi, sejam lebih awal dari biasanya. Hari ini senin, dan dia mendapat libur yang telah dinanti-nantinya. Bekerja sebagai staf sebuah perusahaan event organizer membuatnya harus menerima kenyataan hari minggu dan tanggal merah bukanlah hari liburnya. Kata-kata “I hate monday” tidak berlaku bagi Liza. Dia suka Monday, karena hari itulah dia libur.

Dia akan berbelanja ke supermarket, membersihkan kamarnya, mencuci pakaian kotornya yang telah menumpuk lagi, menyetrika, dan mungkin sedikit waktu dia habiskan untuk mencuci rambutnya ke salon. Sedikit kesenangan yang mulai diberikannya pada dirinya sejak Liza mampu hidup lebih mapan.

Pukul sepuluh pagi, Liza telah selesai membereskan semua pekerjaan rumahnya, saatnya mandi dan bersiap-siap pergi ke supermarket, membeli kebutuhan sehari-hari dan bulanan serta mengisi kulkasnya yang telah kosong melompong. Dia baru saja mendapat bonus dari perusahaannya, bonus yang setengahnya dia sisihkan untuk ditabungnya dan setengahnya dia gunakan untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Gaji yang diperolehnya juga telah diaturnya sehingga Liza tidak perlu berhutang untuk membayar sewa kamar kosnya lagi. Hidupnya akan membaik.

Volcano Erupts - Chapter 3



“Anda tidak usah menungguiku disini, tuan Piter. Aku berjanji tidak akan kabur dan datang tepat waktu malam nanti” senyum Liza padanya. Piter telah mengikutinya seharian, Liza heran laki-laki ini memiliki waktu sebanyak itu untuk menemaninya.

“Piter.. Panggil aku Piter. Aku rasa usia kita tidak berbeda jauh, anggaplah aku temanmu” Piter duduk disisi kiri Liza yang sedang menulis laporannya.

Sebentar lagi jam kerjanya akan selesai dan dia bisa pulang ke kamar kostnya dan beristirahat sejenak, sebelum menemui Piter disebuah rumah makan yang telah dipesannya untuk mereka. Liza tidak dapat menolak permintaan Piter yang memaksanya untuk menerima undangan makan malam itu. Laki-laki ini begitu kukuh dan tidak mau ditolak. Bahkan dia masih mengikuti Liza di pelataran parkir mall ini meskipun cuaca sangat panas. Tapi sedikitpun tak tersirat kelelahan pada wajah tampan itu. Senyum yang selalu terpasang pada wajahnya seolah puluhan makian sumpah serapah pun tak akan sanggup menghilangkan senyuman itu dari bibirnya.

Friday, March 8, 2013

Volcano Erupts - Chapter 2


Sebuah mobil Mercedes Benz hitam C250 Luxury keluaran tahun terakhir memasuki parkiran lobi hotel Sheraton. Turunlah tiga orang laki-laki dengan pakaian jas rapi licin bersama dengan seorang wanita dengan gaun gemerlap berhiaskan pernak-pernik perhiasan di sekujur tubuhnya. Wanita itu dengan langkah angkuh dan pandangan tinggi berjalan melenggak-lenggok dengan percaya diri ke dalam lobi hotel, bertanya kepada seorang karyawan hotel dengan gaya bangsawannya yang dibuat-buat.

“Ibumu akan mempermalukan kita, ingin rasanya aku bersembunyi dan pura-pura tak mengenalnya” keluh Luther pada kedua anaknya. Piter hanya terkekeh, sementara si bungsu Herald menertawakan tingkah ibunya.

Volcano Erupts - Chapter 1


“Ingat.. Jangan pernah menyusahkan paman itu, kalau dia berkunjung kesini baik-baiklah padanya, agar dia menyukaimu. Mengerti kan sayang?”

“Iya, ma.. Aku mengerti.. Tapi siapa paman itu? Kenapa dia belakangan sering kesini?” tanya bocah kecil lugu itu pada ibunya.

“Dia hanya seorang paman yang baik hati.. Ayo masuk ke kamarmu, sudah waktunya tidur” dengan senyum misterius si ibu meninggalkan anaknya untuk menemui si paman yang sedang menunggunya di ruang tamu.

Volcano Resolves - Chapter 2


Duduk termenung dalam mobilku sembari menghisap sebatang rokok untuk menghangatkan badan, aku mengulang lagi kisah hidupku yang biasa-biasa saja. Dua puluh delapan tahun hidupku hanya kuhabiskan di negara ini, meski terkadang ayah akan mengajakku keluar negeri untuk mengikuti pekerjaan bisnis, totally bisnis karena aku tak pernah berlibur.

Sungguh tragis, dalam usiaku yang sepertiga abad ini aku masih dikekang oleh ayahku, Dia masih mengurusiku seperti anak kecil. Atau mungkin akulah yang tidak ingin terlepas dari kungkungan ayahku? Semua disediakan oleh ayah tanpa kuminta, dia memastikanku mendapat tempat di universitas terkenal di Inggris, memastikanku mendapat tempat di perusahaan kami hanya sehari setelah aku lulus dengan cum laude.

Thursday, March 7, 2013

Volcano Resolves - Chapter 1



Berhari-hari sudah aku merenung dibalik meja kerjaku yang dipenuhi tumpukan file dan surat yang harus aku periksa, tak ada satu pekerjaan pun yang bisa aku tangani hingga selesai dengan baik hari ini. Kepalaku dipenuhi oleh pikiran-pikiran mengenai mimpi-mimpi yang mendatangi tidurku setiap malam kini.

Sebelumnya tak pernah sesering ini mimpi itu menghampiriku, kini terasa lebih jelas. Aku bahkan hampir mampu mengingat wajah wanita itu, wajah wanita yang selalu hadir dalam setiap mimpi anehku. Belakangan lokasi mimpiku selalu ditempat yang sama, areal perkebunan bunga lavender yang terbentang luas sepanjang cakrawala. Kami hanya berdua, tiada makhluk hidup lain disekitar kami. Bahkan tak seekor burung pun terlihat beterbangan di langit, hanya langit cerah dengan awan tipis membayangi langit biru.

Wednesday, March 6, 2013

Volcano Resolves - Prologue


Kugenggam erat sepasang tangan itu, mencoba untuk mencegahnya pergi lagi dariku. Setiap perjumpaan kami yang singkat ini, dia akan selalu meninggalkanku di penghujung jalan. Tertatih-tatih ku mengejarnya namun tanpa daya saat kukijapkan mata dalam sekejap dia akan menghilang lagi.

Dia selalu menyisakan sakit dalam dada yang menusuk, tak terasa tangis membasahi pelupuk mataku. Tangis yang menggambarkan penderitaan yang kurasakan setiap bertemu dan berpisah dengannya. Aku tak tahu siapa dia, aku tak bisa meringkas wajahnya dalam ingatanku. Yang kutahu hanyalah bahwa dia.. adalah seseorang yang sangat berarti buatku, seseorang yang begitu berharga, seseorang yang semestinya ada dalam hatiku, tulang rusukku, yang dicabut dengan paksa entah kapan akan dikembalikan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...