Friday, March 8, 2013

Volcano Erupts - Chapter 1


“Ingat.. Jangan pernah menyusahkan paman itu, kalau dia berkunjung kesini baik-baiklah padanya, agar dia menyukaimu. Mengerti kan sayang?”

“Iya, ma.. Aku mengerti.. Tapi siapa paman itu? Kenapa dia belakangan sering kesini?” tanya bocah kecil lugu itu pada ibunya.

“Dia hanya seorang paman yang baik hati.. Ayo masuk ke kamarmu, sudah waktunya tidur” dengan senyum misterius si ibu meninggalkan anaknya untuk menemui si paman yang sedang menunggunya di ruang tamu.

“Dia sudah tidur?” tanya laki-laki berusia awal empat puluhan itu pada ibu si anak. Dia sedang mengendurkan dasi kemejanya saat si ibu meletakan secangkir kopi untuknya.

“Sudah, sebentar lagi dia pasti terlelap” si ibu duduk disamping si paman, mereka saling tersenyum.

“Maafkan aku, sudah lama aku tidak kesini. Pekerjaan di kantor sangat menyita waktuku, belum lagi anak keduaku baru saja lahir. Aku tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama kalian” kata laki-laki itu meminta maaf. Dia menyesap kopinya dengan nikmat.

“Jangan berkata begitu, saya tahu anda sangat sibuk. Bisa mampir kesini hari ini saya sudah bahagia..”

“Aku bersalah pada kalian, maafkan. Aku berjanji lain kali akan lebih baik. Oh ya, bagaimana dengan uang bulananmu? Apakah masih cukup? Besok aku berencana mengirim sedikit uang, untuk sekolah si kecil. Setelah dia tamat SD, meski mendapat beasiswa pasti akan memerlukan banyak uang untuk membeli alat-alat sekolah, kan?”

“Jangan, tidak usah. Uang yang anda berikan terakhir masih cukup, saya tidak enak menerima bantuan anda terus. Bahkan anda membuatkan tabungan untuk si kecil. Saya malu..”

“Shh..shh.. Kenapa kau masih memanggilku dengan anda? Hanya karena kau pernah menjadi pegawaiku lalu kau harus memanggilku seperti itu terus-terusan? Kita adalah keluarga, aku mencintaimu dan si kecil.. Jangan pernah menganggap dirimu kurang dari itu, ya..” si paman mengecup kening wanita disampingnya, usianya yang berjarak sepuluh tahun tak terlalu kontras, laki-laki itu memiliki wajah putih bersih terawat, wajah seorang blasteran Indonesia. Dia termasuk tampan dan masih segar bugar meski usianya sudah memasuki kepala empat.

“Kopi buatanmu memang paling enak di dunia” selorohnya.

“Tuan.. Anda membuat saya malu.. Saya tak akan pernah bisa memanggil anda selain ini. Saya tidak pantas”

Laki-laki itu menghela nafasnya, telah berkali-kali ia meminta si wanita untuk memanggil namanya, namun tak pernah diturutinya. Dengan enggan laki-laki itu meletakan cangkirnya diatas meja.

“Ti.. Sudah berapa lama kita saling mengenal? Bahkan kita sudah seperti sekarang ini? Kau tidak tahu betapa arti dirimu dalam hidupku, kau lah tempatku mengadu dan berkeluh kesah selama ini. Tempatku melepaskan segala penat dan frustasiku yang tak bisa dihadapi oleh keluargaku. Kau lah satu-satunya wanita yang pernah mengerti aku, yang pernah mencintaiku dengan tulus. Yang pernah aku cintai sedalam ini. Aku mencintaimu Ti.. Aku akan menikahimu, meski hanya sebagai istri kedua, karena hanya itu yang bisa aku berikan padamu. Tapi aku tak ingin kau bertemu dengan keluarga besarku, aku tak ingin mereka menghancurkanmu. Aku tak bisa melihatmu menderita, Ti. Bersabarlah.. Sebentar lagi semua akan membaik dan aku akan mengajakmu ke catatan sipil. Kita akan resmi menjadi suami istri, Ti. Kau dengar itu? Kau akan menjadi istriku, aku akan menjadi suamimu. Dan si kecil.. dalam rapor sekolahnya akhirnya akan tercantumkan namaku. Nama yang pantas disandangnya, anak perempuanku yang manis, yang sangat pintar seperti bapaknya, yang secantik ibunya. Kalian adalah belahan jiwaku. Kalian pantas dan berharga bagiku”

Si ibu menangis, dia gembira namun sekaligus sedih. Jalan hidupnya yang terlunta-lunta dengan seorang anak perempuannya  selama ini akhirnya mulai mendapat sedikit kebahagiaan. Hidup sebagai seorang singel parent bagi anaknya membuatnya tegar dalam menghadapi cobaan. Diusir dan dikucilkan dari rumah keluarganya karena mengandung seorang bayi tanpa suami, yang bahkan tak mau dia sebutkan nama ayah si bayi itu, karena dia tidak ingin menghancurkan keluarga dari  laki-laki yang menghamilinya tanpa sengaja.

Sebuah gairah yang timbul dari seringnya mereka melewatkan malam-malam lembur berdua dalam kantor yang sepi, membereskan pekerjaan bertumpuk-tumpuk yang tak ada habisnya. Saat secara tak sengaja tubuh mereka bersentuhan, getar-getar listrik itu menjalari tubuh mereka dan menghantam keduanya dengan arus gairah yang tak terbendung.

Laki-laki itu seharusnya bisa mengontrol gairahnya, namun tidak. Rupanya selama ini dia telah memendam perasaan dan gairahnya pada pegawainya itu. Situasi dan suasana yang mendukung membawanya ke dalam gairah yang menuntut pelepasan tanpa kompromi. Malam itu si wanita, ibu si anak telah direnggut keperawanannya oleh boss nya dan mereka menyesali apa yang telah terjadi malam itu.

Saat si ibu mengetahui dirinya hamil, pemandangan keluarga bahagia boss nya terpampang nyata di depan matanya. Sebuah keluarga dengan seorang anak yang nampak begitu gembira turun dari mobil mereka untuk masuk ke dalam kantor perusahaan. Si ibu tidak sampai hati memisahkan keluarga itu dan menjadi wanita penghancur rumah tangga orang lain, akhirnya dia memutuskan mengundurkan diri dan pergi dari perusahaan itu, jauh-jauh hingga laki-laki itu tak pernah dapat menemukannya lagi.

Hingga enam bulan yang lalu, saat laki-laki itu sedang menunggu rekan bisnisnya di sebuah Coffee Shop dan ingatannya yang tak pernah kandas akan si wanita, mampu mengenali sosok wanita itu meski dari kejauhan.

Melupakan pertemuan bisnisnya, laki-laki itu mengikuti arah si wanita hingga berhenti di sebuah rumah kontrakan mungil dan seorang anak perempuan kecil berusia delapan tahun menyambut si wanita itu dengan suka cita. Anak kecil yang mengingatkannya pada wajah ibu kandungnya sendiri, pada senyumannya sendiri saat dia berkaca di dalam cermin, pada mata kebiruannya karena memiliki darah keturunan Belanda, darahnya sendiri. Anak kecil itu adalah anaknya, dan dia mengetahuinya seketika.

Dari balik kemudinya, laki-laki itu menangkupkan wajahnya. Membayangkan segala kesusahan yang dia berikan pada hidup wanita yang dicintainya dan pada anak perempuannya. Dia ingin memiliki seorang anak perempuan, dan disinilah dia, duduk dibalik kemudi mobil mewahnya, menatap dari kejauhan senyum anak kandungnya, senyum yang mungkin tak akan pernah ditujukan kepadanya bila dia tidak mendekati mereka.

“Siapa namanya?” tanya si laki-laki saat menginjakan kakinya dirumah itu, sebulan kemudian.

Tiga puluh hari yang panjang bagi usahanya mendekati ibu dari anak perempuannya. Tiga puluh hari yang menyesakkan hati mereka karena banyaknya penolakan, ancaman dan pengharapan. Tiga puluh hari yang berbahaya karena gairah lama yang hidup kembali, menggebu-gebu dan membara lebih besar dari sembilan tahun yang lalu.

“Elizabeth, seperti ratu Inggris. Aku memanggilnya Liz, Liza”

“Elizabeth.. Nama yang sangat anggun, kelak dia akan menjadi seorang Lady yang anggun nan rupawan. Elizabeth Suteja Van Der Wilhem”

Setelah menyesap tetes kopi terakhirnya, laki-laki itu merengkuh tubuh wanita yang dicintainya dan membopongnya masuk ke dalam kamar bagai sepasang pengantin baru. Mereka melewati malam itu dalam desahan nafas saling sahut menyahut dan gairah yang panas membara. Gairah berbahaya yang membawa mereka semakin dalam mereguk nikmat percintaan sepasang manusia.

“Nanti siang aku akan men-transfer uang pada rekening Liza, hingga dua minggu kemudian aku harus ke luar negeri. Aku akan sangat merindukan kalian, aku akan menelphonemu dari Inggris ya. Secepatnya setelah itu, kita akan menikah. Dan Liza.. anak kecil itu akan memanggilku ayah.. Akhirnya aku bisa mengakui Liza pada dunia. Ti.. Bagaimana aku harus berterima kasih padamu? Telah menghadirkan gadis kecil ini ke dunia, buah hati kita. Kebanggaanku” mereka berpelukan dibalik selimut, fajar mulai menyingsing namun mereka belum berniat untuk melepaskan pelukan mereka.

Seolah begitu berat berpisah untuk yang kesekian kalinya. Laki-laki itu tidak mungkin tinggal dirumah ini, keluarganya akan curiga dan menyelidiki keberadaannya. Hal terakhir yang dia inginkan adalah keluarganya mengetahui tentang wanita ini dan anak mereka. Dia tidak ingin membuat gempar keluarga besarnya di Indonesia ataupun di Belanda dan Inggris.

“Anda tidak perlu memberikan saya apa-apa, kami sudah menerima banyak. Saya sudah senang anda mau mengakui Liza. Dia pasti senang mengetahui memiliki seorang ayah, Liza selalu bertanya apakah dia punya ayah, seperti teman-temannya yang lain. Kini dia bisa mengatakan pada teman-temannya, dia punya ayah. Ayah yang sangat menyayanginya..” tak terasa air mata menetes di pipi sang ibu, bahkan laki-laki itu merasa matanya berkaca-kaca.

Seandainya mereka bertemu lebih cepat, hal ini tak akan terjadi. Dia tak akan melukai wanita ini dan Liza. Sebuah ciuman panjang diberikannya pada si wanita. Ciuman yang berubah menjadi percintaan panas lain, namun kali ini percintaan itu mereka lakukan untuk melepaskan kesedihan mereka karena waktu yang tak pernah berpihak pada mereka. Kini, semuanya akan berubah. Waktu..akhirnya akan berpihak pada mereka.

Namun, waktu tak pernah berpihak pada mereka. Tiga hari kemudian si ibu tewas dalam sebuah kecelakaan beruntun yang menggulingkan bus kota yang ditumpanginya. Elizabeth yang sebatang kara tak jelas nasibnya, sejak ibunya meninggal beberapa petugas dari kementerian sosial dan yayasan-yayasan penyayang anak telah membawanya pergi dari rumah itu. Meninggalkan rumah itu dalam keadaan sepi tak berpenghuni, dan mengguncang hidup laki-laki yang berkunjung kesana seminggu kemudian.

Selama lima tahun penuh dia berusaha mati-matian mencari kabar tentang anaknya, semua berita yang mengarah pada Liza tak pernah berujung pada pertemuan mereka. Setelah mengetahui wanita yang dicintainya tewas, laki-laki itu dihantui rasa bersalah dan bertekad untuk menemukan anaknya apapun yang terjadi. Namun setelah lima tahun yang sia-sia, harapannya memudar. Dia tidak pernah mendapat kabar lagi dari informannya.

Kini rambutnya telah memutih, impiannya tak pernah terwujud, Elizabeth tak pernah memanggilnya ayah, dia tak pernah memasangkan cincin yang telah digenggamnya untuk mempelainya, tak pernah membangun sebuah keluarga bersama mereka, tak pernah menyayangi dan mencurahkan kasih bagi mereka seperti yang selalu diinginkannya. Dibalik senyumnya yang mulai kaku, laki-laki itu menyimpan kesedihan mendalam yang dia ragu akan pernah terobati, bila dia tidak menemukan Elizabethnya lagi.

~~~~

Sudah enam belas tahun lewat sejak kematian wanita itu, kuburannya pun hanya disebuah pemakaman umum dengan nisan tak bernama karena tak ada yang mengetahui identitasnya saat dikuburkan, salah satu alasan yang menghalangi laki-laki itu untuk menemukan dimana makamnya berada.

“Tok..tok..”

“Masuk” suara berat laki-laki pertengahan lima puluh menjawab suara ketukan pada pintu kantornya.

Seorang pegawai laki-laki dengan kemeja putih berdasi biru menunduk memberi hormat pada laki-laki yang memunggunginya. Laki-laki tua itu sedang memandang sinar matahari sore yang perlahan-lahan hilang ditelan bumi. Tubuhnya yang dulu kokoh kini masih memperlihatkan betapa gagahnya dia semasa mudanya. Rambutnya yang mulai memutih dibagian atas telinganya menambah kesan bijaksana dari raut wajah keturunan Indonya dengan mata biru cerah yang mulai berkabut. Sedikit keriput pada ujung mata dan sudut bibirnya tak mengurangi ketampanan wajah blasteran Indonesia-Belanda yang mengalir dalam darahnya.

“Pak Presiden, Mr. Piter mengamuk lagi” lapor anak buahnya dengan enggan.

Laki-laki itu menghela nafas panjang, nampaknya dia telah terbiasa menangani orang yang bernama Piter ini.

“Apalagi kasusnya kali ini?” tanyanya.

“Er..itu.. Seorang klien ketahuan melecehkan seorang pegawai.. er.. dan tadi Mr. Piter juga memarahi kepala bagian keuangan karena salah menghitung rumusan anggaran tahun lalu..”

Laki-laki tua itu tersenyum, membayangkan wajah Piter yang murka. Emosi laki-laki itu memang gampang meledak-ledak, entah siapa yang menurunkan sifat seperti itu padanya, mungkin kakeknya yang memiliki darah kasar orang Viking. Dari sanalah Piter mendapat emosinya yang meledak-ledak. Emosi bagai Volcano yang menyemburkan larvanya dan membumihanguskan apapun yang dilewatinya.

Volcano, anak sulungnya. Pria berusia dua puluh sembilan tahun dengan wawasan dan pengetahuan manusia yang hidup hampir seabad lamanya. Volcano, seorang pria dengan kepintaran yang pasti banyak membuat iri saingannya. Dan Volcano, seorang pria dengan kelicikan setingkat iblis jahanam. Benar-benar kontras dengan ayahnya yang penyabar, baik hati, dermawan dan berpembawaan tenang.

“Biarkan Volcano bersenang-senang. Saat seluruh larva telah dimuntahkan, dia akan kembali tenang meski masih meletup-letupkan sedikit larva yang tak mungkin melukaimu. Kau tak mengerti mengapa dia dinamakan Volcano? Inilah salah satu alasannya. Dia memang bagai Volcano” dengan tergelak Presiden Luther keluar dari kantornya. Dia ingin menyapa anaknya Piter dan menenangkan angkara murka laki-laki dewasa itu.

“Kau bersenang-senang, Piter?”

“Dad. Kau datang? Aku rasa kau tidak perlu turun tangan menghadapi hal ini. Aku telah mengirim klien kita ke rumah sakit, mungkin dia perlu beberapa jahitan diwajahnya dan memperbaiki tangannya yang terkilir” jawab Piter acuh. Dia sedang merapikan arsip-arsip dimejanya yang akan diserahkannya pada ayahnya besok.

Luther tersenyum kecil, menjatuhkan dirinya pada kursi sofa empuk diruang tamu kantor anaknya.

“Kantormu begitu dingin, tidak suka bunga? Taruhlah beberapa buah vas bunga disini. Selain lebih hidup, ruanganmu akan lebih harum. Harum alami, bukan harum buatan”

“Haruskah aku yang melakukannya, Dad? Apa gunanya ada sekretaris disini bila pekerjan sekecil itu seorang Direktur sepertiku yang harus menanganinya? Aku bisa mati” Piter mengikuti ayahnya duduk di atas sofa.

“My Son.. Bila sekretaris terakhirmu hanya bertahan dua minggu disini, apakah kau kira akan mudah bagi bagian HRD mencarikanmu sekretaris yang baru?” Luther menyalakan rokoknya, meski usianya sudah kepala lima, laki-laki tua ini masih sanggup merokok tanpa mengalami gangguan pernafasan. Hidupnya cukup nyaman tanpa harus berperiksa rutin ke rumah sakit. Untuk pria seusianya, memang dia termasuk sehat. Olahraga teratur dan jalan-jalan dipagi hari membantunya mempertahankan kesehatannya selama ini.

Piter hanya mendengus, dia mengakui kebenaran dari perkataan ayahnya. Sekretaris miliknya tak pernah bertahan lebih dari sebulan. sejak Melda mengundurkan diri karena suaminya melarangnya bekerja, sangat sulit bagi Piter untuk mengharapkan kinerja terbaik dari sekretaris-sekretarisnya. Wanita-wanita yang datang melamar sebagai sekretarisnya sibuk bersolek dan menghias kuku-kuku tangannya tanpa mampu mengerjakan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Hanya Melda yang mampu bertahan dan memberikan Piter 100% perhatian hanya kepada pekerjaannya.

“Aku memerlukan sekretaris, Dad. Bukan pegawai salon atau penghias kantor. Aku tak perlu kantorku dihiasi oleh wanita-wanita genit seperti mereka. Tanpa mereka pun aku sudah dikerubungi oleh wanita seperti itu kemanapun aku pergi” Piter ikut menyalakan rokoknya. Laki-laki Van Der Wilhem memang gemar merokok.

Luther tergelak, menertawakan pengumpamaan anaknya terhadap sekretaris-sekretaris malang itu.

“Tidak semua sekretaris seperti itu, banyak juga sekretaris yang mendedikasikan waktu mereka bekerja maximal hingga lembur” tanpa diinginkannya, ingatan Luther kembali pada malam panas saat melewatkan waktu kerja lembur bersama sekretarisnya.. Wati Suteja. Ibu dari anaknya.

“Sudah dua puluh lima tahun yang lalu, kah? Kini Liza pasti sudah dua puluh empat. Seperti apakah gadis kecil itu sekarang? Pasti secantik ibunya, aku pasti mengenalinya saat melihatnya pertama kali.. Anakku, darah dagingku..” Luther larut dalam pikirannya, dia tak mendengar pertanyaan Piter.

“Dad? Kau dengar aku?”

“..Maaf, kau bilang sesuatu?” tanya Luther salah tingkah.

“..Ah tidak, aku hanya bertanya apakah kau akan menghadiri pembukaan gedung baru kita? Karena minggu lalu kau belum memutuskan jawabanmu. Jadi, apakah kau akan datang, Dad?” tanya Piter lagi.

“Hm.. Ibumu rupanya sangat ingin datang, dia ingin memamerkan kalung barunya. Tsk.. wanita, semakin tua bukannya semakin bijaksana, ibumu semakin tua semakin bergaya..” Luther menggeleng-gelengkan kepalanya dan membuang puntung rokoknya dalam asbak.

Piter tertawa mendengar ucapan ayahnya tentang ibunya. Ayahnya memang benar, ibunya sangat perlente. Ibunya sangat menggemari perhiasan-perhiasan mahal dan akan memakainya di setiap pesta yang dihadirinya, membuatnya terlihat mencolok diantara ribuan undangan yang hadir. Bahkan majalah fashion ibukota pernah menganugerahi ibunya gelar Ratu Perhiasan. Gelar yang dibangga-banggakan sang ibu kemana-mana.

“Baiklah, kalau begitu aku pulang lebih dulu. Jangan lupa jemput Herald di tempat kursusnya. Bila terlambat sedetik saja dia akan pergi bersama teman-teman nakalnya itu. Anak muda zaman sekarang sedikit pergaulan yang salah dan pasti dia akan terjerumus”

“Baik. Sampai ketemu dirumah, Dad”

Lima belas menit kemudian Piter menutup pintu kantornya, berpamitan pada asistennya dan turun ke basement parkir untuk menaiki mobilnya, sebuah BMW silver metalik yang baru saja dibelinya beberapa bulan yang lalu. Dia kemudian berkendara ke arah tempat kursus adiknya Herald, remaja tanggung kelas satu SMU.

~~~~ 

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...