“Ingat.. Jangan pernah menyusahkan paman itu, kalau dia
berkunjung kesini baik-baiklah padanya, agar dia menyukaimu. Mengerti kan
sayang?”
“Iya, ma.. Aku mengerti.. Tapi siapa paman itu? Kenapa dia
belakangan sering kesini?” tanya bocah kecil lugu itu pada ibunya.
“Dia hanya seorang paman yang baik hati.. Ayo masuk ke
kamarmu, sudah waktunya tidur” dengan senyum misterius si ibu meninggalkan
anaknya untuk menemui si paman yang sedang menunggunya di ruang tamu.
“Dia sudah tidur?” tanya laki-laki berusia awal empat puluhan
itu pada ibu si anak. Dia sedang mengendurkan dasi kemejanya saat si ibu
meletakan secangkir kopi untuknya.
“Sudah, sebentar lagi dia pasti terlelap” si ibu duduk
disamping si paman, mereka saling tersenyum.
“Maafkan aku, sudah lama aku tidak kesini. Pekerjaan di
kantor sangat menyita waktuku, belum lagi anak keduaku baru saja lahir. Aku
tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama kalian” kata laki-laki itu meminta
maaf. Dia menyesap kopinya dengan nikmat.
“Jangan berkata begitu, saya tahu anda sangat sibuk. Bisa
mampir kesini hari ini saya sudah bahagia..”
“Aku bersalah pada kalian, maafkan. Aku berjanji lain kali akan
lebih baik. Oh ya, bagaimana dengan uang bulananmu? Apakah masih cukup? Besok
aku berencana mengirim sedikit uang, untuk sekolah si kecil. Setelah dia tamat
SD, meski mendapat beasiswa pasti akan memerlukan banyak uang untuk membeli
alat-alat sekolah, kan?”
“Jangan, tidak usah. Uang yang anda berikan terakhir masih
cukup, saya tidak enak menerima bantuan anda terus. Bahkan anda membuatkan
tabungan untuk si kecil. Saya malu..”
“Shh..shh.. Kenapa kau masih memanggilku dengan anda? Hanya
karena kau pernah menjadi pegawaiku lalu kau harus memanggilku seperti itu
terus-terusan? Kita adalah keluarga, aku mencintaimu dan si kecil.. Jangan
pernah menganggap dirimu kurang dari itu, ya..” si paman mengecup kening wanita
disampingnya, usianya yang berjarak sepuluh tahun tak terlalu kontras, laki-laki
itu memiliki wajah putih bersih terawat, wajah seorang blasteran Indonesia. Dia
termasuk tampan dan masih segar bugar meski usianya sudah memasuki kepala
empat.
“Kopi buatanmu memang paling enak di dunia” selorohnya.
“Tuan.. Anda membuat saya malu.. Saya tak akan pernah bisa
memanggil anda selain ini. Saya tidak pantas”
Laki-laki itu menghela nafasnya, telah berkali-kali ia
meminta si wanita untuk memanggil namanya, namun tak pernah diturutinya. Dengan
enggan laki-laki itu meletakan cangkirnya diatas meja.
“Ti.. Sudah berapa lama kita saling mengenal? Bahkan kita
sudah seperti sekarang ini? Kau tidak tahu betapa arti dirimu dalam hidupku,
kau lah tempatku mengadu dan berkeluh kesah selama ini. Tempatku melepaskan
segala penat dan frustasiku yang tak bisa dihadapi oleh keluargaku. Kau lah
satu-satunya wanita yang pernah mengerti aku, yang pernah mencintaiku dengan
tulus. Yang pernah aku cintai sedalam ini. Aku mencintaimu Ti.. Aku akan
menikahimu, meski hanya sebagai istri kedua, karena hanya itu yang bisa aku
berikan padamu. Tapi aku tak ingin kau bertemu dengan keluarga besarku, aku tak
ingin mereka menghancurkanmu. Aku tak bisa melihatmu menderita, Ti.
Bersabarlah.. Sebentar lagi semua akan membaik dan aku akan mengajakmu ke
catatan sipil. Kita akan resmi menjadi suami istri, Ti. Kau dengar itu? Kau
akan menjadi istriku, aku akan menjadi suamimu. Dan si kecil.. dalam rapor
sekolahnya akhirnya akan tercantumkan namaku. Nama yang pantas disandangnya,
anak perempuanku yang manis, yang sangat pintar seperti bapaknya, yang secantik
ibunya. Kalian adalah belahan jiwaku. Kalian pantas dan berharga bagiku”
Si ibu menangis, dia gembira namun sekaligus sedih. Jalan
hidupnya yang terlunta-lunta dengan seorang anak perempuannya selama ini akhirnya mulai mendapat sedikit
kebahagiaan. Hidup sebagai seorang singel
parent bagi anaknya membuatnya tegar dalam menghadapi cobaan. Diusir dan
dikucilkan dari rumah keluarganya karena mengandung seorang bayi tanpa suami,
yang bahkan tak mau dia sebutkan nama ayah si bayi itu, karena dia tidak ingin
menghancurkan keluarga dari laki-laki
yang menghamilinya tanpa sengaja.
Sebuah gairah yang timbul dari seringnya mereka melewatkan
malam-malam lembur berdua dalam kantor yang sepi, membereskan pekerjaan
bertumpuk-tumpuk yang tak ada habisnya. Saat secara tak sengaja tubuh mereka
bersentuhan, getar-getar listrik itu menjalari tubuh mereka dan menghantam
keduanya dengan arus gairah yang tak terbendung.
Laki-laki itu seharusnya bisa mengontrol gairahnya, namun
tidak. Rupanya selama ini dia telah memendam perasaan dan gairahnya pada
pegawainya itu. Situasi dan suasana yang mendukung membawanya ke dalam gairah
yang menuntut pelepasan tanpa kompromi. Malam itu si wanita, ibu si anak telah
direnggut keperawanannya oleh boss nya dan mereka menyesali apa yang telah
terjadi malam itu.
Saat si ibu mengetahui dirinya hamil, pemandangan keluarga
bahagia boss nya terpampang nyata di depan matanya. Sebuah keluarga dengan
seorang anak yang nampak begitu gembira turun dari mobil mereka untuk masuk ke
dalam kantor perusahaan. Si ibu tidak sampai hati memisahkan keluarga itu dan
menjadi wanita penghancur rumah tangga orang lain, akhirnya dia memutuskan
mengundurkan diri dan pergi dari perusahaan itu, jauh-jauh hingga laki-laki itu
tak pernah dapat menemukannya lagi.
Hingga enam bulan yang lalu, saat laki-laki itu sedang
menunggu rekan bisnisnya di sebuah Coffee
Shop dan ingatannya yang tak pernah kandas akan si wanita, mampu mengenali
sosok wanita itu meski dari kejauhan.
Melupakan pertemuan bisnisnya, laki-laki itu mengikuti arah
si wanita hingga berhenti di sebuah rumah kontrakan mungil dan seorang anak
perempuan kecil berusia delapan tahun menyambut si wanita itu dengan suka cita.
Anak kecil yang mengingatkannya pada wajah ibu kandungnya sendiri, pada senyumannya
sendiri saat dia berkaca di dalam cermin, pada mata kebiruannya karena memiliki
darah keturunan Belanda, darahnya sendiri. Anak kecil itu adalah anaknya, dan
dia mengetahuinya seketika.
Dari balik kemudinya, laki-laki itu menangkupkan wajahnya.
Membayangkan segala kesusahan yang dia berikan pada hidup wanita yang
dicintainya dan pada anak perempuannya. Dia ingin memiliki seorang anak
perempuan, dan disinilah dia, duduk dibalik kemudi mobil mewahnya, menatap dari
kejauhan senyum anak kandungnya, senyum yang mungkin tak akan pernah ditujukan kepadanya
bila dia tidak mendekati mereka.
“Siapa namanya?” tanya si laki-laki saat menginjakan kakinya
dirumah itu, sebulan kemudian.
Tiga puluh hari yang panjang bagi usahanya mendekati ibu dari
anak perempuannya. Tiga puluh hari yang menyesakkan hati mereka karena
banyaknya penolakan, ancaman dan pengharapan. Tiga puluh hari yang berbahaya
karena gairah lama yang hidup kembali, menggebu-gebu dan membara lebih besar
dari sembilan tahun yang lalu.
“Elizabeth, seperti ratu Inggris. Aku memanggilnya Liz, Liza”
“Elizabeth.. Nama yang sangat anggun, kelak dia akan menjadi
seorang Lady yang anggun nan rupawan.
Elizabeth Suteja Van Der Wilhem”
Setelah menyesap tetes kopi terakhirnya, laki-laki itu
merengkuh tubuh wanita yang dicintainya dan membopongnya masuk ke dalam kamar
bagai sepasang pengantin baru. Mereka melewati malam itu dalam desahan nafas
saling sahut menyahut dan gairah yang panas membara. Gairah berbahaya yang
membawa mereka semakin dalam mereguk nikmat percintaan sepasang manusia.
“Nanti siang aku akan men-transfer uang pada rekening Liza,
hingga dua minggu kemudian aku harus ke luar negeri. Aku akan sangat merindukan
kalian, aku akan menelphonemu dari Inggris ya. Secepatnya setelah itu, kita
akan menikah. Dan Liza.. anak kecil itu akan memanggilku ayah.. Akhirnya aku
bisa mengakui Liza pada dunia. Ti.. Bagaimana aku harus berterima kasih padamu?
Telah menghadirkan gadis kecil ini ke dunia, buah hati kita. Kebanggaanku”
mereka berpelukan dibalik selimut, fajar mulai menyingsing namun mereka belum
berniat untuk melepaskan pelukan mereka.
Seolah begitu berat berpisah untuk yang kesekian kalinya.
Laki-laki itu tidak mungkin tinggal dirumah ini, keluarganya akan curiga dan
menyelidiki keberadaannya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah keluarganya
mengetahui tentang wanita ini dan anak mereka. Dia tidak ingin membuat gempar
keluarga besarnya di Indonesia ataupun di Belanda dan Inggris.
“Anda tidak perlu memberikan saya apa-apa, kami sudah
menerima banyak. Saya sudah senang anda mau mengakui Liza. Dia pasti senang
mengetahui memiliki seorang ayah, Liza selalu bertanya apakah dia punya ayah,
seperti teman-temannya yang lain. Kini dia bisa mengatakan pada teman-temannya,
dia punya ayah. Ayah yang sangat menyayanginya..” tak terasa air mata menetes
di pipi sang ibu, bahkan laki-laki itu merasa matanya berkaca-kaca.
Seandainya mereka bertemu lebih cepat, hal ini tak akan
terjadi. Dia tak akan melukai wanita ini dan Liza. Sebuah ciuman panjang
diberikannya pada si wanita. Ciuman yang berubah menjadi percintaan panas lain,
namun kali ini percintaan itu mereka lakukan untuk melepaskan kesedihan mereka
karena waktu yang tak pernah berpihak pada mereka. Kini, semuanya akan berubah.
Waktu..akhirnya akan berpihak pada mereka.
Namun, waktu tak pernah berpihak pada mereka. Tiga hari
kemudian si ibu tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun yang menggulingkan bus
kota yang ditumpanginya. Elizabeth yang sebatang kara tak jelas nasibnya, sejak
ibunya meninggal beberapa petugas dari kementerian sosial dan yayasan-yayasan
penyayang anak telah membawanya pergi dari rumah itu. Meninggalkan rumah itu
dalam keadaan sepi tak berpenghuni, dan mengguncang hidup laki-laki yang
berkunjung kesana seminggu kemudian.
Selama lima tahun penuh dia berusaha mati-matian mencari
kabar tentang anaknya, semua berita yang mengarah pada Liza tak pernah berujung
pada pertemuan mereka. Setelah mengetahui wanita yang dicintainya tewas, laki-laki
itu dihantui rasa bersalah dan bertekad untuk menemukan anaknya apapun yang
terjadi. Namun setelah lima tahun yang sia-sia, harapannya memudar. Dia tidak
pernah mendapat kabar lagi dari informannya.
Kini rambutnya telah memutih, impiannya tak pernah terwujud,
Elizabeth tak pernah memanggilnya ayah, dia tak pernah memasangkan cincin yang
telah digenggamnya untuk mempelainya, tak pernah membangun sebuah keluarga
bersama mereka, tak pernah menyayangi dan mencurahkan kasih bagi mereka seperti
yang selalu diinginkannya. Dibalik senyumnya yang mulai kaku, laki-laki itu
menyimpan kesedihan mendalam yang dia ragu akan pernah terobati, bila dia tidak
menemukan Elizabethnya lagi.
~~~~
Sudah enam belas tahun lewat sejak kematian wanita itu,
kuburannya pun hanya disebuah pemakaman umum dengan nisan tak bernama karena
tak ada yang mengetahui identitasnya saat dikuburkan, salah satu alasan yang
menghalangi laki-laki itu untuk menemukan dimana makamnya berada.
“Tok..tok..”
“Masuk” suara berat laki-laki pertengahan lima puluh menjawab
suara ketukan pada pintu kantornya.
Seorang pegawai laki-laki dengan kemeja putih berdasi biru
menunduk memberi hormat pada laki-laki yang memunggunginya. Laki-laki tua itu
sedang memandang sinar matahari sore yang perlahan-lahan hilang ditelan bumi.
Tubuhnya yang dulu kokoh kini masih memperlihatkan betapa gagahnya dia semasa
mudanya. Rambutnya yang mulai memutih dibagian atas telinganya menambah kesan
bijaksana dari raut wajah keturunan Indonya dengan mata biru cerah yang mulai berkabut.
Sedikit keriput pada ujung mata dan sudut bibirnya tak mengurangi ketampanan
wajah blasteran Indonesia-Belanda yang mengalir dalam darahnya.
“Pak Presiden, Mr. Piter mengamuk lagi” lapor anak buahnya
dengan enggan.
Laki-laki itu menghela nafas panjang, nampaknya dia telah
terbiasa menangani orang yang bernama Piter ini.
“Apalagi kasusnya kali ini?” tanyanya.
“Er..itu.. Seorang klien ketahuan melecehkan seorang
pegawai.. er.. dan tadi Mr. Piter juga memarahi kepala bagian keuangan karena
salah menghitung rumusan anggaran tahun lalu..”
Laki-laki tua itu tersenyum, membayangkan wajah Piter yang
murka. Emosi laki-laki itu memang gampang meledak-ledak, entah siapa yang
menurunkan sifat seperti itu padanya, mungkin kakeknya yang memiliki darah
kasar orang Viking. Dari sanalah Piter mendapat emosinya yang meledak-ledak.
Emosi bagai Volcano yang menyemburkan larvanya dan membumihanguskan apapun yang
dilewatinya.
Volcano, anak sulungnya. Pria berusia dua puluh sembilan
tahun dengan wawasan dan pengetahuan manusia yang hidup hampir seabad lamanya.
Volcano, seorang pria dengan kepintaran yang pasti banyak membuat iri
saingannya. Dan Volcano, seorang pria dengan kelicikan setingkat iblis jahanam.
Benar-benar kontras dengan ayahnya yang penyabar, baik hati, dermawan dan
berpembawaan tenang.
“Biarkan Volcano bersenang-senang. Saat seluruh larva telah
dimuntahkan, dia akan kembali tenang meski masih meletup-letupkan sedikit larva
yang tak mungkin melukaimu. Kau tak mengerti mengapa dia dinamakan Volcano?
Inilah salah satu alasannya. Dia memang bagai Volcano” dengan tergelak Presiden
Luther keluar dari kantornya. Dia ingin menyapa anaknya Piter dan menenangkan
angkara murka laki-laki dewasa itu.
“Kau bersenang-senang, Piter?”
“Dad. Kau datang? Aku rasa kau tidak perlu turun tangan
menghadapi hal ini. Aku telah mengirim klien kita ke rumah sakit, mungkin dia
perlu beberapa jahitan diwajahnya dan memperbaiki tangannya yang terkilir”
jawab Piter acuh. Dia sedang merapikan arsip-arsip dimejanya yang akan
diserahkannya pada ayahnya besok.
Luther tersenyum kecil, menjatuhkan dirinya pada kursi sofa
empuk diruang tamu kantor anaknya.
“Kantormu begitu dingin, tidak suka bunga? Taruhlah beberapa
buah vas bunga disini. Selain lebih hidup, ruanganmu akan lebih harum. Harum
alami, bukan harum buatan”
“Haruskah aku yang melakukannya, Dad? Apa gunanya ada
sekretaris disini bila pekerjan sekecil itu seorang Direktur sepertiku yang
harus menanganinya? Aku bisa mati” Piter mengikuti ayahnya duduk di atas sofa.
“My Son.. Bila sekretaris terakhirmu hanya bertahan dua
minggu disini, apakah kau kira akan mudah bagi bagian HRD mencarikanmu
sekretaris yang baru?” Luther menyalakan rokoknya, meski usianya sudah kepala
lima, laki-laki tua ini masih sanggup merokok tanpa mengalami gangguan
pernafasan. Hidupnya cukup nyaman tanpa harus berperiksa rutin ke rumah sakit.
Untuk pria seusianya, memang dia termasuk sehat. Olahraga teratur dan
jalan-jalan dipagi hari membantunya mempertahankan kesehatannya selama ini.
Piter hanya mendengus, dia mengakui kebenaran dari perkataan
ayahnya. Sekretaris miliknya tak pernah bertahan lebih dari sebulan. sejak
Melda mengundurkan diri karena suaminya melarangnya bekerja, sangat sulit bagi
Piter untuk mengharapkan kinerja terbaik dari sekretaris-sekretarisnya.
Wanita-wanita yang datang melamar sebagai sekretarisnya sibuk bersolek dan
menghias kuku-kuku tangannya tanpa mampu mengerjakan pekerjaannya dengan
sungguh-sungguh. Hanya Melda yang mampu bertahan dan memberikan Piter 100%
perhatian hanya kepada pekerjaannya.
“Aku memerlukan sekretaris, Dad. Bukan pegawai salon atau
penghias kantor. Aku tak perlu kantorku dihiasi oleh wanita-wanita genit
seperti mereka. Tanpa mereka pun aku sudah dikerubungi oleh wanita seperti itu
kemanapun aku pergi” Piter ikut menyalakan rokoknya. Laki-laki Van Der Wilhem
memang gemar merokok.
Luther tergelak, menertawakan pengumpamaan anaknya terhadap
sekretaris-sekretaris malang itu.
“Tidak semua sekretaris seperti itu, banyak juga sekretaris
yang mendedikasikan waktu mereka bekerja maximal hingga lembur” tanpa
diinginkannya, ingatan Luther kembali pada malam panas saat melewatkan waktu
kerja lembur bersama sekretarisnya.. Wati Suteja. Ibu dari anaknya.
“Sudah dua puluh lima
tahun yang lalu, kah? Kini Liza pasti sudah dua puluh empat. Seperti apakah
gadis kecil itu sekarang? Pasti secantik ibunya, aku pasti mengenalinya saat
melihatnya pertama kali.. Anakku, darah dagingku..” Luther larut dalam pikirannya, dia tak mendengar pertanyaan Piter.
“Dad? Kau dengar aku?”
“..Maaf, kau bilang sesuatu?” tanya Luther salah tingkah.
“..Ah tidak, aku hanya bertanya apakah kau akan menghadiri
pembukaan gedung baru kita? Karena minggu lalu kau belum memutuskan jawabanmu.
Jadi, apakah kau akan datang, Dad?” tanya Piter lagi.
“Hm.. Ibumu rupanya sangat ingin datang, dia ingin memamerkan
kalung barunya. Tsk.. wanita, semakin tua bukannya semakin bijaksana, ibumu
semakin tua semakin bergaya..” Luther menggeleng-gelengkan kepalanya dan
membuang puntung rokoknya dalam asbak.
Piter tertawa mendengar ucapan ayahnya tentang ibunya.
Ayahnya memang benar, ibunya sangat perlente. Ibunya sangat menggemari
perhiasan-perhiasan mahal dan akan memakainya di setiap pesta yang dihadirinya,
membuatnya terlihat mencolok diantara ribuan undangan yang hadir. Bahkan
majalah fashion ibukota pernah menganugerahi ibunya gelar Ratu Perhiasan. Gelar
yang dibangga-banggakan sang ibu kemana-mana.
“Baiklah, kalau begitu aku pulang lebih dulu. Jangan lupa
jemput Herald di tempat kursusnya. Bila terlambat sedetik saja dia akan pergi
bersama teman-teman nakalnya itu. Anak muda zaman sekarang sedikit pergaulan
yang salah dan pasti dia akan terjerumus”
“Baik. Sampai ketemu dirumah, Dad”
Lima belas menit kemudian Piter menutup pintu kantornya,
berpamitan pada asistennya dan turun ke basement parkir untuk menaiki mobilnya,
sebuah BMW silver metalik yang baru saja dibelinya beberapa bulan yang lalu.
Dia kemudian berkendara ke arah tempat kursus adiknya Herald, remaja tanggung
kelas satu SMU.
~~~~
No comments:
Post a Comment