Sebuah mobil Mercedes Benz hitam C250 Luxury keluaran tahun terakhir memasuki parkiran lobi hotel Sheraton. Turunlah tiga orang laki-laki dengan pakaian jas rapi licin bersama dengan seorang wanita dengan gaun gemerlap berhiaskan pernak-pernik perhiasan di sekujur tubuhnya. Wanita itu dengan langkah angkuh dan pandangan tinggi berjalan melenggak-lenggok dengan percaya diri ke dalam lobi hotel, bertanya kepada seorang karyawan hotel dengan gaya bangsawannya yang dibuat-buat.
“Ibumu akan mempermalukan kita, ingin rasanya aku bersembunyi
dan pura-pura tak mengenalnya” keluh Luther pada kedua anaknya. Piter hanya terkekeh,
sementara si bungsu Herald menertawakan tingkah ibunya.
“Aku akan menemani ibu agar dia tidak melakukan perbuatan
yang membuat Dad malu. Setidaknya hingga acara ini usai kan, Dad?” seringai
jahil Herald.
“Hoo.. Young man,
aku tahu arti seringaimu itu. Kau merasa bisa lepas dari pandanganku malam ini,
ha? Aku tak akan membiarkanmu membuat keributan lagi kali ini. Kau baru saja
puber, keingintahuanmu akan membuatmu berakhir menjadi seorang ayah muda. Dan
itu tidaklah lucu. Piter, awasi adikmu. Belum waktunya dia bermain api”
Piter mengunci leher Herald dengan lengannya, mereka kemudian
tertawa bersama dan berjalan mengikuti ayah mereka dibelakang Nyonya Van Der
Wilhem, Ratu Perhiasan.
“Oh, akhirnya tuan rumah kita tiba. Mr. dan Mrs Van Der
Wilhem, silahkan ikuti saya menuju tempat duduk anda” sambut seorang kepala
pramusaji pada rombongan itu.
Setelah mereka duduk, acara pun dimulai. Nampaknya pembukaan
gedung terbaru mereka diselenggarakan di hotel ini, sebelum kemudian seminggu
lagi akan diresmikan oleh pejabat pemerintah yang terkait di lokasi gedung yang
asli.
Acara dimulai dengan sambutan dari pejabat pemerintahan yang
memberi selamat kepada Van der Wilhem Building Company beserta anak
perusahaannya, kemudian sambutan-sambutan lain yang diberikan oleh
masing-masing dewan direksi, hingga sambutan terakhir diberikan oleh Mr. Luther
Arya Van Der Wilhem, Presiden Direktur dan Komisaris Utama Van Der Wilhem
Group.
“Terima kasih atas kesempatan yang berbahagia ini, mari kita
panjatkan puja dan puji syukur ke hadapan Tuhan pencipta yang maha Esa....
Selain itu, pada kesempatan kali ini, saya juga bermaksud untuk mengumumkan
satu hal penting kepada undangan semua. Bahwasanya, saya akan mengundurkan diri
dari jabatan sebagai Presiden Direktur dan akan digantikan oleh anak sulung
saya, Mr. Piter Volcano Van Der Wilhem. Tentunya kita semua sudah mengetahui
kapasitas dari Mr. Piter, dan saya berharap semua dewan direksi, staf maupun
karyawan akan berbesar hati dan ikut mendukung proses peralihan jabatan ini
sehingga perusahaan kita akan semakin kokoh dan memimpin dalam jajaran bisnis
kontruksi di Indonesia dan Asia Tenggara. Selamat malam”
Luther mengakhiri pidato panjangnya dan turun dari panggung
diiringi tepuk tangan meriah para undangan, Piter menyambut pelukan ayahnya,
dia telah mengetahui hal ini, dua bulan yang lalu mereka telah membicarakannya,
meski pada awalnya Piter merasa belum pantas untuk menggantikan ayahnya, namun
dengan dorongan semangat sang ayah, akhirnya Piter bersedia mengambil tanggung
jawab itu.
“Jangan kecewakan ayah, Son”
“Tak akan, Dad”
Acara kemudian dilanjutkan dengan berbagai hiburan musik, lagu dan tari-tarian diatas panggung dengan sajian hidangan yang dibawakan oleh waiter-waitress di atas meja mereka. Hidangan Rijsttafel perpaduan citarasa makanan Indonesia dan Belanda yang beraneka ragam.
Setelah mencicipi makan malamnya, Luther dan Piter berpencar
menemui tamu-tamu mereka, menyapa dan bercengkerama membicarakan kabar seputar
bisnis perekonomian di Indonesia dan dunia. Topik yang cukup berat bagi Piter
yang menderita sakit kepala tak tertahankan.
Kepalanya berputar dan berdenyut-denyut, nampaknya efek
kurang tidur selama dua minggu belakangan telah mencapai klimaksnya. Dia
berjanji pada dirinya akan menghabiskan waktunya seharian di atas ranjang esok
dan tak akan bangun sebelum matahari terbit keesokan harinya. Untuk saat ini
Piter bersyukur bisa melepaskan diri dari hiruk pikuk pesta yang membuatnya
mengucurkan keringat dingin.
Saat berjalan dengan terhuyung di koridor ballroom, Piter menabrak seorang wanita
muda yang sedang membawa kertas-kertas file ditangannya. Tak elak kertas-kertas
itupun berhamburan dilantai. Merasa bersalah, Piter membantu wanita itu
memungut kertas-kertas yang berserakan itu. Namun kepalanya terhuyung karena
gerakan tiba-tiba dan membuatnya terduduk di lantai dengan kepala pening
menusuk-nusuk.
Selama beberapa detik Piter merasa dunia runtuh dibawah
kakinya, matanya berkunang-kunang dan tak bisa melihat pandangan di depannya.
Hanya suara samar yang mampu ditangkap oleh pendengarannya. Suara lembut yang
menggetarkan jiwanya, suara yang membuatnya ingin mencari tahu siapa
pemiliknya.
Wanita itu membantunya bersandar di dinding masih dalam
posisi terduduk di lantai. Dia tidak dapat mengangkat tubuh Piter, laki-laki
itu berperawakan lebih besar dan tinggi daripada perawakan tubuh orang
Indonesia kebanyakan.
Dengan tinggi lebih dari 180cm dan bentuk tubuh proporsional,
wanita dengan tinggi 165cm dan berperawakan langsing itu bersusah payah menarik
tubuh Piter agar dapat bersandar di dinding dan bukan berbaring di lantai yang
mana akan semakin membuat kepalanya bertambah pening. Setelah menyeka keringat
yang muncul di dahinya, wanita yang kini ikut bersimpuh di lantai itu memandang
wajah Piter.
Wajah pucat kemerahan karena terkena sinar matahari itu masih
memicingkan mata dan mengerutkan dahinya. Nampaknya sakit kepala yang
dideritanya telah melumpuhkan kesadarannya sesaat. Rambut ikal bergelombang
berwarna hitam kecoklatan emas tersisir rapi dengan butiran-butiran kecil
keringat menempel di dahinya. Hidungnya yang mancung dan rahangnya yang kokoh
memastikan laki-laki ini bukanlah keturunan Indonesia asli.
Saat matanya membuka dan meraih kesadarannya kembali, wanita
itu dapat melihat bola mata biru pucat miliknya. Bola mata biru yang juga
dimilikinya, bola mata yang membuatnya takjub, karena merasa bukan hanya
dirinya yang memiliki warna mata aneh dilingkungannya.
Piter membuka matanya dan mendapati dirinya sedang dipandang
dengan lekat oleh seorang wanita muda dengan pandangan penuh minat, mata mereka
bertumbukan dan saat wanita itu menyadarinya, dia mengalihkan pandangannya.
Piter dapat menangkap sedikit semburat merah yang muncul di pipi wanita itu. Dia
tertangkap basah sedang memperhatikan wajah Piter. Dan sesuatu dalam hati
laki-laki itu berdesir menyadari arti pandangan wanita di depannya itu.
Wanita itu tertarik padanya, seperti bagaimana dia juga
tertarik pada wanita itu.
“Err.. Maafkan aku, bila kau bisa menolongku untuk berdiri,
aku rasa kita menghalangi orang lalu-lalang” Piter melihat beberapa orang yang
sedang berdiri menunggu mereka beranjak dari lantai koridor yang sempit.
Dengan kikuk wanita itu berdiri dan memberikan tangan
kanannya pada Piter. Namun tubuhnya justru terhuyung karena tak sanggup
mengangkat beban tubuh Piter. Dia pun berlabuh dengan telak dalam pelukan
laki-laki itu. Tubuh mereka menegang karena pengaruh kedekatan mereka.
Tak ada yang berbicara. Suasana disekitar mereka terasa
begitu sunyi, kepala mereka masing-masing dipenuhi oleh pikiran-pikiran sahut
menyahut tak jelas yang tak mampu mereka cerna. Tatapan mata mereka terkunci,
saling mencari tahu mengapa begitu sulit untuk lepas dari tautan itu. Tangan
Piter kini telah merengkuh tubuh si wanita dan mendesakan tubuh mereka lebih
dekat. Nafas beratnya jatuh menimpa wajah wanita yang sedang dipeluknya.
Sebelum dia sempat berbuat hal yang akan disesalinya
kemudian, sebuah denyutan menusuk kembali dia rasakan di kepalanya. Membawanya
kembali pada kenyataan dan situasi yang sangat tidak mengenakan.
Dengan cepat Piter melepaskan pelukan tangannya dari tubuh si
wanita yang kemudian berdiri, wajahnya semerah buah tomat. Piter kemudian
berdiri setelah bertumpu pada dinding di belakangnya. Untuk sesaat mereka tak
saling berbicara, suasana kikuk terasa kental di udara, mereka tak tahu harus
memulai dari mana.
Piter tak pernah membayangkan sebuah tabrakan kecil akan
berakhir dengan pelukan panas dan sebuah kesempatan langka untuk mencicipi
bibir tipis wanita rupawan di depannya.
“Ehem.. Maaf, aku rasa aku harus kembali. Ehm.. tunggu,
apakah kau pegawai disini? Apakah kau tahu dimana apotiknya? Aku ingin membeli
obat sakit kepala, aku rasa aku tak akan bertahan bila lebih lama lagi disini”
“Maaf, tapi saya bukan pegawai disini. Tapi bila anda tidak
keberatan, saya biasa membawa obat sakit kepala bersama saya, pain killer nampaknya cukup bagus untuk
meringankan sakit kepala yang tak tertahankan. Jangan khawatir, obat ini aman,
bukan racun” si wanita tersenyum miris saat mengucapkan hal itu.
“Oh.. Boleh aku minta satu? Aku akan menggantinya di kemudian
hari..”
Wanita itu membuka tas bahunya dan mengambil satu pepel obat
dan menyerahkan sebutir pain killer
kepada Piter.
“Aku akan mengambilkan anda air minum, sebentar ya” nampaknya
wanita ini sudah siap dengan semuanya, dia mengeluarkan sebuah air mineral
gelas dan membukakannya untuk Piter.
Setelah meminum obatnya, Piter menunjuk pada tas bahu wanita
itu.
“Kau selalu membawa air minum dalam tasmu? Aku penasaran
apalagi yang kau bawa disana” senyumnya miris, sakit kepalanya belum mereda,
apa yang diharapkannya saat baru sedetik yang lalu dia meminum obat itu.
Pipi wanita itu kembali bersemu merah, Piter telah mengetahui
rahasia yang disimpannya. Wanita itu terbiasa membawa obat-obatan dalam tasnya,
hanya sedikit orang yang tahu mengenai kebiasaan anehnya itu. Dalam tasnya,
terdapat beberapa jenis obat sakit kepala, pain
killer, obat flu, obat maag, obat diare, balsem, lotion cair untuk gigitan
serangga, koyo tempel hingga minyak angin.
Orang yang tak mengenalnya akan mengira dia penjual obat
berjalan dan bukannya salah satu staf dekorasi dari Event organizer yang sedang mengorganisir acara pesta ini.
Piter merasa senang dapat membuat pipi wanita itu berubah
merah, dia menemukan sebuah kesenangan baru selain marah-marah kepada
bawahannya. Wanita yang sangat menarik.
“Siapa namamu, nona? Aku Piter” tanya Piter menyodorkan tangan kanannya untuk disambut
wanita itu.
Dengan ragu, wanita itu menjabat tangan Piter dan menyebutkan
namanya.
“Liza. Namaku Liza dari Elizabeth” sebuah senyum simpul
terlihat diwajahnya.
“Liza.. Kenapa tidak Eliza? Terdengar lebih tepat dengan
kecantikanmu.. er.. maksudku.. Liza terdengar nama yang sangat tua. Er.. Aku
tidak bermaksud menyinggungmu” Piter salah tingkah dengan kata-kata yang
diucapkannya.
Liza meringis sedih. “Tidak, Liza adalah nama panggilan yang
diberikan oleh ibuku yang sudah meninggal kepadaku. Hanya itu caraku mengingat
ibu” jawabnya pelan.
“..Maafkan aku.. Aku tidak bermaksud membuatmu mengingat
kenangan sedihmu..” Piter mulai merasakan kepalanya ringan, obat yang Liza
berikan padanya mulai bekerja dengan baik.
Liza tersenyum padanya dan membungkuk mengambil kertas-kertas
yang belum sempat dipungutnya. Piter membantunya memunguti kertas-kertas itu
namun Liza mencegahnya.
“Tidak usah, nanti anda jatuh lagi” katanya sambil tertawa.
“..Kau senang? Ya, kau terlihat senang bisa menertawakanku,
ya?” Piter pun ikut tertawa.
“Baiklah, senang bertemu dengan anda Tuan Piter. Aku akan
kembali ke dalam, mungkin mereka sudah mencari ku. Acara ini akan berakhir satu
jam lagi, jadi kami memiliki sedikit waktu untuk bersiap-siap untuk pementasan
terakhir. Semoga sakit kepala anda cepat hilang”
“Sebentar.. Bolehkah aku memiliki nomer handphonemu? Aku
belum sempat berterima kasih.. dan.. Aku juga harus mengembalikan obat dan air
tadi” Piter memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya yang terawat baik.
Liza tersenyum kecil. “Tidak usah, aku masih punya banyak
obat dan air lain. Itu bukan apa-apa” jawabnya.
“..Aku memaksa..” Piter tak ingin ditolak.
Liza menatap sejenak wajah laki-laki di depannya. Dia tidak
akan berhenti sebelum mendapatkan keinginannya. Dengan enggan Liza mendiktekan
nomer handphone yang telah dihafal oleh Piter dalam sekali dengar. Dia memiliki
otak yang pintar.
“Thanks.. Selamat bekerja kalau begitu. Aku akan
menghubungimu” Piter memasukan tangan kedalam saku celananya. Memandang
punggung Liza yang bergerak menjauh menuju ruang pesta.
“Cantik.. sangat cantik.. Dan baik hati. Hm.. aku rasa aku
telah jatuh cinta, Dad..” bisik Piter pada dirinya.
~~~~
“Kak Piter, sampai kapan kau akan berada di kamar mandi? Aku
ingin bokerrr....” teriak Herald dari luar kamar mandinya.
Dengan enggan Piter keluar dari kamar mandinya, rambut dan
dada telanjangnya masih basah, memperlihatkan rambut-rambut hitam tipis yang
memenuhi dada dan perutnya yang berotot. Hanya sebuah handuk putih melilit di
pinggangnya.
Dengan wajah cemberut dia melotot pada adiknya.
“Memang kenapa dengan kamar mandi dikamarmu? Kamar mandi di
kamar Dad, kamar mandi ruang tamu, kamar mandi ruang keluarga, kamar mandi
pembantu, kenapa harus kamar mandiku?” keluhnya kesal. Herald selalu mengganggu
waktu mandinya. Hari ini minggu dan Piter telah menyiapkan sebuah rencana, dan
dia telah mengkhususkan waktu untuk membersihkan tubuhnya secara menyeluruh.
Namun adiknya yang bengal selalu mengganggunya di saat-saat krusial.
“Karena hanya dikamar mandimu ada televisi. Aku bisa buang
hajat sambil menonton tivi” kata Herald sambil menutup pintu kamar mandi itu.
“Kenapa tidak pasang saja televisi dikamar mandimu?” teriak
Piter pada adiknya. Dia melepaskan satu-satunya kain yang menyembunyikan
tubuhnya, memperlihatkan tubuh telanjangnya di dalam cermin dan menganggumi
bentuk tubuh laki-lakinya.
“Damn, I’m so gorgeous.
Wanita mana yang tak akan bertekuk lutut padaku?” Piter tertawa senang melihat
tubuhnya. Dan pikirannya melayang pada sosok Eliza.. Liza.. Dia lebih senang
memanggil wanita itu dengan nama pertama, terdengar lebih lembut..nama yang
akan dibisikannya saat mereka berbaring di atas ranjang dan memadu kasih.
Seketika kejantanan Piter bereaksi pada pikirannya.
“Oh.. Kau sungguh gampangan junior..” rutuk Piter pada
kejantanannya yang telah setengah mengeras.
Lima belas menit kemudian Piter telah menyisir rambutnya
sambil bersiul. Mengoleskan sedikit cream pada wajahnya, dan dia siap..bertemu
dengan pujaan hatinya. Eliza..beth..
Dia pun tersenyum dan menyambar kunci mobil, dompet dan handphonenya.
Berharap Eliza mau menemuinya di sela-sela pekerjaannya mengurus sebuah event launching sepeda motor di parkiran
sebuah Mall di Jakarta. Piter tidak perduli meski matahari panas menyengat
kulit pucatnya, dia akan bertemu dengan wanita yang mampu membuat panasnya
dunia terasa sejuk, wanita yang mampu membuat dinginnya malam menjadi hangat.
Wanita yang pelan-pelan masuk ke dalam hatinya yang gelap. Hati yang belum
pernah mengenal cinta.
~~~~
No comments:
Post a Comment