“Aku belum memberitahu Piter dan yang lainnya mengenai hal
ini, Liza. Maka dari itu aku ingin kau memutuskan hubunganmu terlebih dahulu
dari Piter, karena bila dia mengetahui hal ini dan kalian masih berhubungan aku
takut Piter akan melukaimu. Dia pasti sangat kecewa pada ayahnya, dan.. Kau
bisa menjadi sasaran kemarahannya. Piter sangat mengerikan bila dia marah, kau
tidak akan ingin berada di dekatnya bila dia meledak” jelas Luther pada Liza.
Dia menemui Liza lagi dikantornya dan mengajak anaknya itu untuk membicarakan
masalah mereka di tempat kemarin.
“Apakah tidak ada jalan lain, Tuan?” tanya Liza sedih.
“Liza.. Aku tidak akan memaksamu untuk memanggilku ayah, tapi
tolong jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku dengan Pak atau yang lainnya,
tapi jangan tuan” Luther mengiba padanya.
“..Aku tidak tahu, ini terlalu cepat. Aku masih bingung dan
aku belum memutuskan apapun” jawab Liza pelan.
“Liza.. Hubungan kalian benar-benar tidak mungkin, apakah
kalian.. sudah berhubungan layaknya suami istri?” tanya Luther.
Bila keadaannya berbeda, Liza akan meninggalkan Luther tanpa
jawaban, namun Liza mengerti apa yang dikhawatirkan oleh ayahnya itu, hal yang
sama juga sedang dikhawatirkannya karena sudah tiga minggu lewat Liza belum
kedatangan tamu bulanannya.
Liza diam dan mengangguk, wajah Luther jatuh seketika. Dia
murung dan berkomat-komit tanpa suara.
“Semoga tidak terjadi hal yang paling tidak kita inginkan”
kata Luther muram. Dia tidak bisa membayangkan harus menggugurkan cucunya
sendiri karena hubungan terlarang antara kedua anaknya. Liza diam membisu, dia
tidak ingin memberitahukan kekhawatiranya pada Luther, dia belum mempercayai
sepenuhnya laki-laki di depannya ini. Liza masih beranggapan dia memiliki masa
depan yang cerah bersama Piter-nya.
“Segeralah pindah dari apartemen itu, Liza. Ayah akan
menyiapkan rumah lain untukmu sehingga Piter tidak akan menemukanmu lagi,
setelah itu kau bisa pergi ke luar negeri dan tinggal sementara waktu disana.
Bibimu di London pasti akan sangat senang menerimamu. Piter mungkin akan
mencarimu kesana, tapi aku akan memperingatkan bibimu bila hal itu terjadi
sehingga kau bisa bersembunyi terlebih dahulu” Luther mengantarkan Liza kembali
ke kantornya. Mereka berbincang cukup lama dan Liza sudah keluar dari kantornya
dua jam lebih, dia tidak ingin membuat atasannya bertanya-tanya mengenai
keberadaannya.
“Akan aku pikirkan” jawab Liza sebelum menutup pintu mobil
ayahnya.
Hingga waktunya Liza pulang dari kantor tempatnya bekerja,
Piter tidak mengirimkan sebuah sms pun yang biasanya dilakukannya. Liza tidak
bertanya karena dia yakin Piter pasti sangat sibuk, Liza tidak ingin
mengganggunya, lagipula Liza memang sedang tidak sanggup berbicara dengan
laki-laki itu. Seharian dia berusaha menghindari bertatapan mata dengan Piter,
dan untungnya Piter juga tidak seagresif biasanya bila pagi hari tiba.
Diperjalanan pulang ke apartemennya, Liza singgah ke sebuah
apotik untuk membeli alat pengetes kehamilan. Dia tidak ingin kecolongan
sehingga alat ini akan membantunya mengetahui bila dia sedang hamil atau hanya
gangguan hormon karena masalah yang dihadapinya belakangan sehingga datang
bulannya terhambat.
Saat Liza membuka pintu apartemennya, dia menemukan Piter
sedang tertidur di atas sofa masih dengan pakaian lengkap. Dia terlihat
berantakan dan letih. Liza meletakan tas bahunya lalu menghampiri Piter yang
sedang terlelap di ruang tamu. Dengan lembut Liza mengawasi wajah Piter,
memandang laki-laki itu penuh cinta. Setetes air mata jatuh mengkhianati
kekuatan hatinya, Liza tidak dapat bertahan tanpa Piter. Jauh dari Piter
bukanlah kehidupan, dan Liza tidak ingin memilih pilihan itu bila dia memiliki
pilihan yang lain. Yang sayangnya tidak dimilikinya.
“Eliza..? Mengapa kau menangis, sayangku?” Piter membuka
matanya, dengan mata itu dia tersenyum pada kekasihnya.
“Tidak.. Aku hanya terlalu bahagia, bahagia karena kau pulang
lebih awal” jawab Liza sambil mengusap air matanya.
“Oh.. Kau sungguh manis. Kemarilah, berbaringlah bersamaku”
pinta Piter memberikan tempat di depan tubuhnya untuk Liza.
Liza memiringkan tubuhnya di samping tubuh Piter lalu laki-laki
itu memeluk tubuhnya. Mereka berbaring saling berhadap-hadapan, tangan Piter
yang kokoh menahan punggung Liza agar tidak terjatuh ke lantai.
“Jangan takut, aku tidak akan membiarkanmu jatuh ke lantai”
Piter tertawa kecil dan mengecup hidung Liza.
“Aku tahu, kau tidak akan pernah membiarkanku terluka Piter,
aku tahu kau akan selalu menjagaku” Liza menempelkan telapak tangannya pada
dada bidang Piter, tangannya membuka kancing kemeja Piter dan menelusup masuk
mencari kulit telanjangnya.
Nafas Piter berat menerima perlakuan Liza, meski dia
mengetahui Liza adalah adik kandungnya, Piter tetap mencintainya, Piter tetap
ingin bercinta dengannya, Piter tetap ingin membangun sebuah keluarga
bersamanya.
“Iya, kau benar Eliza. Aku tidak akan membiarkan suatu apapun
menyakitimu. Kaulah separuh jiwaku, Eliza. Bila kau terluka, akupun terluka.
Aku tidak akan membiarkanmu terluka. Aku mencintaimu, Eliza-ku..” Piter menatap
wajah didepannya.
Mata mereka berpautan lalu Piter mencium lembut bibir Liza
yang dibalas sama hangat. Tak lama kemudian Piter mengangkat tubuh Liza ke
kamar mereka, dia sudah tidak memperdulikan semuanya. Persetan dengan dunia,
pikir Piter. Dia akan bercinta dengan Eliza, dengan kekasihnya dan Tuhanpun tak
bisa mencegahnya untuk memadu cinta dengan belahan jiwanya.
Saat Piter melenguh nikmat di atas tubuhnya, Liza membisikan
kata cinta pada laki-laki itu.
“Aku cinta padamu Piter Volcano Van Der Wilhem. Hanya kaulah
satu-satunya laki-laki yang akan kucintai dalam hidupku” bisik Liza pelan.
~~~~
Liza berjinjit masuk ke dalam kamar mandi setelah merogoh
alat test kehamilan dalam tasnya. Setelah mengikuti instruksi pada bungkus,
Liza mencelupkan alat itu dalam air seni yang telah ditampungnya. Setelah
menunggu selama lima menit, dengan gugup Liza mengangkat alat itu dan melihat
hasil dari test urinenya. Liza membuka tutup matanya, jantungnya berdebar
kencang ketika akan mengetahui hasil testnya.
Saat dirasanya hatinya telah siap melihat jawabannya, Liza
pun membuka matanya. Matanya langsung tertuju pada bagian di ujung atas stik
test kehamilan itu dan membelalak demi melihat hasilnya. Liza menutup mulutnya,
perasaannya campur aduk. Dia ingin menangis sekaligus bahagia. Entah apa yang
dirasakannya sebenarnya Liza tidak dapat menerkanya. Liza tidak dapat memilah
senangkah atau sedihkah dia dengan hasil test kehamilannya. Hasil test
kehamilan itu menyatakan Liza.. positif hamil.
Belum sempat mengungkapkan perasaannya yang campur aduk,
pintu kamar mandi telah di ketuk dari luar.
“Liza? Kau sedang apa? Aku ingin buang air kecil” sahut Piter
dari luar. Dia mencoba membuka pintu kamar mandi namun terkunci. Dengan panik
Liza menyembunyikan alat test kehamilan dan bungkusnya itu di dalam rak
persediaan alat mandi mereka. Sedetik kemudian dia sudah membukakan pintu untuk
Piter.
“Kau menangis lagi?” tanya Piter pada Liza. Piter mengusap
bekas air mata yang turun di pipi Liza.
“Ah tidak, aku baru saja menguap. Aku mengantuk sekali”
jawabnya berbohong.
Piter tidak mengomentari pernyataan Liza, dia tahu wanitanya
menangis dan berusaha menyembunyikannya. Piter tidak tahu mengapa Liza
menangis, Piter menyalahkan dirinya karena jarang meluangkan waktu untuk Liza.
“Ya sudah, tidurlah kembali. Aku akan menyusul sebentar lagi,
ya?” Piter mengecup kening Liza.
“Um.. Ya..” namun Liza tak kunjung beranjak dari tempatnya
berdiri hingga Piter memandangnya kebingungan.
“Apakah kau ingin menemaniku buang air kecil?” tanya Piter
geli. Pipi Liza langsung merona merah yang ditutupinya saat melintas keluar
dari kamar mandi melewati Piter.
Piter terkekeh kecil lalu menutup pintu dibelakangnya. Ketika
dia telah selesai menyirami toilet, mata Piter menangkap pintu lemari yang
tertutup kurang rapat. Saat dia hendak memperbaiki pintu itu, sebuah bungkus
karton terjatuh di lantai. Karena penasaran Piter pun memungutnya. Dia tidak
membacanya namun langsung membuangnya ke tempat sampah. Tetapi dua detik
kemudian Piter menghentikan langkahnya saat menyadari apa yang baru saja
dilewatinya.
Piter memungut kembali bungkusan karton kecil itu dan membaca
tulisan diatasnya.
“Alat test
kehamilan. Langsung dan akurat”
Jantung Piter serasa hendak copot dari tempatnya berdetak
selama ini. Dengan nanar mata Piter mencari-cari alat test kehamilan yang
semestinya berada di dalam kotak kardus kecil itu. Piter mencari di dalam
tempat sampah namun tidak menemukannya, lalu matanya kembali melihat lemari tempat
persediaan dan mengaduk-aduk tempat penyimpanan itu. Saat stik itu dia temukan,
Piter terduduk lesu dilantai, alat itu jatuh dari tangannya.
Seandainya Piter tidak mengetahui hubungannya dengan Liza
lebih dari sekedar kekasih, Piter akan langsung menghambur keluar dan memeluk
tubuh Liza. Dia begitu ingin Liza mengandung sehingga mereka bisa segera
menikah. Namun saat kenyataan itu menghantam hidupnya, Piter meringis seperti
dihantam oleh sebuah truk dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya lemas dan
semangatnya remuk redam, hancur tak tersisa.
Tangan Piter bergetar saat meletakan kembali alat itu di
dalam lemari. Dia tidak akan menanyai Liza tentang hal ini, dia ingin Liza
memberitahukannya sendiri padanya. Piter yakin Liza pasti memiliki alasan
mengapa dia menyembunyikan kabar yang seharusnya gembira ini darinya. Piter
teringat dengan pipi Liza yang sembab sewaktu membukakan pintu kamar mandi
untuknya, disanalah Piter sadar Liza sedang menangis.
“Mengapa kau menangis, Liza? Apakah kau mengetahui sesuatu?”
bisik Piter lirih. Kemudian kenyataan lain mencubit hatinya.
“Apakah Dad.. telah
memberitahu Liza?” bisiknya lagi pada dirinya
sendiri.
Piter panik, dia kebingungan. “Bila Liza telah mengetahui hal
itu, lalu mengapa dia masih mau bercinta denganku?”
Piter berjalan hilir mudik di kamar mandinya yang lebar, dia
mengacak rambutnya dengan gemas.
“Tidak, tidak.. Eliza tidak mungkin mengetahuinya. Bila Eliza
tahu, dia pasti sudah meninggalkanku, bukankah dulu dia begitu ingin
meninggalkanku dan Eliza langsung pergi begitu saja? Tidak, pasti Eliza tidak
tahu” jawab Piter lega pada pertanyaannya sendiri.
Dengan langkah perlahan Piter menghampiri ranjang tempat Liza
berbaring nyaman dalam tidurnya. Nafasnya teratur dan ringan, Liza tertidur
nyenyak. Setelah Piter naik ke atas ranjang di samping Liza, sekalipun dia tidak
dapat memejamkan matanya. Kehamilan Liza membuat hatinya gundah. Piter
memutuskan untuk menikahi Liza sebelum semua terlambat, sebelum ayahnya
mengetahui tentang Liza, sebelum ayahnya bisa memisahkan mereka.
“Aku akan menikahimu secepatnya, Eliza..” dikecupnya rambut
Liza dan menjaganya dalam pelukan Piter yang hangat.
Liza menggeliat dalam pelukan Piter, dia baru saja membuka
matanya dari tidurnya yang lelap. Berada dalam pelukan laki-laki yang
dicintainya Liza merasa aman meskipun jauh dalam hatinya Liza merasa sedih dan
putus asa karena mungkin tidak akan pernah memiliki masa depan dengan Piter.
“Selamat pagi, Eliza-ku..” Piter mengecup kening Liza. Mereka
tidur berhadap-hadapan, semalaman Piter mengamati wajah Liza dengan sayang,
mengukur setiap jengkal wajah kekasihnya tanpa bosan, Piter tak akan pernah
bosan memandang wajah Liza.
“Pagi.. Piter..” Liza meraba wajah Piter. Kumis dan cambang
malu-malu mengintip pada wajah itu, Liza mengagumi dan terpesona pada wajah
yang sedang dirangkumnya.
“Kau sangat tampan Mr. Piter Volcano.. Aku tak akan pernah
bosan melihat wajahmu ini..” kata Liza memuji wajah Piter, laki-laki itu
tersenyum.
“Hanya wajahku, Eliza..?” tanya Piter pelan.
“Wajahmu.. Tubuhmu.. Hatimu.. Terlebih lagi.. Cintamu
untukku.. Aku tak akan pernah bosan untuk menerimanya, aku selalu haus akan
cintamu, Piter” Piter melihat wajah sedih Eliza, dia ingin menanyakan mengapa
Liza begitu sedih namun Piter tidak punya nyali untuk itu. Dia tidak ingin
merusak suasana yang sedang baik ini dengan mengorek informasi yang mungkin
akan membuat mereka sama-sama tersakiti.
“Kau tahu cintaku tak akan pernah berhenti untukmu, Eliza.
Aku akan selalu mencintaimu, apapun yang terjadi. Hanya kaulah wanita dalam
hidupku” Piter mencium lembut bibir Liza.
“Piter..” bisik Liza.
“Ya, sayang..” Piter membalas panggilan lirih Liza padanya.
“Apakah.. Kau percaya pada reinkarnasi?”
Sekejap Piter terdiam, bingung dengan perubahan suasana hati
Liza namun dia menjawabnya dengan jujur.
“Aku tidak percaya reinkarnasi, Eliza. Hidup ini terlalu singkat
untuk memikirkan hal itu. Tapi mengapa kau bertanya?” Piter tidak dapat
menghentikan keingintahuannya.
“Reinkarnasi.. Ada yang percaya reinkarnasi adalah
kesempatanmu untuk menyelesaikan apa yang belum kau selesaikan pada hidupmu
sebelumnya. Apakah itu karmamu, atau pengharapanmu atau mungkin cintamu.. yang
tak pernah bisa bersatu sebelumnya.. Mungkin saat kau mati dan bereinkarasi,
kau bisa lahir menjadi sosok yang baru dan mungkin kesempatan itu akan kau
dapat. Kesempatan untuk bersama dengan orang yang kau cintai”
Piter menatap wajah Liza tanpa kedip, terbuai dengan
penuturan wanita itu. Namun Piter mendengus, seolah ide yang Liza kemukakan
tidak masuk dalam pikiran rasionalnya.
“Bila kau percaya reinkarnasi, maka kau harus percaya karma,
Eliza. Reinkarnasi bukan hanya sekali kan? Dalam ajaran agama tertentu, kau
harus bereinkarnasi berulang-ulang untuk menikmati karma baik dan karma burukmu
sebelum kau bisa bersatu dengan Tuhan. Aku tidak percaya karmaku pada hidup ini
adalah karena akibat perbuatanku di kehidupan sebelumnya. Karena bila benar,
maka mungkin aku pernah menolong jutaan nyawa manusia sehingga aku bisa sekaya
ini” Piter mencoba mengeluarkan sebuah lelucon yang dia harap akan mereka
tertawakan bersama, namun Liza sama sekali tidak tertawa dan Piter pun terdiam.
“Mungkin saja.. hidup kita sekarang adalah karma kehidupan
kita terdahulu..” bisik Liza sedih.
“Hukum karma itu tidak adil, Eliza. Kau tidak tahu apa
kesalahanmu di masa lalu dan tidak adil bila mengatakan kesialanmu saat ini
adalah hasil perbuatanmu dulu. Kita hidup saat ini, apa yang kita lakukan di
kehidupan ini maka akan kita rasakan saat ini juga. Hanya perbuatan orang lain
yang bisa mempengaruhi hidup kita, kita hanya menjalani apa yang kita anggap
benar. Kau tidak akan percaya bagaimana orang-orang kaya lain begitu licik dan
picik. Apakah kau mengira mereka pernah berbuat baik pada kehidupan mereka
sebelumnya? Bila iya, mereka tidak pantas. Banyak orang yang berhati mulia
justru hidup dalam kemiskinan. Karma itu tidak adil, Eliza. Karma itu tidak
akan pernah adil” entah mengapa Piter merasa amarah muncul dihatinya saat
membahas masalah karma dan reinkarnasi ini. Sungguh topik pembicaraan yang
sangat berat baginya di pagi hari.
“Sudahlah.. Ayo kita turun dari ranjang, hari sudah siang.
Kau tidak ingin melewatkan pekerjaanmu kan?” Piter mencium hidung Liza,
mengamati mata Liza yang masih terlihat sedih namun kemudian Liza mengangguk
dan mengikuti Piter bangkit dari ranjang.
Piter mengangkat tubuh Liza dan membuat wanita itu memekik
tertahan.
“Piter.. Apa yang kau lakukan? Turunkan aku” jeritnya
ketakutan.
“Kau meragukan kekuatanku, Nona Elizabeth?” cengir Piter saat
menendang terbuka pintu kamar mandi.
“Tidak, bukan begitu. Aku hanya..” Liza terdiam namun dia
tersenyum miris. “Aku hanya takut kau
akan mencelakakan anakmu..” bisik Liza lirih dalam hati kecilnya.
Piter menurunkan Liza dalam bath tub
mereka, membuka keran air hangat dan bergabung bersama Liza di dalamnya. Mereka
saling membersihkan badan, Piter menggosok tubuh Liza begitu juga sebaliknya.
Setelah mandi dan makan pagi yang riang, Piter mengantarkan Liza ke tempat
kerjanya dan berangkat ke kantornya sendiri.
No comments:
Post a Comment