Friday, March 8, 2013

Volcano Erupts - Chapter 2


Sebuah mobil Mercedes Benz hitam C250 Luxury keluaran tahun terakhir memasuki parkiran lobi hotel Sheraton. Turunlah tiga orang laki-laki dengan pakaian jas rapi licin bersama dengan seorang wanita dengan gaun gemerlap berhiaskan pernak-pernik perhiasan di sekujur tubuhnya. Wanita itu dengan langkah angkuh dan pandangan tinggi berjalan melenggak-lenggok dengan percaya diri ke dalam lobi hotel, bertanya kepada seorang karyawan hotel dengan gaya bangsawannya yang dibuat-buat.

“Ibumu akan mempermalukan kita, ingin rasanya aku bersembunyi dan pura-pura tak mengenalnya” keluh Luther pada kedua anaknya. Piter hanya terkekeh, sementara si bungsu Herald menertawakan tingkah ibunya.

“Aku akan menemani ibu agar dia tidak melakukan perbuatan yang membuat Dad malu. Setidaknya hingga acara ini usai kan, Dad?” seringai jahil Herald.

“Hoo.. Young man, aku tahu arti seringaimu itu. Kau merasa bisa lepas dari pandanganku malam ini, ha? Aku tak akan membiarkanmu membuat keributan lagi kali ini. Kau baru saja puber, keingintahuanmu akan membuatmu berakhir menjadi seorang ayah muda. Dan itu tidaklah lucu. Piter, awasi adikmu. Belum waktunya dia bermain api”

Piter mengunci leher Herald dengan lengannya, mereka kemudian tertawa bersama dan berjalan mengikuti ayah mereka dibelakang Nyonya Van Der Wilhem, Ratu Perhiasan.

“Oh, akhirnya tuan rumah kita tiba. Mr. dan Mrs Van Der Wilhem, silahkan ikuti saya menuju tempat duduk anda” sambut seorang kepala pramusaji pada rombongan itu.

Setelah mereka duduk, acara pun dimulai. Nampaknya pembukaan gedung terbaru mereka diselenggarakan di hotel ini, sebelum kemudian seminggu lagi akan diresmikan oleh pejabat pemerintah yang terkait di lokasi gedung yang asli.

Acara dimulai dengan sambutan dari pejabat pemerintahan yang memberi selamat kepada Van der Wilhem Building Company beserta anak perusahaannya, kemudian sambutan-sambutan lain yang diberikan oleh masing-masing dewan direksi, hingga sambutan terakhir diberikan oleh Mr. Luther Arya Van Der Wilhem, Presiden Direktur dan Komisaris Utama Van Der Wilhem Group.

“Terima kasih atas kesempatan yang berbahagia ini, mari kita panjatkan puja dan puji syukur ke hadapan Tuhan pencipta yang maha Esa.... Selain itu, pada kesempatan kali ini, saya juga bermaksud untuk mengumumkan satu hal penting kepada undangan semua. Bahwasanya, saya akan mengundurkan diri dari jabatan sebagai Presiden Direktur dan akan digantikan oleh anak sulung saya, Mr. Piter Volcano Van Der Wilhem. Tentunya kita semua sudah mengetahui kapasitas dari Mr. Piter, dan saya berharap semua dewan direksi, staf maupun karyawan akan berbesar hati dan ikut mendukung proses peralihan jabatan ini sehingga perusahaan kita akan semakin kokoh dan memimpin dalam jajaran bisnis kontruksi di Indonesia dan Asia Tenggara. Selamat malam”

Luther mengakhiri pidato panjangnya dan turun dari panggung diiringi tepuk tangan meriah para undangan, Piter menyambut pelukan ayahnya, dia telah mengetahui hal ini, dua bulan yang lalu mereka telah membicarakannya, meski pada awalnya Piter merasa belum pantas untuk menggantikan ayahnya, namun dengan dorongan semangat sang ayah, akhirnya Piter bersedia mengambil tanggung jawab itu.

“Jangan kecewakan ayah, Son”

“Tak akan, Dad”

Acara kemudian dilanjutkan dengan berbagai hiburan musik, lagu dan tari-tarian diatas panggung dengan sajian hidangan yang dibawakan oleh waiter-waitress di atas meja mereka. Hidangan Rijsttafel perpaduan citarasa makanan Indonesia dan Belanda yang beraneka ragam.

Setelah mencicipi makan malamnya, Luther dan Piter berpencar menemui tamu-tamu mereka, menyapa dan bercengkerama membicarakan kabar seputar bisnis perekonomian di Indonesia dan dunia. Topik yang cukup berat bagi Piter yang menderita sakit kepala tak tertahankan.

Kepalanya berputar dan berdenyut-denyut, nampaknya efek kurang tidur selama dua minggu belakangan telah mencapai klimaksnya. Dia berjanji pada dirinya akan menghabiskan waktunya seharian di atas ranjang esok dan tak akan bangun sebelum matahari terbit keesokan harinya. Untuk saat ini Piter bersyukur bisa melepaskan diri dari hiruk pikuk pesta yang membuatnya mengucurkan keringat dingin.

Saat berjalan dengan terhuyung di koridor ballroom, Piter menabrak seorang wanita muda yang sedang membawa kertas-kertas file ditangannya. Tak elak kertas-kertas itupun berhamburan dilantai. Merasa bersalah, Piter membantu wanita itu memungut kertas-kertas yang berserakan itu. Namun kepalanya terhuyung karena gerakan tiba-tiba dan membuatnya terduduk di lantai dengan kepala pening menusuk-nusuk.

Selama beberapa detik Piter merasa dunia runtuh dibawah kakinya, matanya berkunang-kunang dan tak bisa melihat pandangan di depannya. Hanya suara samar yang mampu ditangkap oleh pendengarannya. Suara lembut yang menggetarkan jiwanya, suara yang membuatnya ingin mencari tahu siapa pemiliknya.

Wanita itu membantunya bersandar di dinding masih dalam posisi terduduk di lantai. Dia tidak dapat mengangkat tubuh Piter, laki-laki itu berperawakan lebih besar dan tinggi daripada perawakan tubuh orang Indonesia kebanyakan.

Dengan tinggi lebih dari 180cm dan bentuk tubuh proporsional, wanita dengan tinggi 165cm dan berperawakan langsing itu bersusah payah menarik tubuh Piter agar dapat bersandar di dinding dan bukan berbaring di lantai yang mana akan semakin membuat kepalanya bertambah pening. Setelah menyeka keringat yang muncul di dahinya, wanita yang kini ikut bersimpuh di lantai itu memandang wajah Piter.

Wajah pucat kemerahan karena terkena sinar matahari itu masih memicingkan mata dan mengerutkan dahinya. Nampaknya sakit kepala yang dideritanya telah melumpuhkan kesadarannya sesaat. Rambut ikal bergelombang berwarna hitam kecoklatan emas tersisir rapi dengan butiran-butiran kecil keringat menempel di dahinya. Hidungnya yang mancung dan rahangnya yang kokoh memastikan laki-laki ini bukanlah keturunan Indonesia asli.

Saat matanya membuka dan meraih kesadarannya kembali, wanita itu dapat melihat bola mata biru pucat miliknya. Bola mata biru yang juga dimilikinya, bola mata yang membuatnya takjub, karena merasa bukan hanya dirinya yang memiliki warna mata aneh dilingkungannya.

Piter membuka matanya dan mendapati dirinya sedang dipandang dengan lekat oleh seorang wanita muda dengan pandangan penuh minat, mata mereka bertumbukan dan saat wanita itu menyadarinya, dia mengalihkan pandangannya. Piter dapat menangkap sedikit semburat merah yang muncul di pipi wanita itu. Dia tertangkap basah sedang memperhatikan wajah Piter. Dan sesuatu dalam hati laki-laki itu berdesir menyadari arti pandangan wanita di depannya itu.

Wanita itu tertarik padanya, seperti bagaimana dia juga tertarik pada wanita itu.

“Err.. Maafkan aku, bila kau bisa menolongku untuk berdiri, aku rasa kita menghalangi orang lalu-lalang” Piter melihat beberapa orang yang sedang berdiri menunggu mereka beranjak dari lantai koridor yang sempit.

Dengan kikuk wanita itu berdiri dan memberikan tangan kanannya pada Piter. Namun tubuhnya justru terhuyung karena tak sanggup mengangkat beban tubuh Piter. Dia pun berlabuh dengan telak dalam pelukan laki-laki itu. Tubuh mereka menegang karena pengaruh kedekatan mereka.

Tak ada yang berbicara. Suasana disekitar mereka terasa begitu sunyi, kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh pikiran-pikiran sahut menyahut tak jelas yang tak mampu mereka cerna. Tatapan mata mereka terkunci, saling mencari tahu mengapa begitu sulit untuk lepas dari tautan itu. Tangan Piter kini telah merengkuh tubuh si wanita dan mendesakan tubuh mereka lebih dekat. Nafas beratnya jatuh menimpa wajah wanita yang sedang dipeluknya.

Sebelum dia sempat berbuat hal yang akan disesalinya kemudian, sebuah denyutan menusuk kembali dia rasakan di kepalanya. Membawanya kembali pada kenyataan dan situasi yang sangat tidak mengenakan.

Dengan cepat Piter melepaskan pelukan tangannya dari tubuh si wanita yang kemudian berdiri, wajahnya semerah buah tomat. Piter kemudian berdiri setelah bertumpu pada dinding di belakangnya. Untuk sesaat mereka tak saling berbicara, suasana kikuk terasa kental di udara, mereka tak tahu harus memulai dari mana.

Piter tak pernah membayangkan sebuah tabrakan kecil akan berakhir dengan pelukan panas dan sebuah kesempatan langka untuk mencicipi bibir tipis wanita rupawan di depannya.

“Ehem.. Maaf, aku rasa aku harus kembali. Ehm.. tunggu, apakah kau pegawai disini? Apakah kau tahu dimana apotiknya? Aku ingin membeli obat sakit kepala, aku rasa aku tak akan bertahan bila lebih lama lagi disini”

“Maaf, tapi saya bukan pegawai disini. Tapi bila anda tidak keberatan, saya biasa membawa obat sakit kepala bersama saya, pain killer nampaknya cukup bagus untuk meringankan sakit kepala yang tak tertahankan. Jangan khawatir, obat ini aman, bukan racun” si wanita tersenyum miris saat mengucapkan hal itu.

“Oh.. Boleh aku minta satu? Aku akan menggantinya di kemudian hari..”

Wanita itu membuka tas bahunya dan mengambil satu pepel obat dan menyerahkan sebutir pain killer kepada Piter.

“Aku akan mengambilkan anda air minum, sebentar ya” nampaknya wanita ini sudah siap dengan semuanya, dia mengeluarkan sebuah air mineral gelas dan membukakannya untuk Piter.

Setelah meminum obatnya, Piter menunjuk pada tas bahu wanita itu.

“Kau selalu membawa air minum dalam tasmu? Aku penasaran apalagi yang kau bawa disana” senyumnya miris, sakit kepalanya belum mereda, apa yang diharapkannya saat baru sedetik yang lalu dia meminum obat itu.

Pipi wanita itu kembali bersemu merah, Piter telah mengetahui rahasia yang disimpannya. Wanita itu terbiasa membawa obat-obatan dalam tasnya, hanya sedikit orang yang tahu mengenai kebiasaan anehnya itu. Dalam tasnya, terdapat beberapa jenis obat sakit kepala, pain killer, obat flu, obat maag, obat diare, balsem, lotion cair untuk gigitan serangga, koyo tempel hingga minyak angin.

Orang yang tak mengenalnya akan mengira dia penjual obat berjalan dan bukannya salah satu staf dekorasi dari Event organizer yang sedang mengorganisir acara pesta ini.

Piter merasa senang dapat membuat pipi wanita itu berubah merah, dia menemukan sebuah kesenangan baru selain marah-marah kepada bawahannya. Wanita yang sangat menarik.

“Siapa namamu, nona? Aku Piter” tanya Piter  menyodorkan tangan kanannya untuk disambut wanita itu.

Dengan ragu, wanita itu menjabat tangan Piter dan menyebutkan namanya.

“Liza. Namaku Liza dari Elizabeth” sebuah senyum simpul terlihat diwajahnya.

“Liza.. Kenapa tidak Eliza? Terdengar lebih tepat dengan kecantikanmu.. er.. maksudku.. Liza terdengar nama yang sangat tua. Er.. Aku tidak bermaksud menyinggungmu” Piter salah tingkah dengan kata-kata yang diucapkannya.

Liza meringis sedih. “Tidak, Liza adalah nama panggilan yang diberikan oleh ibuku yang sudah meninggal kepadaku. Hanya itu caraku mengingat ibu” jawabnya pelan.

“..Maafkan aku.. Aku tidak bermaksud membuatmu mengingat kenangan sedihmu..” Piter mulai merasakan kepalanya ringan, obat yang Liza berikan padanya mulai bekerja dengan baik.

Liza tersenyum padanya dan membungkuk mengambil kertas-kertas yang belum sempat dipungutnya. Piter membantunya memunguti kertas-kertas itu namun Liza mencegahnya.

“Tidak usah, nanti anda jatuh lagi” katanya sambil tertawa.

“..Kau senang? Ya, kau terlihat senang bisa menertawakanku, ya?” Piter pun ikut tertawa.

“Baiklah, senang bertemu dengan anda Tuan Piter. Aku akan kembali ke dalam, mungkin mereka sudah mencari ku. Acara ini akan berakhir satu jam lagi, jadi kami memiliki sedikit waktu untuk bersiap-siap untuk pementasan terakhir. Semoga sakit kepala anda cepat hilang”

“Sebentar.. Bolehkah aku memiliki nomer handphonemu? Aku belum sempat berterima kasih.. dan.. Aku juga harus mengembalikan obat dan air tadi” Piter memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya yang terawat baik.

Liza tersenyum kecil. “Tidak usah, aku masih punya banyak obat dan air lain. Itu bukan apa-apa” jawabnya.

“..Aku memaksa..” Piter tak ingin ditolak.

Liza menatap sejenak wajah laki-laki di depannya. Dia tidak akan berhenti sebelum mendapatkan keinginannya. Dengan enggan Liza mendiktekan nomer handphone yang telah dihafal oleh Piter dalam sekali dengar. Dia memiliki otak yang pintar.

“Thanks.. Selamat bekerja kalau begitu. Aku akan menghubungimu” Piter memasukan tangan kedalam saku celananya. Memandang punggung Liza yang bergerak menjauh menuju ruang pesta.

“Cantik.. sangat cantik.. Dan baik hati. Hm.. aku rasa aku telah jatuh cinta, Dad..” bisik Piter pada dirinya.

~~~~

“Kak Piter, sampai kapan kau akan berada di kamar mandi? Aku ingin bokerrr....” teriak Herald dari luar kamar mandinya.

Dengan enggan Piter keluar dari kamar mandinya, rambut dan dada telanjangnya masih basah, memperlihatkan rambut-rambut hitam tipis yang memenuhi dada dan perutnya yang berotot. Hanya sebuah handuk putih melilit di pinggangnya.

Dengan wajah cemberut dia melotot pada adiknya.

“Memang kenapa dengan kamar mandi dikamarmu? Kamar mandi di kamar Dad, kamar mandi ruang tamu, kamar mandi ruang keluarga, kamar mandi pembantu, kenapa harus kamar mandiku?” keluhnya kesal. Herald selalu mengganggu waktu mandinya. Hari ini minggu dan Piter telah menyiapkan sebuah rencana, dan dia telah mengkhususkan waktu untuk membersihkan tubuhnya secara menyeluruh. Namun adiknya yang bengal selalu mengganggunya di saat-saat krusial.

“Karena hanya dikamar mandimu ada televisi. Aku bisa buang hajat sambil menonton tivi” kata Herald sambil menutup pintu kamar mandi itu.

“Kenapa tidak pasang saja televisi dikamar mandimu?” teriak Piter pada adiknya. Dia melepaskan satu-satunya kain yang menyembunyikan tubuhnya, memperlihatkan tubuh telanjangnya di dalam cermin dan menganggumi bentuk tubuh laki-lakinya.

Damn, I’m so gorgeous. Wanita mana yang tak akan bertekuk lutut padaku?” Piter tertawa senang melihat tubuhnya. Dan pikirannya melayang pada sosok Eliza.. Liza.. Dia lebih senang memanggil wanita itu dengan nama pertama, terdengar lebih lembut..nama yang akan dibisikannya saat mereka berbaring di atas ranjang dan memadu kasih. Seketika kejantanan Piter bereaksi pada pikirannya.

“Oh.. Kau sungguh gampangan junior..” rutuk Piter pada kejantanannya yang telah setengah mengeras.

Lima belas menit kemudian Piter telah menyisir rambutnya sambil bersiul. Mengoleskan sedikit cream pada wajahnya, dan dia siap..bertemu dengan pujaan hatinya. Eliza..beth..

Dia pun tersenyum dan menyambar kunci mobil, dompet dan handphonenya. Berharap Eliza mau menemuinya di sela-sela pekerjaannya mengurus sebuah event launching sepeda motor di parkiran sebuah Mall di Jakarta. Piter tidak perduli meski matahari panas menyengat kulit pucatnya, dia akan bertemu dengan wanita yang mampu membuat panasnya dunia terasa sejuk, wanita yang mampu membuat dinginnya malam menjadi hangat. Wanita yang pelan-pelan masuk ke dalam hatinya yang gelap. Hati yang belum pernah mengenal cinta.

~~~~

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...