Liza sedang berbincang-bincang dengan teman kerjanya saat
satpam perusahaan memberitahukannya ada seorang tamu yang ingin menemuinya.
“Mbak Liza, ada yang nyari di depan” kata Pak Sugi sekuriti perusahaan
mereka.
“Siapa pak? Orang mana?” tanya Liza sambil beranjak keluar
dari meja kerjanya.
“Kurang tahu Mbak, orang bule” jawab Pak Sugi cengengesan.
“Bule?” Liza kemudian terpikir pada Piter. Namun untuk apa
Piter mencarinya kesini pikir Liza.
Dari ruang Manajer Liza melihat Samuel baru saja keluar,
laki-laki itu tersenyum manis padanya.
“Liza.. Mau kemana, cantik?” godanya.
Liza mengacuhkan laki-laki itu. Tanpa diundang Samuel ikut
berjalan disampingnya.
“Apa sih? Ikut-ikut saja” Liza masih terlihat sebal meskipun
Samuel sudah meminta maaf atas perbuatannya. Samuel mengaku dia hanya ingin
menggoda Liza saat itu di bioskop.
“Yah, jangan marah-marah terus donk, Liz. Senyum.. Kau lebih
cantik kalau tersenyum” lagi-lagi Samuel menyeringai. Wajahnya memang tampan
hanya saja Liza terlanjur kesal padanya karena memanfaatkan keadaan untuk
memojokannya di bioskop.
“Sudah ah, aku ada tamu” elak Liza sebelum membuka pintu
menuju ruang tamu perusahaan.
“Nanti kita makan bareng ya, Liz” teriak Samuel dari depan
pintu kantornya.
Liza merengut demi mendengar permintaan Samuel. Lalu dia
menuju ruang tamu dan melihat seorang pria telah menunggunya disana. Ayah
Piter.
“Liza..” mata laki-laki tua itu berkaca-kaca. Liza
memperhatikan wajahnya, dia dapat melihat sekilas kemiripan antara Piter dengan
ayahnya. Dari sanalah Piter mendapat tatapan mata itu, tatapan mata seorang Van
Der Wilhem.
“Tuan..” sapa Liza ragu-ragu. Dia bingung mengapa Luther
ingin menemuinya, apakah mengenai pertemuan mereka dulu?
“Namamu Liza, kan? Bila tidak keberatan, aku ingin berbicara
denganmu Liza. Ada hal yang sangat ingin aku beritahukan. Mengenai ibumu dan
mengenai dirimu..” Luther langsung menuju pokok pembicaraannya. Dia tidak ingin
Liza menolaknya, dia harus segera membereskan masalah ini sehingga hubungan
Piter dan Liza tidak akan sampai membuat mereka menyesal di kemudian hari.
Luther sebenarnya berencana untuk mendekati Liza pelan-pelan.
Dia ingin membangun hubungan yang lebih baik dengan anaknya ini. Namun
kenyataan bahwa Piter dan Liza hidup dalam satu atap membuatnya tidak nyaman.
Informannya memberitahukannya Piter kerap menginap di apartemen itu dan
menghabiskan waktu sehari semalaman layaknya suami istri. Luther tidak ingin
mereka memberikannya seorang cucu yang lahir dari hubungan itu, dia akan
terkena serangan jantung hebat bila hal itu terjadi.
Liza tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya mendengar
Luther ingin berbicara dengannya mengenai ibunya. Liza menutup mulutnya dan
terkesiap sebelum kemudian mengangguk.
“Tapi disini bukan tempat yang baik, ikutlah denganku” pinta
Luther pada Liza.
Liza berpikir sejenak, namun dia memutuskan utuk mengikuti
permintaan Luther. Liza masih sangat kecil saat ibunya meninggalkannya,
satu-satunya yang dia ketahui hanyalah ibunya dimakamkan di sebuah pemakaman di
pinggiran Jakarta Timur yang telah diberikannya nisan baru atas nama ibunya.
Petugas dari yayasan sosial pernah mengantarkannya ke makam itu sekali sebelum
Liza dibawa pergi jauh.
“Aku akan mengambil tasku bila anda tidak keberatan” jawab
Liza.
Luther mengangguk. “Aku tunggu di depan” jawab Luther.
Mereka duduk berdua di kursi belakang mobil yang dikendarai
oleh sopir pribadi Luther. Mereka tidak banyak berbicara, Luther terkadang akan
menatap Liza anaknya dengan pandangan penuh penderitaan. Luther sedih karena
sebentar lagi dia akan mengungkapkan satu rahasia yang mungkin akan disesalinya
namun harus tetap dia ungkapkan. Dia tidak ingin kehidupan kedua anaknya
menjadi hancur karena cinta terlarang mereka.
Mobil Mercedes Benz hitam itu meluncur pelan ke arah luar
kota menuju tempat tujuan yang Luther perintahkah pada sopirnya.
Sementara itu di kantor Presiden Direktur Van Der Wilhem
Company, Piter sedang menerima seorang pegawainya yang telah bekerja selama
tiga puluh tahun di perusahaan mereka. Bu Siska namanya. Bu Siska saat ini
bekerja sebagai salah satu staf senior di bagian akunting, tak lama lagi dia
akan menjalani pensiunnya.
“Selamat pagi Mr. Piter” sapa Bu Siska setelah masuk ke
ruangan.
“Pagi, Bu. Silahkan duduk”
Mereka duduk di sofa ruang penerimaan tamu, awalnya Bu Siska
gugup dan merasa salah tingkah berada di dalam kantor Piter. Dia bertanya-tanya
dalam hati apa yang diinginkan oleh atasannya ini.
“Bu Siska sudah berapa lama anda bekerja diperusahaan ini?”
tanya Piter memulai pembicaraan. Dia duduk dengan santai sementara tamunya
duduk dengan kaku dan sesekali mengusap telapak tangannya yang berkeringat.
Bu Siska berusia lima puluh tahun, dia bekerja sebagai staf
administrasi saat pertama kali mendapat pekerjaan disini. Tugasnya adalah
mengurus segala surat menyurat dan dia berhubungan dengan hampir semua orang
yang berada di lingkungan kantor Presdir. Bu Siska seharusnya tahu siapa-siapa
saja yang pernah menjadi sekretaris ayahnya.
Bu Siska menelan ludahnya, mencoba mengurangi kegugupannya
sebisa mungkin.
“I..iya Mr. Piter. Saya sudah bekerja disini selama tiga
puluh tahun” jawab Bu Siska.
“Baiklah.. Ehm.. Kira-kira ibu masih ingat tidak siapa-siapa
saja nama sekretaris Presdir sejak tiga puluh tahun yang lalu hingga sekarang?
Ah tidak, hingga lima tahun kemudian sejak ibu bekerja disini. Jadi.. sekitar
dua puluh lima tahun yang lalu. Apakah ibu tahu nama sekretaris-sekretaris saat
itu?” tanya Piter lagi. Dia menekan suaranya agar Bu Siska tahu apa yang
ditanyakannya sangatlah serius. Dia harus memiliki jawaban pasti.
“Maaf Mr. Piter, tapi kejadiannya sangat lama. Apakah tidak
ada informasi lain? Misal usianya? Atau dia berpenampilan seperti apa? Saya
tidak selalu ingat sekretaris-sekretaris itu dan kapan mereka bekerja” Bu Siska
menunduk takut menjawab Piter.
Sesaat Piter terpaku memikirkan kata-kata Bu Siska. “Aku
tidak tahu, yang aku tahu hanyalah dia mengundurkan diri dengan tiba-tiba dan
sejak saat itu tidak ada kabar lagi mengenainya. Apakah Ibu tahu seorang
sekretaris yang mengundurkan diri tanpa alasan jelas dari sini?”
Bu Siska memutar kepalanya, mencoba mengingat kembali
kejadian dua puluh lima tahun yang lalu yang begitu samar dan buram hingga
hampir tidak dapat dikenalinya lagi. Namun demikian, Bu Siska adalah pegawai
yang luwes saat muda, dia bergaul dengan siapa saja dan memiliki banyak teman.
Tentunya banyak teman, banyak bergosip.
“Saya rasa saya mengingat seseorang.. Tapi saya tidak tahu
bila alasan wanita itu untuk mengundurkan diri mencurigakan, karena setahu saya
dia mengundurkan diri karena tidak tahan lagi mendapat.. eh..” Bu Siska
terbata-bata dan salah tingkah.
“Mendapat apa, bu?” tanya Piter. Tubuhnya tegang menunggu
jawaban Bu Siska.
“Ah.. itu.. Sekretaris itu biasanya menjadi bulan-bulanan
ayah anda, Mr. Luther. Dia selalu dimarahi, jadi mungkin itu alasannya
mengundurkan diri. Saya juga tidak mengerti karena biasanya Mr. Luther bukanlah
pribadi seperti itu, tapi.. entah mengapa sekretaris itu sering sekali
dimarahi. Mungkin dia memang tidak becus dengan pekerjaannya” Bu Siska menghela
nafas dengan berat. Dia merasa khawatir informasi yang diberikannya akan
membuatnya di pecat dari sini dan kehilangan tunjangan pensiunnya.
Piter menekur merenungi ucapan Bu Siska, dia tidak tahu bila
itu alasan yang cukup untuk mencurigai wanita yang Bu Siska maksud. Namun Piter
tahu ayahnya tidak pernah memarahi orang lain tanpa sebab yang jelas, lalu
mengapa ayahnya begitu emosi menghadapi seorang sekretaris bawahannya?
“Apakah ibu tahu siapa nama sekretaris itu?” tanya Piter
kemudian.
“Kalau tidak salah ingat namanya.. Ti..ti.. Santhi? Ah..
bukan.. Titi? Apa Warti? Ahh!! Saya rasa namanya Wati kalau tidak salah” ketus
Bu Siska.
“Santhi atau Warti atau Wati, bu?” tanya Piter memastikan.
“Ya.. Wati. Saya yakin namanya Wati. Tapi saya kurang tahu
nama lengkapnya. Tapi saya tahu dia tinggal dimana. Karena rumahnya mudah
diingat” jawab Bu Siska.
“Oh ya? Boleh saya tahu dimana dia tinggal?”
“Wati ini rumahnya berada tepat disamping mesjid Al-Hikmah di
samping kantor gedung samsat, Mr. Piter. Tidak jauh dari sini” jawab Bu Siska.
Piter mengamati wajah Bu Siska, dia tidak meragukan jawaban
wanita di depannya, namun apakah dia bisa mempercayai wanita tua yang mungkin
tidak terlalu mengingat lagi peristiawa dua puluh lima tahun yang lalu ini?
“Baiklah, ibu tahu usia Wati ini saat itu?” tanya Piter lagi.
Bu Siska mengerutkan dahinya, berpikir dengan keras. “Dia
masih muda, Mr. Piter. Awal dua puluhan kalau tidak salah. Jadi sekarang
semestinya usianya sekitar empat puluh lima tahun tahun ke atas” jawab Bu Siska
mantap.
“Baiklah, terima kasih atas informasinya. Sekarang ibu boleh
kembali bekerja” Piter berdiri mengantarkan Bu Siska ke pintu kantornya.
Dengan setengah hati Piter memanggil asistennya.
“Kumpulkan semua informasi mengenai pekerja di perusahaan ini
yang bernama Wati yang bekerja dua puluh lima hingga tingga puluh tahun yang
lalu. Dan aku ingin laporanmu besok siang” perintah Piter pada asistennya yang
langsung berkeringat dingin.
“Ta..tapi Mister.. Data-datanya sangat banyak, saya takut
tidak bisa menemukan dalam waktu sesingkat itu” jawab asistennya terbata-bata.
“Aku tidak mau tahu, bila kau tidak memberikanku laporan itu
besok siang, siap-siaplah angkat kaki dari perusahaan ini” kata Piter dingin.
Dia lalu menyambar jas kerjanya dan menuju ruang parkir untuk mengambil
mobilnya. Dia harus menemui rumah yang diberitahukan oleh Bu Siska padanya
tadi.
~~~~
Mereka duduk di sebuah ruangan private yang sangat nyaman. Pelayan sedang menghidangkan penganan
kecil dan secangkir kopi pahit untuk Luther dan secangkir teh manis hangat
untuk Liza.
“Kau yakin tidak ingin memesan makanan?” tanya Luther pada
Liza. Sedari tadi dia memperhatikan wajah anaknya, dengan penuh haru Luther
menyembunyikan air matanya yang mulai menghalangi pengelihatannya.
Liza, begitu mirip dengan ibunya. Meski warna matanya biru
seperti matanya, namun sorot mata itu adalah sorot mata Wati yang dicintainya,
senyum Liza pun seteduh senyum Wati. Luther dapat melihat sosok wajah almarhum
ibunya pada Liza. Dia ingat pada anak kecil yang dulu sering menyambutnya
dengan suka cita saat dia berkunjung kerumah mungil mereka dan membawakan
hadiah-hadiah untuknya. Namun kini, gadis kecil itu telah dewasa dan dia tidak
mengenali Luther sama sekali.
“Tidak usah, saya sudah makan siang” jawab Liza sopan.
Liza bertanya-tanya mengapa Luther membawanya ke tempat ini.
Dia hanya bisa mengikuti ayah dari kekasihnya tanpa berani bertanya lebih jauh
sebelum Luther memulai apa yang ingin dibicarakannya. Liza menduga Luther akan
memintanya untuk memutuskan hubungannya dengan Piter dan dia siap untuk
membantah perintah laki-laki itu.
Dia akan memperjuangkan cintanya pada Piter, selama laki-laki
yang dicintainya itu juga mau berjuang untuk hubungan mereka. Akan sangat
menyedihkan bila Liza hanya berjuang sendiri sementara pria yang
diperjuangkannya tidak ingin mereka bersama lagi.
“Apakah kau ingin tahu mengapa aku membawamu ke tempat ini?”
tanya Luther pada Liza.
“Apakah ada yang spesial dengan tempat ini, Tuan?” tanya Liza
sebagai jawaban pertanyaan Luther.
Luther tersenyum, mengingat kembali kenangan bersama dengan
Wati saat dia menemukan wanita itu disini, setelah sembilan tahun lamanya
wanita itu bersembunyi dan meninggalkannya tanpa kabar.
“Ya, tempat ini sangat berarti buatku. Disinilah aku bertemu
lagi dengan cinta sejatiku yang telah lama meninggalkanku. Aku sangat mencintai
wanita itu. Namun takdir tidak pernah berpihak pada kami” jawab Luther sedih.
Liza dapat melihat kesedihan pada wajah ayah kekasihnya, mata
itu terluka dan menerawang memandang keluar jendela ruangan. Liza berpikir
wanita yang Luther maksud bukanlah istrinya karena bila itu istrinya, Luther
tidak akan sesedih ini. Dia hanya diam mendengarkan Luther menceritakan kisah
cintanya.
“Hanya enam bulan lamanya kami bisa bersama, dia.. dan anak
kami yang saat itu berusia delapan tahun. Kami bahagia, oh ya.. Aku sangat
bahagia waktu itu. Mengetahui wanita yang kucintai melahirkan anakku, aku
sangat bahagia. Aku selalu menginginkan anak perempuan, kau tahu? Karena dia
akan seperti ibunya, cantik.. lembut.. pantang menyerah.. dan rendah diri. Dia
sungguh mulia, dia tidak pernah membantah semua perintah-perintahku. Dia bahkan
tidak pernah membenciku atas semua penderitaan yang aku berikan padanya” Luther
menarik nafasnya dalam-dalam. Matanya yang berkaca-kaca coba untuk
disembunyikannya, namun dia tidak berhasil. Mata biru itu meneteskan setitik
air mata yang jatuh ke lantai.
Liza tidak tahu takdir apa yang memisahkan Luther dengan
cinta sejatinya, namun melihat Luther begitu terluka di depannya Liza merasa
simpati pada laki-laki ini.
“Takdir merenggutnya dari hidupku, bahkan kuburnya pun tak
pernah aku temukan. Kau tahu takdir bisa begitu kejam padamu. Dan anak kami..
selama enam belas tahun ini aku mencarinya dengan putus asa.. Tak pernah
membuahkan hasil, semua bertemu dengan jalan buntu.
Aku mencintai anak-anakku, sama seperti aku mencintai Piter
dan adiknya Herald.. Mereka semua bersaudara, memiliki darah yang sama yang
mengalir dalam tubuh mereka. Tiada yang kuinginkan selain kebahagiaan mereka.
Aku tidak ingin menyalahkan takdir karena telah begitu kejam pada hidupku, tapi
kali ini.. Takdir memang sangat memusuhiku. Aku tidak tahu harus berbuat apa
lagi untuk memperbaiki semua kesalahanku. Aku frustasi” Luther untuk pertama
kalinya mencurahkan segala sakit hatinya pada seseorang. Selama ini dia hanya
menyimpannya dan Luther terluka, dia menderita dengan sangat.
“Tuan.. anda tidak apa-apa?” Liza salah tingkah melihat tubuh
laki-laki di depannya bergoncang menahan tangis. Luther mengangkat tangannya,
mengatakan dirinya tidak apa-apa.
“Liza.. Apakah kau tahu siapa wanita cinta sejatiku itu?”
tanya Luther padanya.
Liza membelalakan matanya, bingung dengan pertanyaan mendadak
Luther. Mata mereka bertatapan, Luther menantang Liza untuk menyadari semua
kenyataan yang telah dibeberkannya.
~~~~
“Oh, Wati? Ya dia dulu tinggal disini. Dia anak paman saya,
tapi mereka semua sudah meninggal. Wati sekarang tidak tahu dimana kabarnya,
saya dengar dulu dia diusir dari rumah ini karena tengah mengandung dan tidak
mau memberitahukan siapa ayah anak dalam kandungannya” Piter menanyai penghuni
rumah tempat yang Bu Siska beritahukan padanya tadi siang.
Piter bertemu dengan keponakan dari ayah Wati, orang itu
sedikit tidak membuka misteri yang menyelimuti kehidupan kelam ayahnya.
“Wati ini, apakah ada nama lengkapnya?” tanya Piter lagi.
“Oh, ada..ada. Saya juga ada fotonya bila anda ingin, tapi
hanya foto sewaktu dia muda waktu dia membantu di upacara pernikahan saya.
Sebentar saya ambilkan” laki-laki berusia lima puluh tahun itu masuk ke dalam
rumahnya meninggalkan Piter duduk di ruang tamu luar.
Rumah itu cukup luas, halaman yang ditumbuhi rumput-rumputan
hijau dicukur rapi, pot-pot tanaman bunga dan buah-buahan mini beserta bonsai
dan anggrek menghiasi halaman rumah itu. Tidak sulit bagi Piter mencapai rumah
ini, dia hanya perlu memarkirkan mobilnya beberapa blok dari sini. Piter
beruntung hari ini dia langsung bertemu dengan sumber yang bisa dipercaya,
keluarga kandung Wati.
Laki-laki itu kembali dari dalam rumahnya membawa sebuah
album photo di tangan, dia menyerahkan album itu pada Piter.
“Ini album photo waktu pernikahan saya, dia yang mengenakan
gaun berwarna hijau itu. Wati termasuk cantik namun dia masih muda saat
mengandung. Saya sendiri tidak tahu siapa yang menghamilinya” jelas laki-laki
itu.
“Aku tahu..
Ayahkulah yang menghamilinya” jawab Piter dalam
hati.
“Mungkin foto yang itu kurang jelas, dibaliknya ada sebuah
foto ketika Wati sendirian. Difoto dari dekat, jadi lebih kelihatan” kata
laki-laki itu.
Piter membalik halaman foto itu, dia menyipitkan matanya demi
melihat foto seorang wanita muda dengan gaun hijaunya. Wanita itu sedang
tersenyum riang, dia terlihat cantik dan menawan. Jantung Piter berdebar
kencang, perasaannya menjadi sangat tidak enak. Dalam hatinya bersuara. “Eliza..?” dan Piter terhantam
kenyataan.
“Siapa nama lengkap Wati ini?” tanya Piter lagi.
“Namanya Wati Suteja” jelas laki-laki itu.
Piter menahan nafasnya seketika, dia menatap nanar pada
laki-laki di depannya.
“Wati Suteja..?” katanya pada dirinya sendiri.
~~~~
No comments:
Post a Comment