Duduk termenung dalam mobilku sembari menghisap sebatang
rokok untuk menghangatkan badan, aku mengulang lagi kisah hidupku yang
biasa-biasa saja. Dua puluh delapan tahun hidupku hanya kuhabiskan di negara
ini, meski terkadang ayah akan mengajakku keluar negeri untuk mengikuti
pekerjaan bisnis, totally bisnis
karena aku tak pernah berlibur.
Sungguh tragis, dalam usiaku yang sepertiga abad ini aku
masih dikekang oleh ayahku, Dia masih mengurusiku seperti anak kecil. Atau
mungkin akulah yang tidak ingin terlepas dari kungkungan ayahku? Semua disediakan
oleh ayah tanpa kuminta, dia memastikanku mendapat tempat di universitas
terkenal di Inggris, memastikanku mendapat tempat di perusahaan kami hanya
sehari setelah aku lulus dengan cum laude.
Ayah tidak memberikanku istirahat seharipun, dia menarik
kerah kemejaku dan melemparkan tubuhku untuk duduk mematung dibalik kursi
sepanjang hari. Pekerjaan pertamaku adalah menjadi akuntan, menghitung neraca
dan mengatur rencana-rencana pengeluaran dan pemasukan bank-bank dalam rantai
kami.
Seringkali aku terpaksa membawa pulang pekerjaanku kerumah
hanya agar selesai tepat pada waktunya dan diakhir bulan aku bisa menghabiskan
sehari-dua hari ku yang kosong untuk diriku. Namun tak pernah kudapatkan. Ayah
selalu memiliki alasan untuk membuatku bekerja. Aku tak pernah mengeluh, aku
tak pernah membantah bahkan aku tak pernah menolak. Aku hanya diam mengerjakan
perintahnya.
Bila Louisa mengundangku makan malam dirumah mereka, aku akan
menyantap makananku dalam diam. Hanya suara pisau dan garpu yang beradu dengan
piring terdengar diruang makan. Awalnya Louisa memang gerah dengan sikapku
namun lambat laun dia mulai terbiasa karenanya. Bahkan adik-adik ku tidak
begitu dekat denganku karena sifat pendiamku.
Well bukannya aku membenci mereka, dikepalaku hanya terlalu
banyak pikiran dan aku tidak memiliki waktu lagi untuk bermain dengan mereka
hingga mereka remaja. Saat mereka remaja barulah mereka sering menemuiku kerumah,
mereka akan memintaku untuk mengantarkan mereka clubbing, ke bar, kemanapun mereka belum pantas untuk pergi. Aku
akan menjadi penjamin mereka dan saat berada di dalam klab malam atau bar, aku
terpaksa harus mengawasi mereka hingga beberapa orang wanita mendekatiku.
Pernah beberapa kali aku melupakan mereka dan justru pergi
dengan wanita yang mendekatiku. Hanya dua jam dan ketika aku kembali, mereka
masih menungguku dengan wajah cemberut. Mereka bersenang-senang, akupun ingin
bersenang-senang, apa yang mereka keluhkan?
Aku memiliki dua orang adik perempuan, mereka kembar. Sekarang
usia mereka tujuh belas tahun, beda sebelas tahun dariku. Saat ayahku menikahi
ibu mereka, dia sudah mengandung. Tak lama kemudian mereka lahir dan akulah
orang pertama yang menunggui mereka didalam inkubator, mereka lahir premature namun kini mereka tumbuh
menjadi gadis remaja yang sempurna.
Mungkin di usia mereka ini mereka telah mengenal laki-laki,
aku tidak tahu. Saat ini adalah usia dimana mereka ingin mengetahui semua
fungsi tubuh mereka, untuk wanita itu terlalu lamban. Aku sendiri telah
mengeksplorasi fungsi tubuhku saat usiaku lima belas tahun, saat malam
perpisahan di junior high school, prom
night. Aku memerawani mantan pacarku dalam mobil limousine milik ayahku. Sebuah
kenangan yang tak mungkin kulupakan, aku kehilangan keperjakaanku malam itu.
Setelah makan siang bersama Mr. Duncan, aku mengemudikan
mobilku menuju rumah ayahku. Malam ini memang Louisa mengundangku lagi, dia
sangat senang memasak mungkin karena hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini.
Ayahku masih sibuk dengan pekerjaan, sedangkan kedua anak kembarnya sudah tidak
perlu perhatiannya lagi, hanya dengan memasaklah Louisa bisa menghabiskan
waktunya dirumah.
Saat aku tiba, mereka telah menungguku di ruang tamu. Rumah
asri bertingkat dua itu telah menjadi tempat tinggal mereka selama delapan
belas tahun dan tak pernah terlihat usang. Ayah selalu memperbaharui setiap
bagian rumah itu dengan teratur, sedang rumahku sendiri meski tak sesering
rumah ini, juga mendapat perawatan secukupnya. Aku memiliki empat orang pelayan
yang bertugas membersihkan rumah luas itu, dan itu adalah jumlah yang sangat
sedikit dibandingkan saat kakekku masih hidup. Paling sedikit keluarga ibuku
memiliki tiga puluh orang pelayan yang melayani satu keluarga disana.
Sehari-harinya para pelayan akan bercakap-cakap di dapur
membuat roti untuk diberikan pada panti asuhan di dekat rumah, kakekku adalah
orang yang dermawan, tak heran ribuan orang datang melayat saat dia pergi.
“Good evening” sapaku ketika membuka pintu rumah ayahku.
Si kembar twinkle dan twinkling begitu aku memanggil
adik-adikku menghambur menyambutku. Kedua tanganku telah dikuasai oleh mereka
sebelum aku sanggup melepaskan jaket hangatku. Entah sejak kapan mereka mulai
menyukaiku, seingatku dulu mereka akan bersembunyi dibalik kursi yang kududuki,
tak berani mendekat karena aku memandangi mereka dengan tajam.
Sejak saat itu mereka ketakutan, namun kini aku tak melihat
ketakutan itu lagi di mata mereka. Mereka telah berubah, bukan lagi anak-anak
kecil penakut, remaja-remaja ini memiliki sifat ingin tahu yang besar. Dan
mereka hanya bisa menanyakan hal itu padaku. Mungkin malam ini mereka akan
menanyakanku lagi, aku tak tahu bila memiliki adik perempuan membuatku sesibuk
ini.
Louisa memeluk dan mengecup kedua pipiku, dia sangat ramah.
Namun aku tak pernah membuka hati untuknya, dia hanyalah istri ayahku.
“Kau datang.. Bagaimana harimu, Eric?” tanya Louisa padaku.
“Tidak buruk” jawabku sambil menghalau kedua adikku agar
melepaskan tanganku sehingga aku bisa melepaskan jaket hangat dan jasku. Perapian
telah dinyalakan dan suhu ruangan cukup hangat, aku tidak perlu mengenakan jas
hangatku lagi.
Louisa, dia menikahi ayahku saat usianya tiga puluh empat
tahun, kini Louisa berusia lima puluh dua tahun, dia lebih tua dua tahun dari
ayahku. Saat ayah menikahi Louisa, ibu tiriku ini masih sendiri. Dia belum
pernah menikah sebelumnya, kurasa ayahku menduda di usianya yang masih sangat
muda.
Dengan perawakan tubuh yang pendek, yang tak lebih dari dada
ayahku, Louisa terlihat paling mungil di antara kami berlima. Postur tubuhku
hampir sama dengan ayahku, meski dia sedikit lebih bungkuk karena faktor usia
yang mulai menua. Sedangkan si kembar, mereka sedang beranjak remaja dan
tingginya tak kurang dari pundakku. Mereka mendapatkan genetik tinggi tubuh
dari ayah kami tentunya.
Louisa memiliki wajah bulat yang penuh, pipinya selalu merah
merona karena udara yang dingin. Dia senang berkebun, di depan rumah nampak sebuah
rumah kaca dengan didalamnya terdapat kebun tomat, cabai, paprika dan beraneka
ragam tumbuh-tumbuhan yang bisa dipetik dan dimakan buahnya, nampak kontras
dengan rumah mewah yang mereka tinggali.
Sebelum aku sempat menuangkan segelas scotch whiskey di gelasku, ayah memintaku untuk mengikutinya.
Pembicaraan bisnis, seperti biasa. Dia akan menginterogasiku sebelum
mengizinkan piring makanku dipenuhi oleh masakan Louisa. Dia sungguh ayah yang
kejam. Dengan enggan kuletakan kembali whiskey
yang begitu menggoda di atas meja, mengikuti ayahku ke ruangan samping. Dia
duduk tepat disebelah meja berlaci dan mengeluarkan sebuah amplop tertutup yang
tidak dibukanya. Dia menungguku duduk di depannya, dan akupun duduk.
“Bagaimana hasil pertemuanmu dengan Mr. Duncan?” tanya ayahku
langsung pada inti permasalahan.
Aku mengambil sebuah amplop putih kecil dari saku kemejaku.
Kuserahkan padanya dan memintanya untuk membuka amplop itu. Disana telah
dijelaskan apa yang perlu kami siapkan agar semua berjalan lancar. Ayahku
mengangguk dan memuji kemampuanku, namun kutanggapi dengan datar.
Lalu ayah menyodorkan amplop yang sedari tadi dipegangnya
padaku.
“Bukalah” perintahnya.
Dengan penasaran kubuka amplop itu, berisi beberapa berkas
dan sebuah buku beserta sebuah surat dalam amplop resmi. Surat itulah yang
pertama kubuka dan kubaca isinya.
“Reich’s Financial Solution Head Office”
Kubaca habis surat itu lalu menghela nafasku. Entah apa yang
dimaksudkan ayah dengan memberiku surat ini.
“Apa artinya?” tanyaku singkat.
Ayah membakar cerutu dimulutnya, menghembuskan asap tebal itu
ke udara.
“Kau akan mendapat tantangan pertamamu, Eric. Kau akan
mengepalai kantor cabang di Indonesia, saat ini kantor itu sedang berada di
ambang kehancuran. Banyak bank-bank yang tergabung dalam rantai finansial kita
sedang terkena kasus korupsi. Kau harus datang kesana dan menangani hal ini. Aku
yakin kau bisa” jawab ayahku tenang. Matanya mengawasi reaksiku bagai elang
yang mengawasi mangsanya, ayah menunggu jawabanku.
Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan saat ini. Indonesia?
Dimana tepatnya negara ini berada? Aku memang pernah mendengar negara ini di
berita-berita dunia, namun semua itu adalah berita-berita mengenai bom,
teroris, korupsi, skandal, perang saudara dan hal-hal buruk lain yang tak bisa
aku bayangkan. Ke negara seperti apa ayahku akan membuangku? Sungguh tak bisa
kupercaya, tantangan yang dia berikan sungguh teramat sulit.
Tapi haruskah aku mengeluh sekarang? Setelah selama ini aku
diam? Setelah akhirnya aku mendapat pengakuan ayahku? Bukankah bila aku
berhasil melewati tantangan ini kemudian jalanku untuk menjadi pengganti ayahku
akan semakin mulus? Aku tahu tidak semudah itu ayah akan memberikan
kedudukannya sekarang. Meski aku adalah anak ayahku, bukan berarti jabatan
tertinggi perusahaan akan otomatis diwariskan padaku.
Sejak pertama menginjakkan kakiku diperusahaan ini, aku
bersusah payah untuk mendapatkan kedudukanku sekarang. Aku bekerja sama
kerasnya dengan pekerja-pekerja lain, menjadi anak ayahku tidak serta merta
memberikanku kemewahan untuk bersantai-santai menikmati hasil jerih payah
ayahku selama ini.
Aku mendapatkan kemampuanku dari pengalamanku bekerja
diperusahaan ini selama lima tahun lamanya. Lima tahun yang panjang, melelahkan
dan penuh penderitaan. Aku tidak boleh menyerah sekarang. Setidaknya meski aku
belum yakin dengan masa depanku, kini aku memiliki tujuan untuk kukejar.
Mungkin di negara nun jauh disana dimana bahasanya pun tak kukenal, aku akan
menemukan seseorang yang kucari. Mungkin disana ada petunjuk mengenai
mimpi-mimpiku. Mungkin..
“Baiklah. Aku siap kapanpun” jawabku.
Ayahku tersenyum senang, dia kemudian menjabat tanganku lalu
kembali ke ruang tamu, meninggalkanku mematung memandangi berkas-berkas dalam
amplop itu. Berkas-berkas berisi laporan dan catatan mengenai bagaimana buruknya
manajemen bank-bank yang kami tangani di Indonesia. Dan kuhela nafasku,
menyesali keputusanku. Mungkin seharusnya aku berkata tidak.
Wah... Eric mo ke indonesia???
ReplyDeletehahha iya, mau jumpa fenns... lol
Deleteaaih,,,ntar ketemuin aq ma Eric ya cyiiiinn,,,,?? #puppyeyes,,,
ReplyDeletehhhahaha siapp!!
DeleteWaaahh siap2 menunggu kedatangan eric..#weeeww
ReplyDeleteº°˚˚°º♏:)Ą:)K:)Ä:)§:)Ǐ:)♓º°˚˚°º ya mba shin
jgn lupa jemput dibandara sambil bawa spanduk gede2 ya :D
DeleteWelcome to Indonesia, Darl
ReplyDelete*hug n kiss Eric*
Thanks mba Shin :*
sama2 sista :D
Deleteaku mau ikutan juga donk mbak shin
ReplyDeletejadi penasaran nih seganteng apa nih eric..
hahahahahaha..........ntar akunya berdiri dipaling belakang aja
hahaaha.. ya ya ya.. antri tiket ya ihihi
DeleteWah baru tau aq klo ada lnjutannyan dah di posting :)
ReplyDeleteThankZ mbak shin :)
Sist bagian 1000- I Kadek kupit Arya jaya & ni Komang tri liskarini kok ndak bs di klik knp...?
ReplyDeletekarena belum ada ceritanya. linknya aku ketik http://na.com lol kekwkwkwkkwkw
Deletemba shin bilangin eric klaw udah nyampe indonesia jng lupa mampir kpalembang y...
ReplyDeletemakasih mbg...
Eric mau ketemu aq di indo, hahahaa br smpet bacaa lanjut dunk mba shib sayang:*
ReplyDeletewew baru nemu yg ini aku ckckck Eric sdh di indo dong sekarang trs updatenya kapan #duaaggg#
ReplyDelete